Happy Reading🤗🤗🤗
Dua puluh menit berkendara, dengan berbekal sedikit informasi dari lelaki di sampingnya itu. Akhirnya Marissa memberhentikan kendaraannya tersebut, di depan gerbang sebuah kampus. Suasana disekitaran sana terlihat sepi, hanya beberapa orang yang terlihat berlalu lalang di koridor.
Reza yang memang sudah terlambat, ingin segera beranjak dari tempatnya duduk. Namun, ia kebingungan bagaimana caranya mengucapkan terima kasih, pada gadis yang berbaik hati padanya pagi ini. Sementara Marissa yang menyadari kegelisahan si lelaki, memberanikan diri membuka pembicaraan.
"Sudah sampai, mas" ucapnya singkat.
"Ah, iya. Terima kasih atas bantuannya pagi ini," sahut Reza kaku.
"Sama-sama, mas. Selamat mengajar, ya?" ucap Marissa luwes, seperti kembali pada kepribadiannya yang sesungguhnya.
Mendengar kelembutan Marissa, tentu saja Reza tertawan sepersekian detik. Sebelum akhirnya ia menyadarkan diri dari keterpukauan, karena ia sudah harus masuk ke kelas.
"Baik mbak, saya permisi, terima kasih sekali lagi."
"Sama-sama."
Reza pun membuka pintu di sampingnya. Setelah memastikan lelaki itu ke luar, Marissa kembali mengemudikan mobilnya menuju kantor. Walaupun kali ini ia harus lebih lama untuk sampai di tempatnya bekerja, karena mengantar lelaki yang entah siapa namanya.
Seperginya mobil perempuan yang entah siapa namanya itu, Reza segera menuju ke kelas semester lima. Namun, belum sampai di kelas yang ia tuju, seseorang tiba-tiba menggamit lengannya dari arah samping. Ia yang terkejut begitu saja menghempas rangkulan tangan seseorang itu hingga terlepas.
Tanpa perlu repot meminta maaf, Reza kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas. Namun, kali ini langkahnya tertahan karena seseorang itu merangkulnya dari belakang. Ekstrem sekali, memang.
"Reza plis, dengarkan aku sekali saja" ucap perempuan itu.
Reza yang akhirnya paham siapa perempuan yang mengacaukan mood nya pagi ini, perlahan melepas rangkulan tangan halus itu di tubuhnya. Ia segera membentang jarak, dan berbalik menghadap perempuan tersebut.
"Maaf Bu Risa, saya ada kelas dan sudah sangat terlambat, permisi" ucapnya sopan.
Reza lantas segera berbalik sembari menenangkan dadanya yang bergemuruh. Ia tak menghiraukan panggilan perempuan itu. Ia menulikan pendengarannya dan juga hatinya.
Di masa lalu, mungkin Reza pernah sangat mencintai perempuan itu, begitu pun sebaliknya. Dia memang cuek, terlebih pada hal yang bukan urusannya. Tapi, sikap cueknya disalah gunakan oleh perempuan bernama Risa tersebut. Ketulusan hatinya dihancurkan dengan hubungan sembunyi-sembunyi yang Risa jalin dengan Arman, sahabat baik Reza.
Mengembuskan napas lelah karena teringat masa lalu, lelaki itu segera memulai mengisi materi, dengan terlebih dahulu meminta maaf atas keterlambatannya pada mahasiswa di kelasnya.
🍁🍁🍁
Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa waktu makan siang telah berlalu beberapa menit yang lalu. Marissa baru saja selesai mengadakan pertemuan dengan sebuah perusahaan, yang mengajukan kerja sama dengan perusahaan pimpinannya.
Perempuan itu tampak menyandarkan tubuh lelahnya, di kursi yang ia duduki sejak dua jam yang lalu. Andara, sang sekretaris, juga masih ada di sana. Ia masih terlihat sibuk merapikan beberapa berkas di depannya.
"Ibu? Belum mau ke luar ruangan? Em, jam makan siang sudah habis, Bu" ucap Andara takut-takut, karena melihat Marissa memejamkan mata.
"Kamu boleh ke luar dulu, saya masih mau di sini sebentar" sahutnya tanpa membuka mata.
"Baik Bu, saya permisi kalau gitu"
"Silakan."
Andara pun segera beranjak dari duduknya, meninggalkan Marissa yang masih betah di kursinya. Wanita itu hendak mengisi perutnya yang jujur saja sudah kelaparan.
Seperginya sang sekretaris, Marissa membuka matanya. Ia lantas berdiri dan mendekati jendela besar yang ada di ruangan rapat tersebut. Tangannya bergerak membuka tirai yang tertutup rapat. Jejeran gedung bertingkat, menjadi pemandangan yang pertama kali ia lihat. Kota kelahirannya memang padat, tidak seperti di daerah rumah pamannya yang terbilang sepi, karena berada sedikit jauh dari pusat kota.
Menekuri pemandangan di depannya, membuat rindunya pada sang paman dan keluarganya tiba-tiba memenuhi hatinya. Andai boleh jujur, ia masih belum bisa beradaptasi sepenuhnya dengan kota kelahirannya sendiri.
Dalam khusyuk lamunannya, Marissa mendengar pintu ruangan tersebut terbuka. Marissa pikir itu adalah Andara, sekretarisnya. Maka tanpa berbalik badan, perempuan itu bertanya.
"Ada apa, Andara?"
"Kunci mobil saya ketinggalan, Bu" sahut seseorang di belakangnya tersebut.
Menyadari bahwa yang masuk bukanlah Andara, Marissa segera menoleh. Saat itulah ia melihat keberadaan Andra, klien yang dua jam lalu melakukan pertemuan dengannya.
Lelaki yang berposisi sebagai anak pemilik perusahaan kliennya tersebut tampak mengikis jarak. Marissa berjalan mundur membentang jarak. Jiwa awasnya sudah bisa menebak, ada sisi liar dalam diri seorang Andra.
"Silakan ambil barang anda yang tertinggal," ucap Marissa dingin.
"Ah, iya Bu. Tapi, bagaimana kalau kita sedikit berbincang? Atau mungkin kita sedikit bermanja. Jujur saja, jiwa gersang saya meronta ketika menatap ibu. Saya tertarik dengan ibu dan em, saya membayangkan andai ibu bersedia menghangatkan ranjang saya" sahut Andra panjang lebar.
Pandangan lelaki itu bahkan terang-terangan meneliti Marissa dari ujung kepala hingga ujung kaki. Perempuan itu risih namun, mencoba tenang.
"Sayangnya saya tidak tertarik dengan anda, pak Andra. Saya itu, lebih tertarik dengan em, wanita seksi, dengan pakaian minim, kulit putih dan bibir bergincu merah. Uh, pasti menggairahkan" balas Marissa semeyakinkan mungkin.
"Hah? Maksutnya?" timpal Andra terkejut.
"Iya, benar. Saya tidak ada tertarik dengan kaum seperti anda, pak. Saya itu pecinta wanita," balasnya mantap.
"Mana mungkin, Bu? Lalu hijab ini?" tunjuk Andra cengo.
"Alah, hijab ini cuma kedok, bapak. Biar nggak ada yang curiga, begitu. Ets, bapak jangan bilang-bilang, atau kontrak kita saya batalkan" ancam Marissa.
"Nggak bu, nggak akan saya bocorkan. Kalau begitu, saya permisi ambil kunci, Bu."
"Silakan."
Dengan bergidik ngeri dan gemetaran, Andra segera mengambil kunci mobil miliknya yang teronggok di atas meja. Setelah itu tanpa berpamitan, lelaki dewasa tersebut bergegas meninggalkan ruangan di mana Marissa berada.
Seperginya lelaki tersebut, Marissa menghela napas lega sembari tersenyum tipis. Ini adalah jurus andalannya, ketika ia digoda lelaki. Tidak perlu memakai otot tapi, sejauh ini sudah mampu menjauhkannya dari lelaki yang hanya berniat menggodanya saja. Dalam pikirannya lelaki itu sama saja, datang hanya untuk menggoda, tidak untuk membina hubungan yang sesungguhnya. Marissa bosan akan hal itu.
🍁🍁🍁
Faidatul Mar'ah
Jember, 08 Februari 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Berakhir Denganmu (Terbit By NY BOOK)
General FictionReza yang cuek, kurang mahir mendekati lawan jenis, membuatnya awet melajang di usia awal tiga puluhan. Padahal Alvin, sang adik satu-satunya yang berusia lima tahun di bawahnya, telah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Sedikit ide jahil sang adi...