Tentang pasiennya kemarin, yang ia temui malam-malam menangis sendirian karena kesakitan. Dan ternyata adalah seseorang yang, pekerjaannya cukup membuat Jaemin iba. Melihat tangisannya semalam, Jaemin pikir pasiennya itu jelas tertekan juga tak suka akan apa yang ia terima. Jadi, kemungkinan besar anak itu tak memiliki pilihan lain selain mengambil pekerjaan itu. Alasan terpaksanya itu karena apa?
"Ck, kenapa terus dipikirkan segala. Itu urusannya, kalau ia butuh pertolongan juga pasti berbicara." Jaemin menggerutu sendiri, begitu ia memasuki mobilnya hendak berangkat ke rumah sakit.
Sebelum memyalakan mesin mobil, Jaemin terdiam sebentar kemudian meraih ponselnya. Menunggu panggilannya tersambung.
"Winter.."
📞 "Apa? Aku tak sedang di cafe, kalau kau menginginkan sesuatu datang saja sendiri sana."
Jaemin memang terbiasa memesan kopi atau minuman juga beberapa cemilan dari cafe milik Winter. "Kau sedang membutuhkan pekerja baru tidak di restoran barumu?"
Temannya itu memang baru saja membuka sebuah restoran juga, sebagai salah satu bisnisnya setelah bisnis cafe miliknya berhasil.
📞 "Tidak, kemarin aku baru menerima dua pegawai dengan seorang koki juga."
"Kalau ditambah satu orang, kau tak apa bukan?" Tanya Jaemin.
📞 "Kau pikir menerima pegawai itu tak sambil memikirkan gajinya apa? Aku juga perlu menghitung pemasukan dan pengeluaran restoran dulu nantinya."
"Baiklah, menggaji satu orang lagi tak akan membuatmu jatuh miskin."
"Aku hubungi lagi nanti." Jaemin segera mematikan sambungan telpon setelah Winter mulai mengomelinya.
Jaemin menghela napasnya, lowongan pekerjaan di restoran? Itu jelas bukan untuknya, ia pikir mungkin pasiennya kemarin itu akan membutuhkannya. Ya, sekarang ia tak akan menampik kalau ia kepikiran soal pekerjaan kotor seperti itu. Jaemin kasihan mengingat bagaimana tangis juga luka yang dialami pasiennya kemarin.
Bagaimana kalau memang pasiennya itu membutuhkan pekerjaan yang layak, untuk keluar dari pekerjaannya sekarang. Jadi ia mencoba membantu mencarikan pekerjaan untuknya, walau belum atas persetujuannya sekalipun. Niat Jaemin, cukup baik. Juga semoga bisa diterima baik juga.
Nanti saat bertemu Jaemin akan coba bertanya soal hal itu.
Sampai di rumah sakit, Jaemin mengecek sebentar beberapa pasien yang sudah memiliki janji dengannya. Sebelum menemui pasien yang sejak kemarin malah ia pikirkan nasib hidupnya, padahal tau namanya juga tidak.
"Renjun?" Jaemin mengulang nama yang disebutkan perawat yang ia tanyai soal pasiennya kemarin.
Perawat itu mengangguk. "Benar, namanya Huang Renjun."
Jaemin baru tau namanya sekarang. "Kemarin aku lupa menanyakannya."
"Semalam ia sempat mengeluh mual saat hendak makan, tapi akhirnya ia tetap bisa menghabiskan makanannya walau lama."
Ia bisa melihat Renjun yang tengah berjalan tertatih dari arah berlawanan dengannya. "Baiklah, terimakasih." Ujar Jaemin pada perawat itu.
"Dokter Jaemin." Renjun menyadari keberadaan Jaemin.
Senyum ramahnya ia ulas untuk sang pasien, lalu ia berjalan mendekat untuk membantunya berjalan kembali ke ruangannya. "Dari mana barusan?"
"Aku ingin tau apa aku bisa berjalan normal lagi." Renjun menampilan cengirannya, seolah alasan ia kesulitan berjalan bukanlah hal besar.
Jaemin meringis mendengar nada riang, juga senyum yang jelas berbeda dengan apa yang semalam ia lihat. Senyuman itu ternyata jauh lebih pantas menghiasi wajah Renjun, dari pada senyum kelewat tipis penuh kesakitan seperti semalam.