Chapter 3

10 0 0
                                        


"Apa yang terjadi?"

Ogan dan Mauli bergegas keluar dari dalam toko. Di depan mereka, sejumlah barang berserakan. Buah apel bergelinding ke segala arah, merah menyala bak lentera yang bersinar di tengah malam. Seorang wanita muda berusia sekitar 27 tahun tampak gugup, berusaha memunguti barang bawaannya yang tercecer. Rambutnya panjang tergerai, wajahnya lonjong dengan hidung mancung—penampilannya mencerminkan sosok pekerja kantoran.

"Maaf... maaf sekali!" ucap wanita itu, tergesa.

Sangkut buru-buru membantu memunguti apel yang menggelinding. Ogan yang baru tiba, langsung membungkuk mengambil sebuah apel yang tergeletak dekat kakinya. Sambil tersenyum ramah, ia mendekat.

"Tak apa. Semoga tidak terlalu merepotkanmu," ucap Ogan, menyerahkan apel itu kepadanya.

"Namaku Cika," ujar wanita itu, agak canggung. "Aku baru tiba dari London, dan kebetulan lewat sini. Tapi begitu melihat patung Budha itu... aku benar-benar terpesona."

Cika menunjuk ke arah etalase kaca tempat sebuah patung Budha kecil terpajang. Mata Ogan memancarkan ketertarikan.

"Itu edisi langka. Hanya ada lima, dan kau akan jadi pembeli kedua setelah Bapak Walikota Lamus," jelas Ogan sambil tersenyum.

Cika melangkah mendekati patung setinggi 10 cm itu. Sorot matanya berbinar, bibirnya terus mengembang dalam senyum kagum. Di sisi lain, Mauli berdiri sambil menyilangkan tangan di dada. Wajahnya cemberut, napasnya tertahan. Kecemburuan menari di balik tatapannya, bagai api kecil yang menyala dalam sekam. Bukan karena Cika, tapi karena perhatian Ogan yang tampak begitu hangat kepada wanita asing itu.

"Patung ini... luar biasa. Ini pertama kalinya aku melihat pahatan seindah ini," ujar Cika sambil melirik Ogan. Kedipan matanya menggoda, membuat suasana sedikit menghangat.

"Aku yang mengelola toko ini," jawab Ogan singkat.

"Kau benar-benar kreatif. Batu kali bisa kau sulap jadi barang berharga," puji Cika.

"Sangkut, tolong bungkus satu patung Budha, ya."

Sangkut melirik Indri, sesama karyawan, lalu bergerak cepat menuju etalase. Ia sempat mencuri pandang pada Mauli yang tetap tak bergeming dari posisinya. Indri menyambut patung itu, meletakkan dalam kotak lalu memasukkan ke dalam kantong kertas.

"Tempat ini... lumayan," gumam Cika, sambil menenteng tas merah marun. Ia berjalan menuju kasir bersama Ogan yang menyelipkan kedua tangannya ke saku celana.

"Lumayan apa?" tiba-tiba suara Mauli terdengar pelan tapi tajam. Ia berdiri dengan kedua tangan di pinggang, rahangnya mengeras.

"Bisa pakai debit?" tanya Cika.

"Bisa," jawab Indri.

Setelah transaksi selesai, Cika menerima kantong kertas berisi patung itu.

"Terima kasih," ucapnya.

"Terima kasih kembali. Selamat datang kapan saja," sambut Indri dengan senyum profesional.

Cika berjalan menuju pintu utama, diantar oleh Ogan. "Aku harus pergi. Masih ada pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini," katanya.

"Semoga kau menyukai patung itu."

"Tentu," jawabnya, lalu berlalu.

Ogan masih berdiri di ambang pintu, matanya mengikuti langkah Cika hingga bayangnya lenyap. Selepas itu menoleh dan berjalan mendekati Mauli yang sejak tadi memasang wajah sekeras batu karang.

"Kenapa wajahmu seperti habis diguyur mendung?" goda Ogan.

Mauli menjawab ketus, menirukan gaya bicaranya tadi, "Semoga kau suka!"

Sangkut yang sejak tadi mengamati, berbisik kepada Indri, "Bu Bos cemburu."

"Sstt!" sahut Indri cepat. Wajah Mauli memang tampak garang, bahkan cukup untuk membuat dua karyawan itu menahan napas.

"Kau cemburu, ya?" goda Ogan, kali ini lebih lembut.

Mauli hanya membuang muka. Diamnya menjawab lebih dari seribu kata. Cemburu, tentu. Mana ada perempuan yang rela melihat lelaki yang disukainya begitu akrab dengan wanita lain? Namun, Ogan hanya menjalankan perannya sebagai penjual. Baginya, pembeli adalah raja, dan senyum adalah senjata dagang.

"Huh!"

"Kalau kau masih marah, berarti kita batal makan Sate Lamus yang dua kilometer dari sini, dong?" pancing Ogan sambil mendekat.

Ia meraih tangan Mauli. Lengan yang semula kaku perlahan mengendur saat Ogan menatap dan menjelaskan dengan tenang bahwa sikapnya tadi murni profesional.

Mauli akhirnya luluh, meski wajahnya tetap merona merah. Ia menatap Ogan sebentar, lalu berjalan ke dalam.

"Kau sudah makan, kan?" tanyanya pelan.

"Makan, iya. Tapi bukan makan berdua denganmu," jawab Ogan tenang tapi menggoda.

Mauli tak bisa menyembunyikan senyumnya. "Baiklah. Sebaiknya kau bersiap," katanya sebelum menghilang ke belakang.

Ogan menghela napas panjang, lalu menatap Sangkut dan Indri.

"Semangat, Bos. Wanita memang begitu," ujar Sangkut sambil mengangkat jempol.

"Sok tahu!" sahut Indri sambil mencubit bahu Sangkut hingga ia meringis dan tergeser beberapa langkah.

Ogan | Kitab WalasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang