Sebelas

1.4K 234 151
                                    

Hari demi hari berlalu begitu cepat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hari demi hari berlalu begitu cepat. Tidak terasa dua minggu lagi sudah ujian tengah semester. Mahasiswa yang mengambil mata kuliah Pra Tugas Akhir tidak perlu mengikuti ujian tulis. Namun, kami diwajibkan untuk melakukan presentasi tentang pengamatan masalah dari masing-masing judul. Itu artinya, aku harus mengenal hotel Grand Atlantica lebih dalam dan mulai mencari solusi untuk dapat merencanakan desain yang lebih baik.

Hal ini tidak mudah bagiku, karena aku harus mengingat-ingat kembali materi dari mata kuliah yang kuambil di semester sebelumnya. Aruna tahu betul aku benci mata kuliah teori. Aku selalu belajar sehari sebelum ujian tiba, dan maksimal hanya mendapatkan nilai B. Karena itu, Zarfan banyak membantuku. Selain mengajariku, ia pun meminjamkan banyak buku catatannya semasa kuliah. Terkadang, Aruna pun turut membantu. Itulah rahasiaku agar selalu bisa memenuhi deadline bimbingan dengan Pak Rizal.

Lagi-lagi, aku mengalami writer's block ketika mengetik di kost. Aku harus keluar dari kamar dan mencari suasana baru. Namun, akhir-akhir ini kedai kopinya Aruna selalu dipenuhi oleh mahasiswa jurusan lain, karena hanya tempat itulah satu-satunya co-working space yang dekat dengan kampus. Tidak ada cara lain, aku harus pergi ke kampus dan mengerjakan laporannya di sana.

Ketika memasuki kelas Pra Tugas Akhir, aku merasa diperhatikan oleh nyaris semua adik kelasku. Terkadang, mereka saling berbisik dan terkekeh ketika melirikku. Hal ini sudah berlangsung selama seminggu. Awalnya, aku mencoba mengabaikannya. Namun, tatapan mereka lama-lama menggangguku.

Satu hal yang tidak kumengerti; aku tidak merasa melakukan kesalahan. Jadi, untuk apa mereka menatapku dan berbisik-bisik tentangku? Jika aku ditertawakan karena mengulang mata kuliah Pra Tugas Akhir, itu sangat tidak masuk akal, karena ada dua seniorku yang bahkan masih mengambil mata kuliah ini.

Meskipun terganggu setengah mati, aku mencoba untuk fokus saja pada laporan. Kupasang earphone di telinga, lalu kuputar playlist-ku di Spotify dan mulai mengetik. Tiba-tiba saja, seseorang menghampiri mejaku. Aku berhenti mengetik dan mendongak. Pandanganku bertemu Dika yang kini menguncir rambutnya menjadi buntut kuda kecil. Poni panjangnya membingkai wajah bagaikan tirai. Ia mengenakan oversize sweater hitam dengan kemeja flanel di dalamnya-terlihat dari kerah yang menjulur di lehernya.

Dengan wajah datar, cowok itu menyodorkan beberapa lembar kertas yang disatukan dengan paperclip ke depan wajahku. Bibirnya bergerak mengatakan sesuatu.

Sambil mengernyit, aku melepas earphone. "Sori?"

"Ini berkas punya Teteh. Kemarin ketinggalan di meja Pak Rizal waktu bimbingan," ujarnya cuek.

"Oh." Aku mengambil berkas tersebut. "Makasih."

Tablo melintas di samping Dika. Ia menepuk punggung cowok gondrong itu cukup keras. Dengan wajah nakalnya, ia mengejek cowok itu. "Bobogohan wae, euy!"

"Gandeng ai sia," balas Dika dengan wajah datar. Ia meletakkan kedua tangannya di saku celana, kemudian menendang betis teman dekatnya itu.

Kapan Lulus? [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang