Malam kembali datang menguasai alam. Jam dinding di kamar Marissa menunjukkan pukul sembilan malam. Perempuan muda itu baru saja selesai membaca profil perusahaan milik ayahnya. Meletakkan kaca mata bacanya, ia lantas menanggalkan hijab dan membenarkan cepolan rambut panjangnya. Setelah itu ia masuk ke kamar mandi, bermaksud menuntaskan hajat sembari melakukan ritual sebelum tidur.
Lima menit setelahnya, acaranya di kamar mandi pun selesai. Ia kemudian ke luar dan duduk di meja rias, untuk memakai serum wajah, yang rutin ia gunakan sebelum tidur. Setelah selesai, ia kembali menaiki ranjangnya, menarik selimut dan mematikan lampu utama. Seusai melafalkan doa sebelum tidur, ia segera memejamkan ke dua matanya.
Sementara itu di lantai bawah, Rasyid, kakak dari Marissa, baru saja menapakkan langkahnya di ruang tamu. Lelaki tiga puluh dua tahun itu menyapa dan menyalami ayah bundanya yang sedang bercengkerama di ruang keluarga.
"Kok sampai malam, mas?" tanya bunda.
"Ada sedikit lembur di kantor, bunda. Mas harus menyelesaikan beberapa berkas yang sudah menumpuk dari seminggu yang lalu. Di depan, mobil siapa itu, bund?"
"Mobilnya adek, mas" sahut ayah.
"Maksud ayah, Marissa?"
"Ya memangnya adek nya mas siapa lagi kalau bukan dia?"
"Hehe iya, yah. Terus, di mana anak itu sekarang?"
"Ada di kamarnya, mungkin? Habis makan malam tadi, nggak ada turun lagi, tuh!" ucap bunda menjelaskan.
"Oh, begitu? Ya sudah bund, yah, mas mau masuk kamar dulu. Badan mas sudah capai banget. Bunda sama ayah segera istirahat, ya? Rasyid tinggal dulu."
Setelah mendapat anggukan dari ke dua orang tuanya, Rasyid segera naik ke lantai dua menuju kamarnya. Ia sudah sangat rindu terhadap adik satu-satunya itu. Tapi, sebelum menemui adiknya, ia akan terlebih dahulu membersihkan tubuhnya yang berkeringat.
Masuk ke dalam kamarnya yang berhadapan dengan kamar si peri kecilnya, ia meletakkan tas dan juga sepatunya. Setelah itu satu persatu kain yang melekat di tubuhnya ia tanggalkan. Lalu ia letakkan di keranjang pakaian kotor. Dengan menyisakan celana pendek sebatas lutut, ia meraih handuk lalu masuk ke dalam kamar mandi.
🍁🍁🍁
Rasyid baru saja selesai dengan salat isya nya. Ia kemudian melipat sajadah dan melepas baju Koko nya. Dengan tetap mengenakan sarung juga atasan kaos putih tipis, ia beranjak ke luar dari kamarnya sendiri, menuju kamar sang adik tercinta.
Mengetuk sebentar pintunya, ia lantas perlahan membuka pintu di depannya tersebut. Suasana temaram, dengan pemandangan seonggok manusia yang tengah meringkuk. Menjadi pemandangan yang pertama kali ia lihat, ketika ia memasuki kamar adiknya. Ia berjalan dengan pelan, mendekati ranjang tersebut.
Sesak, tiba-tiba menghampiri dadanya. Sudah terlalu banyak kerinduan yang menumpuk di hatinya. Nyaris sepuluh tahun mereka tinggal terpisah. Sesekali mereka hanya bertukar kabar lewat virtual. Sesekali ia yang menjumpai adiknya itu di rumah paman mereka.
Maka ketika sekarang ia dapat berkumpul satu atap lagi dengan sang adik. Rasanya, beban berat kerinduan seperti meluruh begitu saja. Seirama dengan air mata haru yang akhirnya jua menetes dari ke dua netra beningnya.
Dengan teramat pelan, ia mendudukkan pantatnya di sebelah sang adik yang tengah tidur dengan tenang. Tangan besarnya perlahan terangkat dan mendatar di kepala sang adik. Ia belai dengan lembut, surai hitam nan lembut itu. Sembari sekuat tenaga menahan isakan yang bisa saja ke luar.
Rasyid tak menyadari bahwa apa yang ia lakukan, nyatanya mampu membangunkan sang adik tercinta. Iya, Marissa memang terlihat sudah tidur. Namun, sebenarnya perempuan itu hanya memejamkan mata. Lama tidak pulang ke rumah, membuatnya seperti beradaptasi di tempat baru. Hal itu tentu saja tidak mudah baginya, yang memiliki kebiasaan tidak langsung cocok dengan tempat yang baru.
Perlahan, Marissa menggerakkan tangannya. Disentuhnya tangan sang kakak yang masih bertengger manis di atas kepalanya. Rasyid tentu saja terkejut dengan aksi sang adik. Ia mengira adiknya tidak tahu keberadaanya, ternyata sebaliknya.
"Mas Rasyid kapan datang?" tanya Marissa sembari merubah posisinya menjadi duduk.
"Baru beberapa menit yang lalu, dek."
Lelaki itu begitu saja memeluk tubuh sang adik yang sedikit lebih kecil darinya. Marissa pun membalas pelukan sang kakak. Ia tidak bisa bohong, bahwa ia juga sangat merindukan lelaki cinta ke duanya itu.
"Kamu betah banget sih dek, di rumah om? Istimewanya di sana apa, sih?" tanya Rasyid.
"Banyak. Di sana, bisa lebih manusiawi aja, sih" celetuknya.
"Lah emang kamu selama ini setengah jadi-jadian?" canda Rasyid.
Marissa hanya membalas candaan kakaknya dengan senyum setipis mungkin. Tidak ada yang tahu mengenai apa yang sebenarnya hatinya rasakan.
Ketika dulu ia menginjak kelas dua SMA, ada seorang teman kelasnya yang sebenarnya diam-diam ia sukai. Lelaki itu pun dengan terang-terangan menggodanya. Mengakuinya sebagai kekasih di hadapan warga satu sekolah mereka. Marissa tentu saja senang. Tapi, ia yang tidak diperbolehkan berpacaran oleh keluarganya, membuat ia tak berani berbuat lebih.
Hal yang akhirnya memukul telak kesadarannya adalah, ketika lelaki yang dalam diam ia sukai. Mengumumkan hubungan barunya dengan salah satu adik kelas, tepat setelah dua bulan ia membuat kehebohan hubungan dengan dirinya. Marissa sadar bahwa ucapan lelaki itu adalah sebuah lelucon.
Sejak hari itu, perlahan Marissa menjadi sosok yang tidak begitu peduli dengan sekitar. Ia yang semula ceria, perlahan merubah sikapnya menjadi dingin kepada siapa pun. Hanya sesekali akan menghangat ketika bersama keluarganya di rumah. Hal itu ia lakukan demi membentengi hatinya sendiri.
Alvin, sosok lelaki itu, tidak pernah peka dengan perasaan Marissa. Maka setelah kelulusan SMA, Marissa remaja memutuskan pindah ke luar kota, mengambil pendidikan di sana. Sembari menemani paman dan bibinya yang tinggal berdua saja. Lantaran dua adik sepupunya, yang berusia beberapa tahun di atasnya, melanjutkan studinya ke luar negeri.
"Lah? Kok malah bengong? Mikirin apa, hayo?" goda Rasyid, berhasil mengembalikan kesadaran Marissa.
"Nggak ada, mas. Mas kapan mau nikah?"
"Hah? Entahlah, mas masih nyaman sendiri. Apa lagi, mas udah berapa tahun pisah sama kamu. Mas masih mau manja-manjaan dulu sama kamu. Sebelum nempelin istri, yang entah kapan mas kuat hati memiliki."
"Bisa aja," balas Marissa sembari tersenyum teramat tipis.
"Temani mas makan, yuk!" ajak Rasyid yang sudah menarik pelan tangan Marissa.
Mau tak mau perempuan muda itu berdiri. Ia lantas mengikuti sang kakak yang sudah lebih dulu berjalan ke luar dari kamarnya. Mereka berdua pun akhirnya berjalan beriringan menuju lantai bawah, menuju meja makan. Marissa berakhir melayani sekaligus menemani sang kakak mengisi perutnya yang lapar.
🍁🍁🍁
Faidatul Mar'ah
Jember, 22 Januari 2023
Vote dan komennya ya guys, ya?
Makasih banyak🤗🤗🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Berakhir Denganmu (Terbit By NY BOOK)
General FictionReza yang cuek, kurang mahir mendekati lawan jenis, membuatnya awet melajang di usia awal tiga puluhan. Padahal Alvin, sang adik satu-satunya yang berusia lima tahun di bawahnya, telah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Sedikit ide jahil sang adi...