16 - Satu Interval

4 3 0
                                    

JADI beli apa?”

Arinda dan Nada tampak bingung melihat barisan pedagang yang berjajar di seberang jalan raya depan gerbang sekolah.

“Nggak ada yang jual pentol.” Arinda bersuara usai melihat ke sana kemari.

“Itu pentol korea.” Aku menunjuk salah satu pedagang dengan dagu.

“Pinginnya pentol biasa. Pentol korea itu yang kayak gimana?”

Aku mengedikkan bahu. “Entah, aku juga nggak tau.”

“Kamu beli apa, Nad?” Arinda bertanya pada Nada.

Nada tampak celingak-celinguk mencari sesuatu. “Nggak tau juga,” ujarnya.

“Kamu beli apa, Al?”

“Aku pingin beli molen sih. Tapi kalian jadi beli apa dulu?” tanyaku.
Arinda tampak berpikir. “Ya udah, aku beli pentol korea aja,” putusnya kemudian.

“Aku juga,” sahut Nada.

Kami pun menghampiri pedagang pentol korea. Setelah Arinda memesan, Nada tiba-tiba bersuara.
“Aku beli molen aja deh, Rin.”

Arinda menoleh. “Kalau gitu kalian beli aja dulu,” ujarnya.

Aku mengangguk. Setelahnya, aku dan Nada bergegas menghampiri penjual molen. “Duluan aja, Nad.”

Nada mengangguk. “Beli tiga ribu.”

Mendengar penuturan Nada, penjual molen itu mulai mewadahi satu per satu butir jajanan tradisional kering ke plastik dengan lihai. Tak berselang lama, Nada memberikan selembar uang lima ribu ke penjual setelah ia menerima seplastik molen rasa cokelat.

“Beli lima ribu, cokelat semua.” Aku berujar setelah Nada menerima kembalian.

Sebenarnya molen adalah jajanan favoritku semasa sekolah dasar. Teksturnya yang lembut di dalam memadu dengan manisnya cokelat membuatku tak pernah bosan menyantapnya. Panganan yang dimasak dengan digoreng ini selalu membuatku bernafsu memakan lagi dan lagi. Rasanya sudah begitu lama aku tak membeli jajanan murah meriah ini.

“Terima kasih.”

Aku menerima seplastik molen setelah memberikan selembar uang lima ribu. Aku dan Nada menghampiri Arinda yang sedang mengobrol dengan temannya usai membeli pentol korea.

Pandanganku tertuju pada layar gawai yang tiba-tiba menyala. Rupanya sebuah pesan dan panggilan tak terjawab dikirim oleh Keyra melalui aplikasi percakapan.

Teman-teman minta tolong ya. Tiap kelas kirim lima perwakilan buat ikut sosialisasi sekarang di XII MIPA 5.

“Keyra kirim pesan, kayaknya dari grup ketua kelas. Katanya lima anak disuruh ikut sosialisasi.” Kujeda perkataanku. “Kita ikut?” tanyaku setelahnya.

“Boleh aja sih aku. Kamu dijemput jam berapa, Nad?” Arinda bersuara.

“Kurang lebih setengah sepuluh.”

Aku melirik jam digital menunjukkan pukul sembilan lewat lima belas menit. “Sekarang masih jam sembilan lewat lima belas, gimana kalau kita ikut sosialisasi?” tawarku.

“Ayo aja,” ujar Nada.

Aku mengangguk. Kami menyeberangi jalan raya untuk kembali memasuki area sekolah. Namun saat sampai di depan XII MIPA 5, langkahku melirih.

“Kalian aja yang sosialisasi, tak tunggu di gazebo.” Nada berujar sebelum beranjak ke gazebo di dekat kamar mandi putri.

Arinda melihat takut ke arah pintu kelas XII MIPA 5 yang terdapat Pak Savero berdiri di tengah-tengah. Aku turut merasa takut bahkan setelah kepergian Pak Savero.

“Udah full,” ujarku usai melihat tak ada ruang yang cukup untuk kami duduk.

“Ke gazebo aja ya?” Arinda menawari.

