5. Ke Dua Kalinya

16 3 0
                                    

Seberkas sinar mentari terasa hangat menerpa wajah seorang Reza. Namun, mata berbulu lentik itu masih nyaman dalam buai alam bawah sadar. Entah apa yang sedang menyapanya di alam sana, sehingga membuat bibirnya sesekali tersenyum tipis. Sang bunda yang berniat membangunkan si sulung, keheranan dengan reaksi alamiah itu.

    Malaikat tak bersayap Reza itu, terlebih dahulu menyingkap penuh, tirai yang menutupi jendela besar yang ada di sana. Saat itulah, sinar matahari pagi sepenuhnya memenuhi ruang persemedian Reza. Setelahnya paruh baya itu menghampiri sang putra. Mengelus kepalanya pelan, serta meninggalkan kecupan ringan di keningnya.

Bukannya risih, Reza malah semakin mencari posisi nyaman. Membuat sang bunda tersenyum sembari menggelengkan kepala pelan. Tetapi, jam sudah semakin siang, mau tak mau beliau harus mengganggu kenyamanan tidur putranya.

"Reza? Mas? Bangun dulu, sudah semakin siang ini" panggilnya pelan.

"Sebentar lagi sayang, mas masih pingin peluk kamu" igaunya jelas, dengan tangan yang semakin erat memeluk pinggang sang bunda.

"Heh, eling, Za! Ini bundamu, bukan istrimu!" sergah sang mama keras.

Seolah mendapatkan kembali kesadarannya, Reza begitu saja membeliakkan mata dan spontan duduk menjauhi sang bunda. Matanya dengan awas memindai seisi kamarnya.

Ia keheranan dengan suasana kamarnya yang tidak ada perubahan. Sepertinya tadi ia sedang berada di kamar pengantin yang ranjangnya penuh bunga. Dengan si cantik yang entah siapa namanya, berada satu selimut dengannya dalam kondisi yang, ah! Ternyata ia cuma mimpi? Bisa semenghanyutkan itu, hingga membuat pusat tubuhnya menegang penuh? Ya Allah Gusti, rasanya ia malu sekali.

"Heh, kamu kenapa? Kok kayak orang kesambet gitu?" ledek bundanya geli.

"Nggak ada apa-apa, bun" sahutnya pelan dengan dada berdebar.

"Kamu ini, lho. Ya udah, cepat mandi sana! Habis itu segera turun ke bawah, ya? Katanya kamu ada kelas pagi, dan ada rapat juga di kantor menjelang siang nanti."

"Jam berapa ini, bunda?"

"Setengah delapan!"

"Hah?!"

Tanpa bertanya dua kali, Reza segera melesat ke kamar mandinya. Ia sudah terlambat satu jam, jadi tidak ada alasan lagi untuk berleha-leha.

Sedangkan sang bunda, seperginya sang putra, beliau menggelengkan kepala sembari tersenyum. Pagi ini adalah hal baru baginya, bisa menyaksikan putranya mengeluarkan berbagai ekspresi murni. Tak seperti biasanya yang selalu datar.

🍁🍁🍁

    Suara gaduh dari arah tangga terdengar hingga ke ruang makan. Bunda Athiyah yang baru datang dari dapur dengan membawa kopi, menggelengkan kepala melihat tingkah si sulung yang kali ini bak bocah sekolah dasar kelas dua. Terburu-buru dan tentu saja masih berantakan.

Sampai di ruang makan tersebut, Reza begitu saja duduk di kursinya sembari membenarkan dasinya. Sang bunda dengan tanpa diminta, kembali masuk ke dalam kamarnya. Beliau bermaksud mengambil sisir. Setelah mendapatkan apa yang beliau cari, beliau segera kembali ke ruang makan, lalu membantu menyisirkan rambut sang sulung.

"Lain kali kalau mau tidur, baca doa dulu, mas. Biar nggak berakhir kayak gini, nih!" ucap bunda sembari membelai pelan, rambut Reza yang masih setengah basah.

Sebagai ibu beliau paham, bahwa sang putra pagi ini tengah mengalami keadaan alam bawah sadar yang tak semestinya.

"Iya, bunda. Kalau begitu Reza berangkat dulu, Assalamualaikum."

Berakhir Denganmu (Terbit By NY BOOK)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang