Chapter 23

218 39 4
                                    

"Aku pria yang tamak Hinata... Pria yang tamak."

Hinata masih mencerna pelan-pelan ucapan Sasuke tempo hari itu. Di pikirannya ia mencoba mencari kata-kata yang memungkinkan. Seusai membicarakan tentang perjanjian pranikah, Sasuke menjadi tak banyak bicara. Sifat dasar pria itu adalah pendiam, namun diamnya kali ini berbeda dari biasanya.

Dan apa maksudnya dengan mengatakan bahwa pribadi dirinya adalah orang yang tamak?

Sasuke tak menjelaskan dengan lebih lanjut soal itu. Waktu ita dia malah menarik selimut, lalu meninggalkan Hinata dengan penuh tanda tanya. Tapi, dari nada bicaranya, Sasuke malah terdengar seperti marah padanya?

Jika dipikir-pikir, Hinata sudah menyampaikan keinginannya dengan hati-hati. Sasuke malah berkata akan mempertimbangkan permintaannya. Ataukah ada kata-kata yang menyinggung perasaannya?

Dari kemarin Hinata terus memikirkan hal itu. Bahkan saat menghadiri pengadilan sidang kedua siang tadi, ia tak bisa konsentrasi. Dia jadi dua kali kena tegur oleh sang hakim. Dan untungnya bulan depan adalah sidang terakhir untuk kasusnya.

"Permisi... Apa Kakak tidak apa-apa?"

Hinata yang terbangun dari lamunan lantas melirik seseorang —pegawai supermarket- yang menegurnya. Kemudian kelopak matanya berkedip menatap sekotak telur di tangannya seraya menyadari bahwa dirinya sama sekali tak bergerak di depan stan telur semenjak 10 menit yang lalu.

'Apa karena aku kurang minum air putih?'

"Ah, aku tidak apa-apa." Ujar Hinata yang tersenyum menenangkan.

Ia kemudian berkesiap mengambil telurnya lalu beranjak menuju kasir.

Setelah beberapa lama mengantri di dalam supermarket akhirnya Hinata bisa keluar, akan tetapi di tengah perjalanan ia mendapat telepon dari nomor asing. Dan begitu diangkat, siapa yang menyangka kalau Sakura akan menelponnya seperti ini.

Sakura mengajaknya main ke apartemennya. Di saat ucapan itu keluar, Hinata tahu kalau ia tak bisa menolak —ia teringat janji. Walaupun ia tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh wanita itu nanti, jelas masuk ke sarang lawan adalah hal yang patut diwaspadai.

.

.

.

Meskipun butuh waktu yang cukup lama untuk tiba, kini ia telah berada di depan pintu apartemen tempat Sakura tinggal. Hal yang tak bisa di sangka oleh Hinata kala datang berkunjung adalah kehadiran Sasuke. Pria itu yang justru membukakan pintu untuknya.

Melihat ekspresi wajah Sasuke yang terkejut adalah tanda bahwa ia tak tahu perihal kedatangan Hinata saat ini. Mungkin berat kakinya melangkah juga sebagian pertanda hal buruk lainnya. Namun, Hinata tak bisa terus untuk berprasangka buruk, dan juga berarti untuk tidak menurunkan ketajaman kewaspadaannya.

Untuk sejenak manik mereka yang berbeda warna itu saling mengikat. Bergetar dan saling berpandangan. Ada sebuah kerinduan yang membuncah yang tak peduli berapa lama waktu mereka berpisah. Di sisi lain, benak mereka pun masih tak bisa bergerak dari perbincangan menggantung tempo hari itu.

"Hinata, kenapa kau kemari?" tanya Sasuke yang menerima jeruk yang dibawakan Hinata.

"Aku tak mungkin datang kalau ini bukan permintaan istrimu, Sasuke- kun."

Mendengar kata 'istrimu' dari bibir Hinata ternyata membuat Sasuke tak berkutik.

"Apakah itu Hinata, Sasuke-kun?" tanya Sakura yang teriakan berasal dari dapur.

Baby BreathTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang