Waktu menunjukkan pukul 09.15 WIB, saat Marissa tiba di lahan yang akan menjadi tempat hotelnya berdiri. Ia memarkirkan mobilnya tak jauh dari tumpukan pasir. Setelah itu ia ke luar, lalu menghampiri pak Handoko, seorang kontraktor kepercayaannya.
"Assalamualaikum, pak? Apa kabar?" sapanya tanpa ekspresi.
"Waalaikum Salam, ibu. Saya baik, ibu apa kabar?"
"Baik. Sudah berapa persen prosesnya, pak?"
"Sekitar em, lima puluh lima persen sepertinya, Bu."
"Bagus. Bisa antarkan saya berkeliling sebentar, pak?"
"Bisa, Bu. Sebentar, saya ambilkan helm dan rompinya dulu."
"Silakan."
Pak Handoko pun beralih masuk ke dalam sebuah bangunan semi permanen berukuran sedang. Sepertinya bangunan itu dijadikan tempat untuk beristirahat.
Beberapa menit setelahnya, lelaki kepala empat itu kembali ke hadapan Marissa, dengan membawa benda yang dimaksudkan tadi. Marissa segera menerima lalu memakainya. Setelah itu ia beriringan berjalan dengan pak Handoko, sembari bertanya-tanya seputar bangunan hotel miliknya. Penglihatannya sesekali juga turut memindai sketsa buatan Alvin, yang kali ini ada di tangan kontraktor tersebut.
Ah, berbicara mengenai Alvin, ia belum melihat batang hidung lelaki itu. Apakah lelaki itu lupa dengan janji mereka? Atau sudah di jalan dan sedang terkena macet? Ah, entahlah.
Puas berkeliling, Marissa kembali ke luar dari calon gedung yang sudah separuh jalan itu. Ia kemudian melangkahkan kakinya ke sebuah pohon, yang di bawahnya terdapat bangku panjang. Ia pun mendudukkan dirinya di sana, lalu diikuti pak Handoko yang ikut mendudukkan diri di samping Marissa.
"Sudah pada makan mereka, pak?"
"Kalau itu kurang tahu, Bu. Soalnya, kami hanya memberikan jatah makan berupa uang sih, Bu. Mungkin mereka bawa bekal."
"Oh, begitu? Siang ini tolong booking restoran atau rumah makan, terserah bapak. Kasih mereka makan siang komplit kudapan. Em, pesan saja, biar di antar ke sini. Sebentar, saya ambil uangnya dulu."
Liana pun bergerak menuju mobilnya, untuk mengambil uang yang dia maksud. Setelah itu ia menyerahkannya pada pak Handoko.
"Wah, Bu, ini banyak sekali!"
"Tidak apa-apa, pak. Anggap saja ini adalah sedekah saya. Yang semoga, berkahnya melimpah untuk perjalanan usaha saya ini ke depannya."
"Aamiin. Sekali lagi terima kasih, Bu. Kalau begitu saya pamit dulu Bu, mau order makanan. Ibu nggak apa-apa kan, saya tinggal di sini?"
"Oh, nggak apa-apa, pak. Saya di sini saja sebentar, mau nunggu pak Alvin datang."
"Baik Bu, permisi kalau gitu."
"Silakan, pak."
Pah Handoko pun terlihat berlalu menuju ke dalam gedung, sembari mulai mendial nomor rumah makan atau restoran. Sementara Marissa masih bertahan di bangku tersebut. Menunggu kedatangan sang mantan gebetan.
🍁🍁🍁
Satu jam berlalu, Marissa masih bertahan di tempatnya duduk. Matahari sudah semakin meninggi tetapi, belum ada tanda-tanda Alvin akan datang. Berulang kali ia melirik ke arah jalan masuk lahan yang ia singgahi kali ini. Berharap lelaki itu muncul di sana. Tetapi, yang terjadi sebaliknya. Alvin tidak menampakkan diri, jua tidak mengabari. Ia pun sungkan jika harus menghubungi lelaki itu lebih dulu. Walaupun nomor Alvin sudah tersimpan di ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Berakhir Denganmu (Terbit By NY BOOK)
General FictionReza yang cuek, kurang mahir mendekati lawan jenis, membuatnya awet melajang di usia awal tiga puluhan. Padahal Alvin, sang adik satu-satunya yang berusia lima tahun di bawahnya, telah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Sedikit ide jahil sang adi...