Waktu

2 2 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Budayakan tekan bintang sebelum membaca,
karena jejak kalian penyemangat penulis.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

       Saat itu usiaku masih tiga belas tahun. Pandhu menyapaku di koridor sekolah saat itu dan akhirnya kami memiliki percakapan kecil. Percakapan kecil, yang kutahu saat ini, maknanya lebih berat daripada yang bisa kami sadari sebagai murid kelas 2 SMP ketika itu.

"Rimbi, nanti kamu mau qurban sapi atau kambing? Kan padimu di rumah banyak." Pandhu berkata dengan nada meledek, dia masih usil dan suka menganggu sejak SD.

"Mbahmu juga banyak tuh sawahnya."

Apa hubungannya jenis hewan qurban dengan luas sawah Mbah Putri? Jelas-jelas itu adalah barang yang berbeda. Aku mendengus.

"Nggak tahu, Ndu"

"Kok nggak tahu? Kan acaranya sebentar lagi." tuntutnya. Senyum menyebalkan tersungging di bibir Rehan.

"Eh, bapakmu kalau shalat menghadap ke mana? Kiblat, apa yang lain?"

Aku gelagapan, tidak siap dengan pertanyaannya itu. "Ya kiblat, dong!" aku menjawab refleks.

Jawaban yang kutahu adalah jawaban yang benar bagi mereka yang mendengarkan percakapan kami di koridor. Jawaban itu yang diajarkan Bu Dina-guru agama kami disekolah. Jadi jawaban itu benar, karena guru di sekolah yang mengajari. Titik.

"Ah, masaaaaa?" godanya lagi. Benar-benar dengan nada yang menyebalkan dan penuh ketidakpercayaan.

"Beneran menghadap kiblat?"

'Dia tahu sesuatu' batinku gelisah.

Aku memilih pergi cepat-cepat dari koridor sekolah yang makin ramai. Tak mau orang lain mendengar percakapan ini. Banyak pertanyaan langsung muncul di kepalaku. Mengapa anak seusianya sudah mengetahui samal sejauh itu? Apa memang masalah perbedaan keyakinan keluarga kami adalah bahan buah bibir yang lumrah untuk para orang tua di depan anaknya?

Aku menghela napas. Aku berumur tiga belas tahun dan aku sudah tahu kalau keyakinan keluarga kami berbeda dengan orang lain. Jadi mengapa Rehan yang seusiaku juga tidak boleh tahu?

Ya, itu karena 'tahu' belum tentu 'memahami' Tapi apakah dia harus berbicara selantang itu di koridor sekolah yang padat murid-murid? Aku malu!

"Biarkan saja Rehan itu, Rim. Yang penting kan niatnya" jawab Bapak ketika sore itu aku bertanya kenapa tidak mengirimkan satu ekor kambing saja untuk qurban, agar Rehan dan orang-orang di belakang kami yang bergunjing segera diam.

"Kita masih bisa membantu sesama dengan cara lain. Hal baik kan nggak cuma satu jalan saja. Kalau Bapak qurban supaya kamu nggak diledek Rehan, tentu saja hal itu menjadi sesuatu yang keliru."

Aku sesenggukan.

Meskipun tergolong warga yang mampu, Bapak tidak mengirimkan seekor kambing untuk disembelih di bulan Dzulhijjah. Sebagai gantinya, setiap waktu-waktu tertentu di penanggalan Jawa, terutama bulan Suro, Bapak akan membuat tumpeng dan satu ekor utuh ayam bakar untuk dibawa ke punden makam leluhur desa kami pada acara bersih desa.

Kadang-kadang kalau pertanian kami lancar rezekinya, Bapak akan menggelar wayang kulit. Saat itulah aku akan bertemu para pria berpakaian hitam, berbelangkon, dan berkumis lebat yang merupakan teman- teman baik Bapak. Mereka menyebut diri mereka 'tunggal sak perguruan' [Satu perguruan. Memiliki aliran kepercayaan yang sama.]

Walaupun keyakinan kami berbeda, Bapak menaburkan kegembiraan yang sama bagi penduduk Desa Sidoredjo desaku. Aku menemukan binar antusias yang sama di mata para penonton wayang kulit, sama seperti ketika melihat mereka memperhatikan deretan hewan qurban di masjid.

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang