Kakinya berjalan terhuyung, tangannya mencengkram perutnya yang terasa sakit. Sebenarnya sekujur tubuhnya sekarang kesakitan, tapi ia perlu terus menjauh dari tempat yang membuatnya mual saat mengingat kejadian mengerikan barusan.
Dan Renjun benar perlu mengeluarkan isi perutnya, ia memuntahkan makanan yang tadi siang sempat dilahapnya. Isakannya ikut keluar setelah berhasil sedikit mengurangi rasa mualnya, karena tubuhnya masih kesakitan, ingatannya masih mengingat jelas semua kejadian tadi. Dan hatinya jelas sakit mendapat perlakuan seperti tadi, seolah ia adalah manusia paling rendah di alam semesta.
Meskipun Renjun sadar kalau apa yang ia alami adalah konsekuensi yang harus ia terima, dari jalan yang ia ambil tapi tetap saja saat mendapat perlakuan seperti tadi Renjun merasa jauh lebih hina dari makhluk paling hina. Beberapa tahun Renjun berada dalam dunia seperti ini, baru kali ini semuanya terasa keterlaluan dan Renjun muak akan semuanya.
Ia benci kehidupannya yang mengerikan juga menyedihkan.
Keterpaksaannya adalah sebuah siksaan tersendiri untuknya, lalu semua yang ia dapat sekarang semakin membuatnya merasa jauh lebih tersiksa.
Renjun menangis sambil terus berjalan, menyeret langkahnya dengan susah payah.
Jaemin menyugar rambutnya, helaan napasnya terdengar lelah. Segera membereskan beberapa barangnya, untuk segera pulang karena ia hari ini tak mendapat shift malam. Berjalan keluar dari ruangannya, tak lupa saat berpapasan dengan beberapa perawat Jaemin tak lupa mengulas senyum ramah.
Tangannya mencoba melepas jam tangan yang melingkari lengannya, saat sampai di luar rumah sakit ia melihat seseorang yang menangis terduduk tak jauh dari tempatnya. Isakannya terdengar jelas di telinga Jaemin.
Karena perasaan khawatir, juga penasaran Jaemin mendekat. Dan ia bisa lebih melihat sosok dengan kemeja abu ini, Jaemin berjongkok di dekatnya. "Apa yang terjadi?"
Pemuda itu menoleh pada Jaemin, dan seketika itu pula Jaemin dapat melihat wajah berhias luka di sudut bibir juga pipi yang membiru. "Ya Tuhan, kau terluka. Ayo masuk, biar aku obati."
Tangan Jaemin sudah meraih lengan orang itu, tapi bukannya mengikuti langkah Jaemin. Ia malah tetap duduk dengan air mata yang terus mengalir, lalu kepalanya menggeleng pelan. Jaemin mengerutkan dahinya. "Kenapa? Kau takut di suntik? Tidak akan, kalau memang kau tak memerlukannya. Biar aku periksa dulu keadaanmu, tapi kau harus masuk dulu. Seluruh peralatanku ada di dalam."
Kebetulan tadi siang, Jaemin harus menangani seorang anak yang rewel tak mau diperiksa karena takut disuntik. Dan sekarang malah terbawa saat ia berhadapan dengan seseorang yang tak mau mengikutinya untuk mengobati luka-lukanya itu.
"Sakit." Lalu cicitan itu membuat Jaemin meringis atas kesalahannya dalam mengira.
"Kakimu sakit?" Jaemin kembali berjongkok, kali ini ia mencoba meraih kaki itu. Tapi anak itu malah menggelengkan kepalanya lagi.
Renjun sudah tak sanggup untuk sekedar berdiri, ia sudah lelah akan semuanya. Akan kesakitan tubuhnya, akan semua siksaan yang hatinya terima. Ia hanya terus mengeluarkan air matanya.
"Baiklah, kemari." Jaemin pun menggendong tubuh mungil itu dengan cepat, tapi ia sempat terdiam begitu ia berhasil kembali berdiri tegak. Lelaki dalam gendongannya, meringis kesakitan.
"Aku menyentuh lukamu? Maaf. Nanti aku beri obat juga salepnya." Jaemin membawanya menuju ruang periksa dan mendudukannya di atas ranjang. Saat itulah, ia bisa melihat lebih jelas wajah itu. Cantik.
Dan selain wajahnya, Jaemin juga bisa melihat bagian lehernya yang tak tertutup kemeja, banyak kissmark disana. Jaemin mencoba menarik sebuah praduga, dari semua ringis kesakitan juga tangisannya tadi.
Apa pemerkosaan?
