08 - Variabel Z

4 3 0
                                    

10100-110-10110

Libur akhir pekan yang sirna membuatku harus kembali ke sekolah. Pintu kelas tertutup menandakan belum ada seorang pun siswa yang hadir. Usai kuletakkan sepatu di rak dekat pagar besi warna hijau—pinggir kelas—kubuka pintu kayu jati dengan hati-hati.

Kudaratkan tubuh di bangku paling depan pada kolom nomor dua dari kiri. Kunyalakan benda pipih—kugenggam—saat temanku menghampiri.

Hari ini adalah hari dimana apel penutupan classmeet digelar. Lomba terakhir classmeet dan pengumuman juara akan diadakan setelah apel penutupan. Bahkan, pengembalian buku XI MIPA 5 juga dilaksanakan pukul delapan pagi ini. Tidak heran jika banyak siswa berjas almamater biru berseliweran sedari tadi.

“Kepada seluruh siswa Smanika dimohon berkumpul di lapangan sekarang karena apel segera dimulai.”

Pengumuman dari speaker sekolah membuat Ariella dan Raisa—sibuk menata buah untuk lomba tumpeng rujak—kelabakan. Dengan bantuan teman sekelas, pekerjaan keduanya berhasil terselesaikan.

Kami bergegas ke lapangan tengah setelah menyimpan tampah berisi tumpeng rujak dengan aman. Tiga saf barisan yang dibentuk mengawali apel hari ini. Cuaca yang cerah tak mampu menggerakkan semangat dalam hati.

Apel hari ini berlangsung lancar. Amanat dari kepala sekolah membuatku tak bisa membendung air mata. Sebenarnya hari ini Pak Ultra—kepala sekolah—memberikan pidato perpisahan. Kenyataan Pak Ultra pensiun tahun ini membawa sekelebat memori kuhindari.
Apel ini adalah apel pertama setelah mengikuti KSN Matematika sekaligus apel pertama tanpa sosok idola ...

... kini sudah bahagia.

11101-11-10110

Aku dan Nada bergegas menuju ruang server—sempat kulihat Pak Arka memasukinya. Benar saja, ruangan yang berlokasi tak jauh dari ruang kelasku itu pun kudapati Pak Arka tengah berdiri dengan tas hitam di pundaknya.
Tidak berselang lama, seorang guru datang dengan membawa proyektor LCD. “Ayo bawakan, masa Pak Arka yang bawa.”

Pak Yasa—guru itu—berkata sembari meletakkan proyektor LCD di atas binder yang kubawa. Pak Yasa memberikan kunci gerbang laboratorium pada Pak Arka, sebelum kami meniti satu per satu anak tangga yang berlokasi berdekatan dengan ruang server.

Sesampai kami di laboratorium nomor satu, kuletakkan proyektor LCD di salah satu meja sebelum kuletakkan perlengkapan bimbingan di meja nomor dua dari depan dan kanan. Sementara menunggu Pak Arka memasang proyektor serta kedatangan Luna, Adena, dan Sandra aku berjalan menyusuri setiap sudut ruangan yang penuh dengan peralatan elektronik.

Tak berselang lama Adena, Luna, dan Sandra datang. Adena memilih duduk bersama Nada di baris nomor dua dari depan dan nomor satu dari kiri, sementara Luna dan Sandra memilih duduk di belakangku.

Bimbingan hari ini dimulai dengan Pak Arka menjelaskan ulang materi tentang kaidah pencacahan. Saat aku hendak mencatat, tidak bisa kutemukan isi binder yang biasa kugunakan untuk bimbingan. Lagi-lagi, penyakit pelupaku menjadi bencana. Beruntung, aku membawa lembaran soal lama yang masih terdapat ruang kosong di baliknya.

Usai Pak Arka menjelaskan salah satu subbab kaidah pencacahan, ia—duduk di baris pertama di antara kolom dua dan tiga dari kanan berpindah tempat ke bangku nomor dua dari depan nomor tiga dari kanan—bersuara. “Selesai, Al?” tanya Pak Arka.

Aku mengangguk sebagai jawaban.

“Coba kerjakan di sini.” Pak Arka menunjuk layar monitor yang menyala. Aku terkejut bukan main; setengah tidak percaya. Meski begitu kulangkahkan kaki hingga berada tepat di depan layar monitor. Kudaratkan tubuh di kursi yang tadinya ditempati Pak Arka, lantas kucoba mengerjakan soal melalui pen tablet.

“Gimana Pak?” Aku menatap bertanya ke arah Pak Arka sembari mencoba menggunakan pena elektronik itu.

Kudapati Pak Arka tengah terkekeh kecil dari tempat ia duduk. “Jangan terlalu ditekan, santai aja.” Ia memberi instruksi tanpa meninggalkan tempat duduknya.

Kucoba menggerakkan pena sesuai instruksi Pak Arka. “Susah Pak,” keluhku.

“Belum terbiasa ya.” Pak Arka kembali bersuara disertai kedua sudut bibir yang tidak berhenti terangkat.

Aku terus mencoba, hingga beberapa guratan tercipta di layar monitor. Namun tulisanku tidak serapi tulisan Pak Arka. Bahkan bisa dibilang tulisan yang dihasilkan tidak berbentuk—teman-temanku dan Pak Arka tertawa melihatnya.

Sementara aku berusaha menstabilkan kegugupan bercampur panik yang menggebu, Pak Arka bangkit dari tempat duduk dan memberi instruksi agar aku kembali ke tempat duduk semula. Aku benar-benar merasa malu karenanya.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang