Joanna baru saja memasuki mobil. Namun Jeffrey justru keluar lagi. Cukup lama dan akhirnya kembali. Sembari membawa celana warna hitam milik sang istri."Pakai ini!"
Seru Jeffrey setelah meletakkan celana pada pangkuan istrinya. Lalu menghidupkan mesin mobil setelahnya. Karena mereka akan berangkat sekarang.
"Kamu apa-apaan, sih!? Jangan sok ngatur! Biasanya aku pakai rok ini juga tidak pernah ditegur!"
Joanna langsung melempar celana tadi di kursi belakang. Sebab dia enggan memakai celana karena merasa jika celana hitam kurang cocok jika dipadukam dengan kemeja dan blazer yang dikenakan.
Sekedar informasi, Joanna ini agak perfectionist. Dia sangat memperhatikan penampilan dari atas hingga kaki. Tidak heran jika dulu Jeffrey bisa langsung jatuh hati.
Namun setelah menikah, Jeffrey yang harus stress sendiri. Karena sering dimarahi. Mengingat selama ini, dia hidup serampangan dan tidak teratur sama sekali.
Bahkan, Joanna tidak mau ada ART berada di rumah mereka. Karena tidak ingin orang lain mengurus pekerjaan rumah. Itu pula alasan kenapa mereka lebih memilih membangun rumah kecil di perumahan daripada membangun rumah megah di tengah tanah yang sudah disiapkan keluarga.
Jeffrey tidak menjawab dan hanya menyetir saja. Rahangnya mengeras. Sebab dia juga bingung ingin mejelaskan seperti apa.
"Percepat resignmu! Aku tidak suka melihatmu kerja terus!"
"Lah, ngatur? Terserah aku lah! Mau kerja atau tidak! Aku menikah denganmu bukan karena ingin menjadi istri yang penurut! Aku jelas punya cita-cita yang masih harus kugapai sebelum umur lima puluh! Jadi berhenti mengatur! Karena kamu tidak seberpengaruh itu di hidupku!"
Jeffrey langsung menepikan mobilnya. Membuat Joanna jelas terkejut sekarang. Sebab ini sudah siang dan dia hampir terlambat masuk kerja.
"Kamu apa-apaan, sih!? Ayo berangkat! Aku akan terlambat!!!"
Jeffrey langsung mamatikan mesin mobilnya. Lalu menatap istrinya. Dengan amarah yang sudah mengumpul di kepala.
"Tidak berpengaruh katamu? Aku suamimu! Kau pikir pantas mengatakan itu!?"
Joanna tertawa sumbang. Lalu menatap Jeffrey tidak kalah tajam. Seolah dia memang sedang ingin menerkam suaminya.
"Kenapa kamu harus berpengaruh saat aku tidak berarti apa-apa bagimu?"
Mata Joanna sudah berkaca-kaca. Bukan karena sedih dan ingin menangis. Namun karena malu sekali sebab harus mempertanyakan hal seperti ini.
"Tidak, kan? Buktinya, kau membawa Isla dan ibunya tanpa meminta izin padaku sebelumnya. Selalu membantu mereka saat tahu aku kurang menyukai mereka!"
"Joanna, kau sadar akan apa yang baru saja kau katakan? Isla dan ibunya bukan orang asing! Dia yang mengasuh Julio! Anak kita! Tanpa mereka Julio tidak akan tumbuh sebaik sekarang! Bisa-bisa kamu tidak punya hati sampai berkata demikian!"
Joanna langsung memalingkan wajah. Air matanya mengalir sekarang. Namun segera dihapus agar tidak ketahuan. Karena tangis wanita adalah kelemahan pria dan dia tidak ingin curang dengan memanfaatkan air mata demi memenangkan perdebatan.
"Tidak punya hati katamu? Jeffrey, kalau aku tidak punya hati, aku tidak akan seperti ini. Aku tidak akan repot-repot menunjukkan rasa keberatan saat kau terus membantu Isla selama ini! Baik! Silahkan lakukan apapun yang ingin kau lakukan! Karena aku juga! Jadi jangan berisik mulai dari sekarang!"
Joanna langsung keluar dari mobil. Lalu menghentikan taksi yang ada di tepi jalan saat ini. Meninggalkan Jeffrey yang mulai tersadar akan sesuatu kali ini. Karena dia melewatkan hal lain saat berdebat dengan istrinya tadi.
Iya. Apalagi kalau bukan karena kejadian pada beberapa hari yang lalu. Sebelum Julio dititipkan pada sang ibu.