"Kau bisa melaporkan orang yang memaksamu ini pada pihak berwajib." Jaemin berujar hati-hati, takut ucapannya menyinggung dan mengungkit trauma orang di hadapannya ini.
Jaemin menyingkir sebentar dari hadapan Renjun untuk mengambil peralatan, obat-obatan untuk mengurus luka-luka kecil yang dimiliki Renjun.
Renjun menatap pergelangan tangannya yang terhalang lengan kemeja, dan saat Jaemin kembali ia meraih dagu Renjun lembut untuk memeriksa luka di wajah Renjun.
"Tak ada pemaksaan.." Renjun berujar pelan, saat tangan Jaemin mengobati luka di sudut bibirnya.
Eh? Lalu? Jaemin terdiam sesaat. Ah, mungkin suaminya berlaku kasar.
Kemudian kembali melanjutkan kegiatannya, mengoleskan salep pada lebam biru di wajah Renjun. "Kalau begitu, kau tetap bisa melaporkan perlakuan suamimu ini."
"Ia bukan suamiku." Jawaban Renjun lagi-lagi membuat Jaemin kebingungan.
Bukan suami? Oh, Masih sepasang kekasih ya?
"Apapun itu, kalau kekasihmu mulai bersikap kasar kau bisa melaporkannya. Kekerasan adalah hal yang salah dalam sebuah hubungan." Jaemin selesai dengan wajah Renjun.
"Bukan kekasihku."
Ha?! Jaemin melongo, ia tak tau mesti berbicara apa lagi untuk menanggapi pasiennya itu.
"Kau memiliki luka lainnya?" Jaemin bertanya setelah selesai dengan luka di wajah Renjun.
Renjun menunduk. Banyak, ia memiliki banyak luka menyakitkan.
Menyadari keterdiaman Renjun, yang Jaemin pikir mungkin masih terguncang atas apa yang sudah terjadi padanya. Yang entah apa itu, Jaemin tak mau memperpanjangnya kalau memang orang itu tak mau memberitaunya. Ia hanya ingin mengobatinya, kalau memang orang itu tak mau tak mungkin Jaemin memaksa-maksa dengan tak sopan.
"Kalau begitu, apa saja yang kau rasakan sekarang?" Paling tidak, Jaemin ingin sedikit mencari tau soal perasaan pasiennya ini. Ia perlu memberinya obat untuk diminum atau tidak, juga kemungkinan ia bisa membantunya lagi, entah itu merekomendasikan psikolog atau apapun itu.
"Tadi aku sempat muntah, juga—sakit." Suara Renjun terdengar pelan.
Ia malu untuk mengatakan hal terakhir, jujur sejak tadi ia menjawab pertanyaan dokter yang membantunya itu ia sudah merasa luar biasa malu. Jawaban yang ia berikan pada dokter itu jelas terarah pada satu pikiran buruk yang sudah pasti.
Renjun yakin, dokter ini sudah tau akan identitas dirinya sejak ia menjawab hal tadi dilihat dari responnya yang langsung diam.
Lalu sekarang ia mendapat pertanyaan soal apa yang ia rasakan, Renjun perlu menjawab dengan jelas juga bukan? Agar ia mendapat obat yang sesuai.
Meskipun ia sudah lelah akan kehidupannya, tapi ia juga masih perlu menjalani hidup dengan semua kondisi baik. Ia harus kembali baik-baik saja.
"Sakit?" Tanya Jaemin, ia perlu tau lebih jelas apa yang dikeluhkan Renjun dalam kata sakit itu. Ia memang seorang dokter, tapi ia bukan cenayang yang bisa tau apa yang dirasakan pasien tanpa melontar pertanyaan.
Renjun menarik napasnya, setelah dokter itu tau keburukan Renjun lalu untuk alasan apa lagi ia malu? Lagi pula semuanya adalah kenyataannya, Renjun memang memiliki pekerjaan hina.
"Seluruh tubuhku sakit, boleh aku minta obat pereda nyeri setelah berhubungan seks?" Tangan Renjun meremas ujung kemejanya, menahan malu yang sebenarnya tetap tak bisa ia hindari.
Jaemin mengerjap, lalu.
"Berbaringlah, aku akan meminta perawat membawa makanan untukmu juga obat pereda nyeri itu." Jaemin mengisyaratkan Renjun agar berbaring dengan benar di ranjang, dan Renjun menurutinya.
"Besok aku akan kembali menemuimu, malam ini aku akan pulang terlebih dulu." Jaemin memberikan senyum ramahnya pada Renjun. "Semoga lekas sembuh."
"Terimakasih dokter.." Mata Renjun melirik nametag yang terpasang di snelli putih milik sang dokter. "Terimakasih banyak dokter Na Jaemin."