AKU memotret kawasan sekolah menggunakan gawai dengan senyum merekah. Meski sudah hampir dua tahun menginjak tanah SMA Arunika, baru kali ini aku duduk di gazebo sekolah. Dari sini aku dapat melihat beberapa siswa berbondong-bondong meninggalkan area sekolah. Mereka adalah siswa yang tak mengikuti sosialisasi hari ini sepertiku.
Kumakan satu per satu panganan berjenis kudapan dengan isian cokelat sembari melihat keindahan panorama semesta. Dinding berhiaskan buah tangan kakak kelas kami terdahulu masih terjaga dengan elok di belakang. Tanaman obat keluarga yang ditanam tempo dulu menambah kesejukan mata memandang.
Keheningan yang tercipta di antara kami terpecah saat Nada—tadinya asyik memakan pisang molen rasa cokelat—bersuara.
“Aku udah dijemput, kalian mau bareng keluar atau nggak?” Nada bangkit dari posisinya.
Arinda mendongak. “Kamu udah dijemput, Al?” Ia menatapku.
Aku menggeleng. “Belum. Aku bahkan belum nge-chat lagi.” Kuletakkan sebutir pisang molen rasa cokelat ke plastik. “Kamu mau pulang sekarang, Rin?”
Arinda menggeleng. “Nanti aja masih mager. Pasti sekarang juga masih rame di parkiran.” Ia beralih menatap Nada. “Duluan aja, Nad.”
Aku mengangguk setuju. “Iya, Nad. Duluan aja,” ujarku.
Nada mengangguk. “Kalau gitu aku pulang dulu, ya.” Ia menjabat tangan kami satu per satu.
Saat punggung Nada tak lagi nampak, keheningan menyelimutiku dan Arinda selama beberapa saat.
“Kamu nge-chat jam berapa?” Arinda memakan sebutir pentol korea sembari melihat ke arahku.
“Nggak tau, mungkin jam sepuluhan. Kamu buru-buru, Rin?” Aku balik bertanya.
Arinda menggeleng. “Nggak juga, aku di rumah juga nggak ngapa-ngapain.”
Aku mengangguk. “Ngomong-ngomong, Indira, Dea, Raisa, sama Melisa jadi ke mana ya? Masa mereka udah pulang duluan. Kalau gitu, kelas kita nggak ada yang ikut sosialisasi dong?”
Arinda mendongak. “Kayaknya mereka ikut sosialisasi deh.”
Arinda bangkit dari tempat duduk untuk membuang bungkus plastik pentol korea. “Chat aja.” Ia kembali ke posisi semula.
Aku membuka kunci layar gawai. “Udah aku chat tapi nggak dibalas.” Aku kembali mendongak. “Aku takut kita kena masalah hanya karena nggak ada yang ikut sosialisasi. Nggak bisa bayangin deh aku kalau kita sekelas dihukum Pak Savero nantinya,” imbuhku.
Sudah cukup sekali aku mendapat hukuman dari guru matematika paling disiplin di sekolah karena terlambat mengikuti pelajaran.
Padahal waktu itu keterlambatanku bukan tanpa alasan, melainkan karena harus konfirmasi tugas ke guru Prakarya dan Kewirausahaan.
“Tenang aja, nggak mungkin dihukum. Sebentar lagi kita nerima rapor, jadi nggak akan ketemu Pak Savero di kelas.” Arinda berucap santai.
Aku mengangguk. Kulayangkan pandangan ke layar gawai lagi yang menampakkan sebuah pop up notifikasi. “Melisa nge-live, dia emang lagi ikut sosialisasi.”
Arinda tersenyum. “Kubilang juga apa.”
Aku tersenyum kikuk. “Hehe, abisnya kalau berurusan sama Pak Savero itu duh, bikin ketar-ketir.”
“Santai aja, kelas dua belas nanti pasti kita nggak ketemu Pak Savero.”“Kita udah kelas dua belas ya? Rasanya baru kemarin aku ngisi pendaftaran Penerimaan Peserta Didik Baru.” Aku menatap langit biru sejenak. “Kalau kata anak-anak, takut tambah dewasa.” Aku mengimbuhi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NEGASI ( SELESAI )
Teen FictionPernahkah kau memikirkan alasan di balik setiap pertemuan? Pernahkah kau merasa tidak senang dengan takdir yang ditulis Tuhan? Atau mungkin, kau pernah memberikan penyangkalan atas segala kejadian dan bertanya-tanya alasan dari setiap persinggahan? ...