"Apa yang terjadi?"
Ogan dan Mauli keluar ke depan. Terdapat barang dagangan seorang wanita berserakan, benda bulat merah menyebar di lantai. Wanita itu sekitar berusia 27 tahun, rambut panjang, hidung mancung dan mukanya lonjong dari penampilannya ia seorang pekerja kantoran. Wanita itu menjatuhkan barang bawaan karena terkesima melihat patung Budha yang terpajang.
"Maaf-maaf!"
Melihat sejumlah buah apel menggelundung, Sangkut berusaha membantu, Ogan seketika datang langsung memungut satu apel merah yang tergeletak di dekat kakinya. Sangkut bersusah payah membawa beberapa buah yang ia kempit lalu menyerahkannya. Ogan yang baru muncul langsung bertindak, satu apel tergeletak di dekat kakinya langsung dipungut. Lantas menabur senyuman, sembari mendekati.
"Maaf jika merepotkanmu."
"Siapa namamu?"
Ogan menyodorkan apel, kemudian melebarkan senyum. Wanita itu mengambil benda merah itu ragu-ragu lalu berusaha membuka mulut. "Aku Cika, aku baru sama tiba dari London. Tak sengaja aku mampir ke toko ini, aku sangat kagum dengan benda itu." Cika menunjuk ke arah patung Budha.
"Aku tak sadar menjatuhkan bawaanku ketika melihat patung itu, patung Budha itu sangat bagus, aku ingin membelinya," ungkap Cika.
"Oh, silahkan, itu edisi langka, hanya tersedia lima buah saja, dan kau adalah pembeli kedua setelah Bapak Walikota Lamus." Ogan mempersilahkan Cika.
Cika mendekati patung setinggi 10 cm, matanya berbinar sedangkan mulutnya terus tebar senyuman. Ogan mendampingi Cika dengan ramah sementara Mauli terlihat cemberut sambil melipat tangan. "Huh! Menyebalkan," gumam Mauli. Keberadaan perempuan itu sedikit membuat Mauli bereaksi, bukan perempuannya, karena Mauli cemburu jika Ogan dekat-dekat dengan wanita lain. Secara Mauli adalah wanita cukup tua dan telah lama menjomblo. Masih dalam tatapan tajam, layaknya patung polisi justru membuat dua karyawannya tak tenang.
"Jadi kau yang membuatnya? Aku baru pertama kali melihat patung seindah ini." Cika menatap sebentar. mengedipkan mata pula, kedipan mata yang bikin hati makin mendidih.
"Bisa dibilang begitu, aku pemilik tempat ini."
"Kau memang unik, bisa memanfaatkan batu kali lebih berharga," balas Cika.
"Sangkut, tolong packing patung Budha satu ya!"
Sangkut langsung bereaksi, dia sempar melirik Indri, bukan ada masalah dengan sesama pekerja, tetapi takut melihat ekspresi Mauli. Ia menuju patung tersebut kemudian membawa ke meja kasir, Indri menyambut dan memberi kotak sekaligus kantong kertas. Ogan dan Cika berjalan bersamaan menuju kasir.
"Tempat ini lumayan."
Cika menatap Ogan dengan menggendong tas merah marun, sementara Ogan memasukkan kedua tangan ke saku celana. "Lumayan apa?" ucap Mauli dengan suara tertahan. Dia memasang kedua tangan di pinggang, giginya bergetar, menghasilkan suara ngeres. Dia tak tahan melihat Ogan genit, lebih mesra dengan wanita lain ketimbang dirinya.
"Bisa pakai Debit?"
"Bisa."
Cika menyodorkan kartu ATM warna hitam. Indri memasukan ke dalam mesin mini, lalu meminta Cika memasukan pin. Muncul suara struk, selembar kertas dengan catatan harga kwantitas. Usai transaksi, Indri menyodorkan kartu tersebut disusul dengan barang yang telah dibeli.
"Terima kasih."
"Terima kasih banyak, selamat datang kembali," ucap Indri.
Setelah menerima kantong kertas, Cika menuju pintu utama ditemani oleh Ogan. "Aku harus pergi, aku masih ada pekerjaan yang belum aku selesaikan hari ini."
"Baiklah, semoga kau suka dengan patung itu!"
"Tentu." Cika berlalu.
Setelah Cika jauh dari pandangan, Pria itu masih berdiri di mulut pintu. Kemudian berjalan menghampiri Mauli yang dari tadi mulutnya seperti dikuncir.
"Kenapa wajahmu begitu jelek?"
"Semoga kau suka!" Mauli menirukan gaya bicara Ogan.
Mendengar kalimat Mauli, Sangkut mendatangi Indri dan berbisik. "Bu Bos cemburu!" Sangkut mendekatkan mulutnya ke telinga Indri."Sssttt!" tatap Indri. Sedari kemunculan pembeli wanita itu, Sangkut dan Indri merasakan aura kecemburuan. Wajah Mauli telah menakutkan hingga mereka tak berani berucap.
Ogan mengangguk-angguk sambil memainkan bibir, "Kau cemburu?" Mendengar kalimat balasan Ogan, Mauli justru membuang muka. Tentu saja cemburu, perempuan mana yang rela pasangannya bermesraan dengan wanita lain. Padahal hal tersebut Ogan lakukan hanya berlaku sebagai penjual untuk pembeli agar mereka betah dan bisa kembali lagi. Tetapi tampaknya Mauli tidak menyadari hal itu atau memang tidak mengerti.
"Huh!"
"Kenapa kau marah-marah? Jika begitu nanti bisa batal kita mau cicipi Ayam Madu dua kilometer dari sini."
Ogan mengejar, lalu menarik lengan Mauli. lengannya halus dan lembut tersebut berhasil dicapai. Dia memegang erat tangannya kemudian menjelaskan bahwa yang lakukan hanya sikap profesional, tidak lebih. Perkataan yang lembut serta pelan, akhirnya berbuah hasil. Wanita itu mau diajak pergi meski malu-malu tapi mau. Ia menatap Ogan dengan membuang wajah cemberutnya.
"Kau kan sudah makan?"
"Makan denganmu belum," tutur Ogan jelas dan padat.
"Baiklah, sebaik kau bersiap!" Mauli kembali ke belakang. Ogan menghembuskan nafas panjang sambil menatap Sangkut dan Indri. "Semangat Bos, wanita memang seperti itu," ungkap Sangkut memberikan acungan jempol.
"Sok tau juga kau!" Indri memukul bahu Sangkut hingga bergeser beberapa langkah ke samping.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ogan | Trah Sriwijaya
Ficción históricaSetelah dua tahun bersama terungkap bahwa Ogan berasal dari Semesta Pranal. Dia bahkan bertemu dengan seorang evolus, sang pengendali elemen yang tak biasa. Bahkan prajurit tersebut bukanlah seorang manusia, dia adalah makhluk sekelas dewa. Seorang...