twenty

3 1 0
                                    

Jam menunjukan pukul tiga petang, bahkan cahaya mentari pun sudah mulai menyorot ke arah dari arah barat. Ezaya, gadis itu berjalan lunglai ke arah parkiran motor.

Ia melamun sepanjang jalan, memikirkan kartu nama yang sangat menggangu pikirannya. Nama Geby dan papahnya Mahen membuatnya berpikir berulang kali apa hubungan mereka.

Disertai dengan kata-kata Geby hari ini membuatnya semakin pusing.

"Arghh! Ngapain sih gue mikirin kayak gitu, bikin pusing aja! Jadi pengen nonjok bang Ryan kalo gi-" kalimatnya menggantung begitupun langkahnya yang behenti di tempat.

Di hadapannya kini ada tiga remaja salah satunya ia kenal tapi dua laginya tidak, dua remaja yang tak ia kenal itu menoleh ke arahnya di ikutu remaja yang Ezaya kenal.

"lo yang tadi di perpus hampir kejatuhan rak, kan?" remaja itu bertanya.

Ezaya mengangguk pelan dan berjalab mendekat.

"iya, lo sendiri? Yang nolongin gue kan?" kini ia bertanya balik. Pemuda itu tersenyum dan mengangguk.

Sejenak Ezaya terpana, senyum teman sebaya lawan jenisnya ini memilik senyum yang manis tanpa sadar remaha itu menatapnya heran.

"malah bengong, gue Dafa. Dafa Raskal Andara. Ini temen-temen gue dari sekolah lama, Zulfan dan Zelfan mereka kembar." ia memperkenalkan diri sekaligus dua temannya yang datang berkunjung, dilihatnya lagi Ezaya yang hanya diam membuatnya mengharuskan menepuk pundak gadis itu.

"eh iya. Gue Ezaya Zivannya Arthur. Salam kenal dan makasih buat di perpus waktu itu, nanti kalo ada waktu gue kasih lo imbalan." ujar Ezaya dengan senyum manisnya membuat lesung pipinya terlihat.

Senyum nya membawa aura positif sehingga Dafa, Zulfan dan Zelfan ikut tersenyum.

"Zay, ngapain?" suara berat dari belakang yang terdengar familiar memanggilnya membuat Ezaya menoleh.

Mahen, pemuda itu tengah berdiri dengan satu tas di bahu kirinya.

"gak ngapa-ngapain, lo sendiri ngapa-" ucapannya terpotong saat suara Geby menarik atensi Mahen.

"ayok pulang, aku udah suruh sopir gak jemput. Soalnya mau ikut kamu." Geby bergelayut manja di tangan kanan Mahen yang tak di gunakan apapun.

Mahen berdecak dan nyari mendorong Geby jikalau Ezaya tak segera melewati mereka.

"gue duluan ya, Daf." orang yang di panggil menggangguk sementara Mahen bingung, karena gadis itu sama sekali tak meliriknya.

Ezaya pergi, di susul Mahen dengan Geby yang mengekor di belakangnya.
Senyum miring tercetak jelas di wajah Dafa, ia menatap punggung itu yabg berjalan menjauh.

"dia anak pembunuh itu, orang yang udah bikin ayah sama bunda pergi ninggalin gue. Tujuan gue cuma satu bikin dia ngerasain apa yang gue rasain." gumamnya dengan tangan terkepal.

"cowo itu yang kita keroyok tempo hari kan Zul?" tanya Zelfan pada kakaknya Zulfan.

"iya, dia. Mahendra Arsean Akratama." jawab Zulfan sembari melirik Dafa dan ikut menarik senyum sinisnya.
















Di ruangan yang hanya di terangi oleh dua lampu di atas nakas itu Bima berdiri menatap datar penuh arti pada pria di hadapannya. Tangannya yang terkepal ia sembunyikan dengan baik di belakang tubuhnya.

"tarik kembali permintaan perjodohan ini." Bima berucao dengan nada tertahan.

Ucapan nya berhasil membuat orang di hadapannya yang tengah berbaring tertawa sinis dan bangkit.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 19, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

ZAHENTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang