Moonlight Destiny

10 2 0
                                    

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Budayakan tekan bintang sebelum membaca,
karena jejak kalian penyemangat penulis.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

        Malam ini hujan turun dengan deras, di tengah sunyinya sebuah perkotaan. Semilir angin berhembus mengenai rambutku. Menenangkan. Membuat suasana menjadi damai dengan indahnya kerlip yang berasal dari lampu jalanan.

Aku menghela napas. Tanganku dengan pelan menyentuh kaca yang berembun. Dingin seketika menyergap ujung jari, mengalir ke telapak tangan, melalui pergelangan, menembus siku, menuju bahu, hingga akhirnya tiba di hatiku.

Mengunci seluruh perasaan.

Membekukan semua keinginan.

Berharap malam ini, semua kisah harus usai.

Aku berjalan menyusuri pinggiran kota, melihat etalase toko yang sudah mulai redup menambah rasa yang kian sepi. Tetapi ada satu yang masih nyala. Dengan rasa penasaran, aku menghampiri toko tersebut. Ternyata hanyalah sebuah toko buku.

Ketika membuka pintu, terdengar suara lonceng berdenging. Memandang bagaimana suasana dalam toko buku tersebut, yang ternyata bertema Vintage. Terlihat mas-mas yang rajin merapikan buku, dengan dua kasir dan satu penjaga yang menggunakan pakaian berjenis Retro. Tempat ini mengagumkan. Membuat atmosfer semakin klasik.

Aku berjalan-jalan di sepanjang rak buku. Melihat sambil menyentuh satu-dua buku. Membaca sampul belakangnya, membuka-buka buku yang tak dibungkus oleh plastik. Menatap pengunjung lain yang sedang sibuk memilih, membuatku bernostalgia dengan masa lalu. Yang hingga kini, aku masih belum bisa berdamai dengannya.

Tak ada buku yang cocok untukku. Ketika hendak ingin berpindah rak, seseorang tiba-tiba menarikku. Yang ternyata salah satu teman lamaku semasa SMA.

"Masih ingat padaku Eliza?" ia menatapku sambil tersenyum.

Tentu saja, ia adalah Effan. Seorang yang mengetahui seluk-beluk wisata masa laluku.

Aku langsung memeluknya, menyalurkan rasa rindu yang sudah meluap.

"Masih, Aku masih mengingatmu Fan." ucapku sambil mendekap.

"Aku menemukan sesuatu, ketika melihatnya benakku langsung tertuju padamu. Sebelumnya, aku sudah melihatmu sejak membuka pintu tadi." Effan menjelaskan panjang lebar.

"Ingin menunjukkan apa?" Aku mengernyitkan dahi, tak selera.

"Ayo!" Ia langsung menyeretku tanpa menjelaskan sepatah kata apapun.

Ternyata ia ingin menunjukkan sebuah buku. Buku berwarna ungu dengan gambar rembulan sebagai sampul depannya.

"Ini, bacalah. Aku tak tahu jelas isinya, tetapi di lihat dari sinopsisnya cocok dengan apa yang kau cari selama ini. Semoga saja itu dapat menjawab semua pertanyaanmu." ujarnya sambil menatapku dengan pandangan lekat.

"Bagaimana kau bisa tahu?" ucapku sedikit kaget dan tak percaya.

"Apakah kamu tahu, semenjak kala itu. Aku selalu memperhatikanmu, dirimu yang pergi dengan sendirian ke dalam perpustakaan sekolah. Membaca tumpah-ruah kalimat demi kalimat, matamu seolah tak bisa lepas dari apa yang sedang dibaca. Saat itu aku mengerti, kamu mencari jawaban atas pertanyaan yang muncul di benakmu. Meskipun aku tak tahu apa yang kau pikirkan." Effan menatapku dengan serius.

Aku terdiam.

Terpaku atas pernyataannya.

Seolah waktu berhenti berputar.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 10, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AMERTATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang