"Bagaimana perjalanannya, om?" Singgung Fahmi berguyon.Dzai mengangguk menahan senyum.
"Alhamdulillah lancar ..."
"Jalur kayangan," Timpalnya di akhir.
"Numpang slendang Nawang Wulan," Kekeh Fahmi.
"Numpang dulu. Kapan-kapan beli roket," Tutur Dzai sembari menghisap rokok, dengan posisi duduk bersila.
Fahmi tertawa.
Meira yang baru datang menghampiri ruang tamu dengan membawakan dua cangkir teh hangat.
Meira mengulurkan tangannya dengan meraih pungguh tangan omnya, lalu menciumnya dengan takdzim.
Dzai tergemap, mendapati pemandangan di depannya.
"Kamu sehat, nak? Badanmu terlihat lebih kurus dari sebelumnya. Kamu sakit?" Tanya Dzai yang spontan mengkhawatirkannya, kala mendapati anak gadisnya yang nampak berbeda.
Fahmi tertegun, mendapati sasaran, saat Dzai menatap dalam ke arahnya seolah bertanya kepadanya.
Meira menggeleng, "Meira baik-baik saja,om. Kemungkinan karena om sudah lama tidak melihat Meira, jadi nampaknya berbeda. Meira masih sama seperti yang dulu," Lirihnya.
Dzai mengrenyitkan dahinya, merasa tidak yakin, "Tidak. Dulu tubuhmu tidak sekurus ini. Om hafal betul denganmu."
Fahmi sudah kalang kabut. Takut diintrogasi, takut disalahkan. Ia berdiam pasrah menanti giliran. Lain kali ia harus lebih giat lagi dalam memperhatikan asupan sang istri, agar tidak terjadi hal seperti ini lagi.
"Ya mungkin karena efek rindu? Rindu Surabaya, Rindu keluarga, dan masih banyak lainnya. Meira belum bisa terbiasa dengan keadaan di sini," Gumamnya dengan hati terhayu. Sebisa mungkin ia menutupi apa yang sebenarnya terjadi, hingga membuat tubuhnya kurus seperti yang di katakan.
"Rindu Surabaya? Sampai kurus begini?"
Meira mengangguk, menampakan raut wajah getirnya.
"Ouh jadi begitu... Tidak apa-apa. Ini yang di namakan adaptasi. Nanti lama kelamaan juga kamu akan terbiasa. Ingat sekarang kamu sudah menjadi seorang istri, harus nurut apa kata suami. Sabar ya," Umpannya menasehati, sembari mengusap halus kepala anak gadisnya yang tertutup kain hijabnya itu.
Meira mengangguk, "Maaf Meira masih belum bisa terbiasa, dan masih belum membiasakan."
Butiran air mata yang tiba meluruh. Sejujurnya Meira sudah tidak tahan tinggal di rumah suaminya. Bukan soal rindu, tapi karena terlalu banyak tekanan yang menimpanya, sehingga ia pelampiaskan alasan sukarnya pada satu hal yang bukan menjadi sebab utamanya. Ia tak berani mengatakan hal yang sebenarnya.
"Tidak apa-apa, semuanya butuh proses. Kami mengerti. Ya kan mas Fahmi?" Ucap Dzai menyalurkan pertanyaan pada Fahmi.
"E-ouh i-iya, betul sekali," Gugup Fahmi. Ia sudah berpikir jika ia akan disalahkan, namun ternyata tidak. Ia harus lebih waspada saat melakukan tindakan pada Meira.
Pandai sekali pria itu bermain peran di hadapan orang tuanya.
Meira bercerita banyak pada omnya, sementara omnya dengan suaminya hanya sibuk menyimak ceritanya sampai-sampai keduanya tak dapat kesempatan untuk berbincang, namun keduanya memaklumi.
Kedua pria itu tertawa menanggapi ceritanya. Ada lucu dan ada sedih semuanya ia ceritakan.
Sejak dulu Meira memang orang yang ceria dan gemar bercerita. Ketika mengalami masalah Dzai lah orang pertama yang akan ia cari untuk berbagi cerita.
*****
Sebelum berangkat ke kantor, Fahmi dan Dzai memutuskan untuk makan siang di rumah. Memakan hidangan hasil masakan berdua, yang sudah Fahmi dan Meira siapkan sejak pagi tadi.
"Bagaimana, om? Enak kan masakan Meira?" Tanya Meira mengharapkan komentar.
"Masyaallah, ini enak sekali," Pujinya tak banyak, karena ia tengah fokus menikmati masakannya.
Fahmi makan dengan lauk hasil masakannya sendiri. Ia nampak tak berselera. Ia bimbang Ingin mencoba masakan Meira, tapi gengsi.
"Mi, tidak ingin coba masakan ini?" Tanya Dzai, saat ia juga sedang menambah lagi. Kebetulan Fahmi juga sedang menginginkannya. Dzai bahkan tidak tahu jika kedua pasangan itu masing-masing memasak dengan menunya sendiri.
"Ouh iya, saya lupa,"
Bukan lupa, tapi memang sengaja dilupakan.Menanggapi dengan jawaban itu tidak mungkin ia menolaknya. Setelah itu ia harus sungguh-sungguh mengambilnya.
Meira merasa cemas. Suaminya benci dengan masakannya, namun tidak mungkin ia mengatakan itu, lebih-lebih terlihat dengan omnya, jadi Meira diamkan saja. Di coba terserah tidak juga terserah.
Detik kemudian Fahmi terdiam setelah mencoba masakan gadis yang sering ia abaikan itu. Ia terkesima. Rupa-rupanya Masakan istrinya jauh lebih enak dari masakannya, bahkan lebih enak dari masakan restoran yang biasa ia kunjungi.
Padahal selama ini ia sering meragukan masakannya. Yang ia anggap tidak enak.
Fahmi ketagihan, diam-diam menambah lagi dan lagi hingga keterusan. Tak perlu khawatir, Meira tak akan tahu. Sebab ia tak melihatnya.
*****
"Ini hanya bagian kantor pemasaran. Untuk pabrik dan agen kami buat secara terpisah dari berbeda lokasi."Sepanjang jalan mengelilingi bangunan kantor. Fahmi bercakap panjang lebar menjelaskan tentang suasana kerjanya di dalam perusahaannya.
"Jadi para pekerjanya pun juga di bedakan, ya?"
"Untuk tugas bagian pabrik kami khususkan untuk para pekerja pria. Dan bagian kantor kami khususkan untuk para pekerja wanita."
Dzai mengangguk kian memahami.
"Jadi tidak ada percampuran antara pekerja pria dan wanita?"
"Tidak, kami menghargai pekerja kami. Melihat sisi kemampuan perkerja kami. Untuk wanita tidak kami tugaskan di pabrik, karena tugas didalamnya penuh dengan tugas yang di luar batas kemampuan wanita."
"Masyaallah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Gadis Buta Yang Mampu Menaklukan Dia (SELEAI)
General Fiction⚠️Wajib folow dulu sebelum baca⚠️ 'Sebelumnya saya sudah memiliki kekasih, hubungan sudah berjalan tiga tahun lamanya, dia wanita setia yang telah menemani perjuangan saya dari nol hingga berada di titik yang sekarang ini. Tidak mudah meninggalkann...