Aku mengangguk setuju. Kami pun menyusul Nada pada akhirnya.

11111-101-10110

Aku memasuki pekarangan sekolah dengan senyum merekah. Entah mengapa aku merasa begitu bahagia. Padahal, hari terakhir bulan Mei ini adalah hari di mana aku harus menghadapi Penilaian Akhir Tahun Matematika Wajib dan Bahasa Jawa.

Kuarahkan pandangan pada barisan motor guru yang terparkir apik di bawah atap dari logam. Netraku memincing kala melihat sebuah kendaraan yang tak begitu asing. Kutepis pemikiran yang melintas sebelum beranjak memasuki gerbang khusus peserta didik putri.

Aku sedikit terkejut usai mendapati kehadiran Pak Yasa di depan ruang kelas—XII MIPA 5—tempat aku biasa menunggu ujian sesi satu berakhir. Meski begitu kulangkahkan kaki untuk duduk di depan ruang XII MIPA 6—berdempetan—tak jauh dari XII MIPA 5, tanpa menghiraukan Pak Yasa yang sibuk bermain gawai.

“Kelas berapa?” Pak Yasa—sedari tadi bermain gawai—bersuara. Seulas senyum ramah tercipta di wajahnya.

Aku terkejut. Kusamarkan keterkejutan dengan senyum kikuk. “Kelas sebelas,” balasku seadanya.

Sementara Pak Yasa kembali sibuk dengan gawai, aku pun memainkan gawai untuk mengatasi kegugupan sebelum ujian. Tak berselang lama, suara Pak Yasa kembali menghentikan aktivitasku.

“Sebelas apa kok awal banget datangnya?”

Aku menoleh. “Sebelas IPA 5.”

Pak Yasa tersenyum sebelum kembali bersuara. “Wali kelasnya siapa?”

“Bu Elina, Pak.”

Kulihat Pak Yasa kembali tersenyum. “Oalah, kok udah datang.”

Aku tersenyum sebagai tanggapan atas penuturan Pak Yasa. Bingung, harus merespon seperti apa. Setelahnya, ia bangkit dan pergi entah ke mana.

Kulihat jam digital pada layar gawai menunjukkan pukul sepuluh kurang sepuluh menit. Sebentar lagi ujian sesi dua akan dimulai. Kuputuskan untuk meninggalkan ruang kelas XII MIPA 6 dan menyusuri koridor depan XII MIPA 4.

Dari kejauhan kudapati sosok yang ajarannya kurindu. Lengkap dengan kemeja putih dan arloji hitam di tangan kiri, ia berjalan memecah lalu lalang siswa kelas sepuluh yang meninggalkan sekolah.

Ia yang tadinya berbicara dengan guru perempuan di depanku, bersuara—setelah kami segaris. “Al.”

Aku terkejut mendengar sapaan seseorang yang sudah lama tak pernah kutemui. Senyumannya masih sama, tak ada yang berubah.
Aku mengangguk disertai senyuman sebagai respon atas sapaan Pak Arka—menutupi kegugupan. Rasanya seperti de javu. Tidak berbohong aku bahagia atas apa yang terjadi. Lagipula siapa yang tidak bahagia bertemu dengan tokoh idola?

Aku duduk di depan ruang kelas XII IPS 2 sembari menunggu kelas sepuluh yang masih berada di ruang ujian. Senyum di wajahku tak bisa memudar—justru semakin mengembang. Hingga ujian pertama dimulai, gemuruh bahagia dalam dada tak bisa menjadi sirna.

Sepanjang mengerjakan soal, kuterapkan metode pengerjaan yang sudah diajarkan Pak Arka melalui channel Youtube-nya. Hingga empat puluh soal terakhir, kutekan tombol submit di layar gawai dan mengakhiri ujian pertama hari ini.

NDINNNNNNN
GURUKU SEKARANG KE SEKOLAHH
TuT
Ya Allah

•••
Bersambung...

Mojokerto, 02 Januari 2023

Dek Uti.

NEGASI ( SELESAI )Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang