04 - Periode

13 4 0
                                    

10010-11-10110

Kulihat temanku tengah sibuk dengan diri masing-masing. Praktik drama Bahasa Jawa yang dilakukan sebentar lagi merenggut ketenangan dalam hati. Sebenarnya hari ini hari ketiga bimbingan, tepat satu minggu setelah seleksi. Aku bersyukur, Pak Arka telah memberi izin datang terlambat.

“Bu Citra datang!”

Seruan itu berasal dari mulut Tara yang sejak tadi berdiri di teras kelas. Dadaku bergemuruh, aku mencoba menstabilkan napas yang mulai berpacu dengan cepat. Kelompok dramaku akan tampil pertama hari ini setelah begitu banyak haru biru.

“Assalamualaikum, sugeng enjing.”

Bu Citra memasuki kelas kami lantas duduk di bangkuku yang kosong. Praktik drama digelar di dalam kelas. Meja dan kursi yang sebelumnya tertata rapi, mulai diarahkan menempel ke tembok kelas untuk digunakan sebagai panggung.

“Untuk mempersingkat waktu, kelompok satu silakan tampil terlebih dahulu.”

Aku bersama sepuluh temanku memulai praktik hari ini. Kami memilih drama Roro Jonggrang mengingat alur yang digunakan sudah tidak asing. Babak pertama diawali adegan perseteruan antara Bandung Bondowoso—ditemani Patih yang diperankan oleh Gerrald—dan Prabu Boko yang diperankan oleh Regal dan Aqil. Seisi kelas yang tadinya ramai menjadi sunyi. Aku masih mencoba menetralkan kegugupan dalam dada.

Adegan penusukan Prabu Boko oleh Bandung Bondowoso mengakhiri babak pertama. Latar tempat hutan berganti menjadi area istana. Melisa dan Arla yang berperan sebagai dayang-dayang istana memasuki panggung dengan berlari. Ekspresi wajah mereka menyiratkan kepanikan. Melihat kedatangan dayang-dayang, Elisha—sebagai Ratu Prambanan—dan Tania—sebagai Roro Jonggrang—memerhatikan keduanya. Babak kedua diakhiri adegan Roro Jonggrang yang histeris mendengar kabar tentang Prabu Boko.

“Sebentar lagi kita masuk,” ujarku pada Nera dan Ariella yang seperan denganku—sebagai rakyat—di praktik kali ini. Aku mengambil napas untuk menstabilkan degup jantung yang tak keruan.

Kami bertiga memasuki panggung sandiwara setelah latar tempat berubah menjadi pedesaan. Bedanya, aku dan Nera duduk bersandar pada dinding sementara Ariella berada di bagian kiri untuk menunggu giliran masuk. Adegan pertama di babak ketiga adalah Bandung Bondowoso dan Patih tengah berjalan mengitari desa. Kesombongan Bandung Bondowoso tampak di babak ini. Sementara tokoh yang kuperankan, hanya beradegan memetik kangkung sembari memerhatikan adegan Bandung Bondowoso memandangi Roro Jonggrang yang melintas. Setelah mengucap beberapa dialog, Bandung Bondowoso dan Patih keluar area drama.

Ariella berlari kecil menghampiri lantas duduk di sebelahku. “Eh kuwi toh Bandung Bondowoso?” Ariella mengucap dialog sembari menunjuk ke arah Regal dan Gerrald yang keluar.

Kuletakkan kangkung di atas tampah sembari berekspresi terkejut. “Bandung Bondowoso?Wong sing ngalahno raja?” Aku bertanya dengan nada memastikan.

Nera mengangguk. “Iya, iku Bandung Bondowoso.”

Ariella menggerakkan tangan kanannya—melambai. “Walah, krunguku dheweke kuwi gedhe endhase.”

Aku mengangguk. “Iya wah, jarene dheweke uga ala kandhutane. Mosok sakwise nyedani raja dheweke guyu-guyu kaya wong sing ora duwe salah.” Kuucapkan dialog itu dengan menyiratkan nada tak suka di setiap kata.

Nera terkejut. “Iya ta? Wis muga-muga ndang tobat. Aku ra isa mikir kepriye kerajaan iki yen dipimpin wong sing kaya ngunu.”

Ariella menengadahkan tangan seperti hendak berdoa. “Aamiin, aja nganti kerajaan sing adhem ayem kaya ngono dadi kelepetan ala gara-gara nduweni pemimpin sing ora becik.”

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang