11 - Hampiran

4 3 0
                                    

100-101-10110

Aku mengerjakan satu per satu soal Fisika dengan hati-hati. Libur hari raya telah usai, sekolah sudah dibuka seperti biasa. Tepat hari keempat sekolah usai liburan yang teramat singkat; kelasku dihadapkan dengan lima soal Fisika untuk nilai ulangan harian. Sebenarnya ulangan hari ini terkesan mendadak, namun guruku mengizinkan untuk melihat buku.

"Alhamdulillah kemarin dari SMA Arunika ada sembilan guru yang lolos seleksi PPPK. Mulai hari ini mereka sudah bertugas di sekolah baru."

Perkataan tiba-tiba Pak Jordan-guru Fisika-membuatku terkesiap. Rasanya jantungku berkontraksi melebihi biasanya.
"Pak Arka juga, Pak?" Aku memberanikan diri untuk bertanya.

Pak Jordan mengangguk. "Iya, Pak Arka, Pak Jonathan, Pak Fathur, Bu Maira, Bu Risha, Bu Daisy, Pak Edward, Bu Callista, dan Pak Sean."

Aku mencelos. Netraku memanas. Setitik nyeri menghiasi hati. "Lalu bimbingan Matematikanya bagaimana, Pak?" Aku kembali bertanya, usai menyeka butiran air meluncur tanpa permisi.

"Nggak tahu, coba kamu tanya ke Pak Azriel. Siapa penggantinya. Soalnya dua pertemuan bimbingan yang tersisa dilaksanakan hari ini dan besok," ujar Pak Jordan semakin menambah kenyerian di sekujur tubuhku.

"Tapi kemarin kata Pak Arka, beliau bisa ke sekolah paling cepat besok," sanggahku.

Empat hari ini tak pernah kudapati sosok Pak Arka yang melintas. Padahal biasanya beliau tak pernah luput dari pandanganku, entah tak sengaja bertemu ketika pulang sekolah, di jam pelajaran atau saat istirahat.

"Ya sudah kalau diteruskan Pak Arka, yang jelas mulai hari ini beliau sudah tidak di Smanika."

Sejujurnya aku merasa iri. Tapi aku menyembunyikan nyeri dan perih dalam sunyi. Hingga pulang sekolah, aku masih memikirkan perkataan Pak Jordan. Terlebih setelah Pak Arka belum memberi informasi mengenai bimbingan.

Bel pulang berbunyi tak mampu menyingkirkan kegundahan dalam hati. Aku masih mencoba meyakinkan diri jika Pak Arka masih tetap membimbing kami. Dari siswa-siswi yang berhamburan menuju gerbang sekolah, Adena berbelok ke kelasku. Kuhampiri ia yang datang membawa beberapa buku di tangannya.

"Katanya Pak Arka udah nggak di Smanika, apa benar?"

Aku tersenyum. "Kata Pak Jordan, ya?"

Adena mengangguk. "Aku bingung bimbingannya gimana nantinya."

"Tenang aja, Pak Arka udah bilang kalau Pak Arka bisa ke sekolah paling lambat besok. Itu yang akan terjadi." Aku mencoba meyakinkan Adena, sekaligus menambah kepercayaan dan keyakinan dalam diri.

"Syukurlah kalau masih dibimbing Pak Arka. Aku beneran takut nggak bisa memahami penjelasan guru pengganti kalau semisal nggak dibimbing Pak Arka lagi," ujar Adena.

"Nanti aku tanyakan ke Pak Arka lagi. Jangan khawatir," ujarku.

"Ya sudah kalau gitu, aku duluan, ya."

Aku mengangguk sebagai jawaban. Setelahnya Adena bergegas meninggalkan sekolah bersama siswa-siswi yang masih berlalu lalang di depan kelas.

Aku menghela napas. Kuambil tas merah muda yang menemaniku sejak kelas enam sekolah dasar, lantas beranjak meninggalkan kelas usai mengenakan sepatu hitam bertali. Aku sungguh tak mengerti, mengapa setiap kenyataan menyayat hati selalu hadir kala aku bersiap mewujudkan mimpi.

1100-101-10110

Pukul delapan belas lewat enam menit, kala aku memberanikan diri bertanya pada Pak Arka mengenai kepastian bimbingan. Hujan yang mengguyur bumi Majapahit disertai listrik padam memaksaku belajar di ruang tamu. Satu menit setelah aku mengirim pesan pada Pak Arka, pesan balasan muncul di layar gawai. Netraku tertuju pada dua pesan balasan dari Pak Arka.

Pak Arka Mat
Saya beberapa hari ini ada kegiatan di luar. Sejak Senin, saya belum ke sekolah sama sekali. Rencana besok ke sekolah, itu pun mungkin agak siangan.
Jadi sebisa mungkin dan kalau memungkinkan, besok ada bimbingan. Tapi saya belum bisa memastikan jamnya. Kalau nggak memungkinkan, ya saya targetkan minggu depan.

Aku menatap nanar binder bersampul asfar yang terkena pancaran cahaya temaram dari gawaiku. Aku mengambil tangkapan layar sebelum kubagikan pada teman-temanku. Kegulitaan yang menerpa membuatku semakin terpukul, namun tak berhenti berharap agar esok menjadi hari yang lebih baik.

10100-110-10110

Aku meletakkan sepatu pada rak di garasi. Kucuci kaki sebelum mengganti seragam dengan kaos oblong dan celana selutut. Jarum pendek arloji masih menunjuk angka sepuluh. Aku merebahkan diri di atas ranjang empuk di kamar tidur untuk merelaksasi otot yang sejak tadi tak dapat beristirahat.

Aku merenung. Hasil jepretan hari terlihat istimewa. Langit biru selalu menyimpan pesona tersendiri. Aku tak pernah bosan memandangi ciptaan Tuhan yang terpampang apik nan mempesona.

Kukirimkan beberapa potret yang menampakkan Keyra dan Alenia kala menyaksikan lomba tumpeng rujak. Mereka terlihat begitu bahagia, seolah tak ada setitik kelesah pun menyelimuti hidup keduanya.

Aku memejamkan mata setelah tanda centang tertera di pojok bubble chat. Hari ini begitu melelahkan, walau aku tak mengikuti perlombaan.

•••
Bersambung...

Mojokerto, 03 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang