Chapter 5🌳

2K 381 0
                                    

Kalian tahu? Setiap aku menulis cerita dalam satu bapnya bisa memakan waktu  berjam-jam. Bahkan aku harus  mengulang revisinya setiap hari demi kenyamanan baca kalian.

Jadi tolong bantu aku ramaikan ceritaku ini.


🦩🦩🦩🦩

*****

"Meira!"

"Meira!"

"Meira!"

Samar-samar seruan pria terdengar sangat jauh. Ntah dari arah mana ia menyerukannya.

Pemilik nama tersebut tentu mendengarnya. Ia pun hafal dengan siapa yang memanggilnya. Tentu suaminya, siapa lagi kalau bukan suaminya.

"I-iya gus," sahut Meira usai menyelesaikan shalatnya.

Nampaknya tergugup-gugup. Hingga secepatnya bangkit berdiri, dan bergegas lari  tanpa melepas pakaian shalatnya terlebih dahulu.

Baru tiga langkah berlari. Suatu kejadian menyambarnya. Membuat langkah larinya seketika terhenti.

Sangkin bersemangatnya mendapati panggilan sang suami yang jarang sekali ia dapati. Sampai-sampai ia lupa bahwa dirinya siapa. Status dirinya hanyalah seorang penyandang tunanetra. Yang tak dapat melihat sesuatu di sekitarnya. Tak mungkin ia berlari sesukanya, sementara melihat saja tidak bisa.

Ia masih dalam berposisi tersungkur sembari mengusap pelipisnya yang terasa sakit.

Kejadian apa yang barusan menimpanya? Ia tak sengaja menabrak pintu hingga membenturnya begitu keras, sebap kesalahannya yang berlari.

Fahmi sempat menyaksikannya kejadiannya, kebetulan ia baru tiba masuk ke dalam kamarnya. Fahmi juga terkejut, namun segera menetralkan ekspresi wajahnya yang seolah tak terjadi apa-apa. Dari ekspresi datarnya menggambarkan watak dirinya yang memang tak sepeduli itu terhadap istrinya.

"Ssst ... Sakit," Lirih Meira, sembari meringis kesakitan. Ia terus menggenggami kepalanya.

Fahmi melangkah lebih dekat darinya. Tak ada kepedulian yang ia berikan padanya, semacam bantuan atau apapun itu. Tak ingin bertele-tele. Ia hanya ingin meluruskan tujuan awalnya.

"Tante Sarah barusan menelpon saya, ia ingin berbicara  denganmu, ini ambilah," Ucapnya tanpa berbasa-basi, sembari menyerahkan teleponnya setelah menekan tombol hubungi ulang.

Bukan menolong, ia malah menghindar dari posisi istrinya.

Lihatlah istrinya yang nampak begitu kesakitan. Teganya begitu ia abaikan.

Meira mengambil teleponnya yang berada pada genggaman suaminya. Dari posisinya yang masih bersimpuh. Setelahnya ia bangkit berdiri dengan perlahan.

*****

"Walaikumsalam, alhamdulillah Meira baik-baik saja tante ... Ouhiya bagaimana kabar keluarga di sana?"

Bincang Meira pada seseorang di balik telepon.

"Alhamdulillah tante."

Sarah juga menanyakan tentang bagaimana hubungannya dengan Fahmi, menanyakan hari-hari  bersama Fahmi. Sarah bertanya apakah ia bahagia bersama Fahmi? Apakah ia betah tinggal di daerah barunya? Banyak pertanyaan itu yang membuat Meira terdiam dengan perasaan getirnya. Ini pertanyaan berat baginya, apa yang harus ia katakan sebagai jawaban? Apa ia harus berbohong?

Kedengarannya Sarah menagih jawaban.

"A-alhamdulillah, hari-hari Meira selalu baik, gu ... Eh m-mas Fahmi sangat baik padaku. Dia selalu perhatian. Meira tidak menyangka akan mendapatkan pria sebaik dia," alabinya berbohong. Ia sedikit bergetar. Berat mengucapkan kalimatnya, hatinya bagaikan terkoyak-koyak.

Gadis Buta Yang Mampu Menaklukan Dia (SELEAI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang