Pagi kembali datang, dengan hari yang kembali padat. Iya, hari Senin adalah salah satu hari yang tidak disukai sejuta ummat. Karena segala aktivitas padat di mulai di hari ini.
Hal sebaliknya justru terjadi pada Marissa. Ia lebih senang jika hari sibuk kembali datang. Karena ia tidak perlu bengong, tidak perlu menganggur, tidak perlu ada kejadian seperti kemarin.
Ah, mengingat apa yang sudah terjadi, Marissa kembali merasa sebal. Bukan salahnya yang ikut makan bersama kakak Alvin. Ia sudah dewasa, dunianya juga selalu berkecimpung dengan lawan jenis juga. Apa iya, setiap lelaki yang berjumpa dengannya langsung membuat ia khilaf? Ia masih waras untuk bisa begitu. Tidak mungkin juga kan, ia menolak ajakan baik seseorang? Nyatanya tidak terjadi apa-apa, kan? Lagian mereka makan juga tidak di dalam kamar hotel, di tempat terbuka. Kurang bagaimana lagi, coba? Ah, entahlah. Ia pusing dan malas memikirkannya.
Setelah dirasa semua barang bawaannya siap, ia segera ke luar dari kamarnya dan menuju lantai bawah. Ia tidak akan ikut sarapan, karena ia sedang malas dengan keluarganya. Terutama dengan ayah, yang seolah tidak percaya pada putrinya sendiri.
Sampai di meja makan, ia sadar tengah menjadi pusat perhatian. Ia acuh saja. Ia hanya mendekat untuk berpamitan, tanpa berniat singgah di kursi tempat ia duduk biasanya. Perut yang kelaparan sejak semalam pun ia biarkan. Ayah, bisa keras kepadanya. Dia juga bisa mengalah tetapi, aksi diamnya, adalah bentengnya.
"Duduk dulu, sayang, kita makan bareng" ajak ayah pelan.
"Malas," jawabnya dingin. Dia pun sudah akan berlalu, sebelum akhirnya urung karena ayah memanggilnya.
"Marissa, ayah minta maaf soal kemarin. Ayah lepas kendali, maaf."
"Marissa yang minta maaf. Sudah, Marissa berangkat dulu."
Hanya begitu. Setelah itu, Marissa bergegas membawa langkahnya ke luar dari rumah. Mendengar ayah meminta maaf, jujur saja hatinya luluh. Tapi, ekspresi dinginnya tidak bisa ia kendurkan begitu saja. Ia memang lebih nyaman dengan ekspresi begitu. Memasang ekspresi manis, sudah bukan lagi ciri khasnya. Tidak akan membuat seseorang, menyadari perasaannya juga.
🍁🍁🍁
Sampai di kantornya, Marissa mengisi daftar hadir. Setelah itu ia melenggang masuk, dengan terlebih dahulu menyapa resepsionis yang ada di sana. Keadaan kantor masih agak sepi, karena memang jam kantor belum dimulai. Masih ada sekitar empat puluh lima menit lagi.
Sesampainya di ruangannya, ia segera masuk, lalu meletakkan barang bawaannya di atas meja. Ia kemudian membuka lebar, tirai yang melapisi kaca besar di sisi belakang kursinya. Setelah itu ia merapikan mejanya, yang sebenarnya tidak benar-benar berantakan.
Dirasa nyaman, ia duduk di kursi kebesarannya, dan mulai mengeluarkan laptop dari tempatnya. Sebelum memulai pekerjannya, ia lebih dulu mengambil ponsel. Ia ingin sekali melakukan panggilan video pada tantenya. Segera ia sentuh ikon video, dan panggilan tersebut tersambung.
Sesaat setelahnya, wajah cantik tantenya, terpampang dengan jelas di layar ponselnya. Inilah yang ia sukai dari istri om nya itu. Selalu tampil cantik dan menarik di dalam rumah.
"Pagi, Marissa nya Tante? Apa kabar, nak?" sapa sang bibi.
"Pagi, Tante. Marissa baik, Tante gimana?"
"Baik nak, Alhamdulillah. Marissa di kantor, ya?"
"Iya, Tante. Om mana, Tan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Berakhir Denganmu (Terbit By NY BOOK)
General FictionReza yang cuek, kurang mahir mendekati lawan jenis, membuatnya awet melajang di usia awal tiga puluhan. Padahal Alvin, sang adik satu-satunya yang berusia lima tahun di bawahnya, telah memiliki keluarga kecil yang bahagia. Sedikit ide jahil sang adi...