Kejadian saat Isla diam-diam memakai pakaian Joanna yang ada di jemuran. Saat dia tengah mengantar Julio mengambil baju ganti karena baru saja hujan-hujanan. Dan sialnya waktu itu bertepatan saat Joanna pulang. Jadilah mereka perang dan Jeffrey yang jadi wasitnya.
Sebenarnya, Isla sudah meminta maaf dan mengaku jika dia hanya iseng saja. Namun Joanna yang memang bersumbu pendek dan tidak sabaran tentu saja enggan langsung memaafkan. Hingga langsung mengatakan jika anaknya akan diasuh oleh orang lain saja. Sebab dia sudah tidak nyaman dengan Isla.
Sebenarnya, Joanna berlaku seperti itu bukan tanpa alasan. Karena akhir-akhir ini sering melihat Isla diam-diam tersenyum saat menatap suaminya. Seperti sedang kasmaran dan Joanna yakin itu karena wanita itu menaruh rasa. Tetapi si suami justru bertingkah seolah tidak sadar dan bersikap sebaliknya. Membuat Joanna jengah dan merasa jika mereka memang sama-sama sedang memiliki ketertarikan.
"Bajingan!"
Pekik Joanna saat menaiki taksi. Dia juga langsung menyebutkan tempat tujuan pada si supir. Kemudian memejamkan mata dan memijat kepalanya sendiri.
Joanna benar-benar tidak peduli jika Jeffrey dan Isla memiliki hubungan selama ini. Namun dia jelas akan pergi jika hal itu terjadi. Karena dia bukan wanita penurut yang akan tetap tunduk meskipun telah disakiti suami. Sebab dia memang tidak bergantung apapun pada Jeffrey. Justru pria itu yang bergantung padanya selama ini. Karena menginginkan seks setiap satu minggu sekali.
Joanna? Jelas dia tidak butuh apapun dari pria ini. Kecuali status ayah untuk si buah hati. Sebab dia juga bisa mencari uang sendiri. Tidak terlalu cinta pada Jeffrey dan tentu saja yakin bisa mengurus Julio sendiri jika suatu saat nanti berpisah dengan si suami.
6. 10 PM
Jeffrey baru saja pulang kerja. Dia menatap meja makan yang sudah diisi oleh para penghuni rumah. Minus istrinya.
"Joanna di mana?"
"Mama belum pulang, Pa! Lembur katanya!"
Jawaban Julio membuat raut tegang Jeffrey melunak. Dia langsung mencium pipi anaknya. Kemudian duduk si sampingnya. Meskipun dalam hati merasa was-was. Sebab takut Joanna berduaan dengan Jordan yang memang menyukai istrinya.
Di tempat lain, Joanna sedang lembur dengan Teressa. Mereka juga hanya makan malam toast dan kopi saja. Karena pekerjaan semakin banyak saat akan tahun baru seperti sekarang.
"Tahun baru ke mana, Jo?"
"Tidak ke mana-mana. Rumahku kebanjiran. Mungkin bersih-bersih rumah."
"Kasihan. Aku dan anak-anak mau ke Bali rencananya. Kalu mau join nyusul saja! Tanpa bawa suami dan anak!"
Joanna tampak menarik nafas panjang. Sebab dia juga ingin seperti mereka. Bebas liburan tanpa memikirkan suami dan anak yang ada di rumah.
"Joanna? Bisa ke ruangan saya sebentar?"
Pertanyaan Jordan langsung membuat Joanna bangkit dari duduknya. Lalu mengikuti si bos dari belakang. Karena dia memang sering sekali dipanggil ke ruangan.
"Besok Darla tidak bisa ikut saya menghadiri rapat di Surabaya. Kamu bisa gantikan? Hanya kalian yang bisa bahasa Jerman. Saya tidak mungkin mencari orang lain saat masih ada kalian."
Joanna agak keberatan. Sebab Jeffrey pasti akan menentang. Apalagi dia akan berdua saja dengan Jordan.
"Saya pikirkan sebentar ya, Pak? Takut suami dan anak butuh saya mendadak."
Jordan mengangguk singkat. Sedangkan Joanna mulai pamit keluar dari ruangan. Dengan perasaan bimbang ingin menerima atau tidak.
Bagaimana kalau aku terima saja? Toh, Jeffrey tidak pernah memikirkan perasaanku saat bertindak. Seharusnya aku juga, kan?
Tbc...