"Jam kerjaku habis beberapa menit yang lalu, kau bisa menghubungi dokter lain." Jaemin mengangkat telpon dari salah satu temannya, Yangyang.📞 "Sialan, kau tega membiarkan keponakanku kesakitan?" Suaranya terdengar khawatir juga kesal di waktu bersamaan.
"Keponakanmu sakit? Aku pikir kau yang sakit." Ujar Jaemin.
📞 "Kalau aku yang sakit kau tak akan menolongku maksudmu?" Tanya Yangyang dengan kesal.
"Kau yang menarik kesimpulan seperti itu."
📞 "Cepat kemari!" Yangyang terdengar begitu panik, Jaemin juga mendengar suara tangisan anak kecil di seberang sana.
"Dimana? Aku ini harus ke apartemenmu, atau ke rumah kakakmu?" Tanya Jaemin.
📞 "Apartemenku! Cepat pokoknya, kalau tidak aku akan melaporkanmu pada polisi karena menelantarkan anak."
"Heh!"
📞 "Cepat sialan!"
Jaemin pun segera menuju apartemen Yangyang, dan ia melihat keadaan keponakannya yang ternyata tadi sempat terjatuh hingga dagunya berdarah karena membentur lantai dengan keras. Selain panik karena keponakan kecilnya celaka, Yangyang juga takut kena omel kakaknya.
"Tapi ia baik-baik saja kan?" Tanya Yangyang.
"Lukanya tidak sebesar itu sampai harus dijahit." Tadi Yangyang ribut bertanya padanya apa lukanya perlu dijahit atau tidak.
Setelah membereskan beberapa peralatannya, Jaemin bangkit berdiri. "Selamat kena marah kak Ten." Jaemin tersenyum lebar, Yangyang mendelik sinis.
"Aku pulang dulu." Pamit Jaemin.
Sejak di apartemen Yangyang, Jaemin sudah membayangkan akan tidur nyenyak setelah tadi kebagian shift malam. Sekarang masih pukul delapan pagi, Jaemin akan pergi sarapan dulu sebelum pulang. Karena ia yakin, setelah sampai rumah ia hanya akan tau tidur.
Di dalam lift, Jaemin membuka ponselnya mengecek siapa tau ada Renjun yang menghubunginya. Sejak pertemuan mereka dua minggu lalu, bahkan mereka sudah saling memiliki nomor telpon masing-masing tapi tak pernah sekalipun saling menghubungi. Jaemin sebenarnya tertarik untuk bertanya soal keadaan Renjun lagi, tapi ia ingat kalau sebelumnya ia sempat meminta Renjun menghubunginya kalau ada sesuatu. Berarti kalau Renjun tak ada menghubunginya, Renjun baik-baik saja kan? Entah, Jaemin harap seperti itu.
Lift berhenti di salah satu lantai, Jaemin melihat orang yang memasuki lift. Dan ia tertegun begitu tau yang ada di depannya itu adalah Renjun yang langsung jatuh terduduk begitu lift tertutup lagi.
"Renjun!" Seru Jaemin panik.
Keadaan wajahnya serupa terakhir kali Jaemin mengobatinya, kali ini ia melihat jelas bekas gigitan di bahu Renjun yang terlihat karena bajunya tak menutupi itu.
Yang dipanggil namanya dengan panik tak memiliki banyak tenaga untuk melakukan apapun, hanya bisa menjatuhkan beban tubuhnya pada dokter yang kini tengah menahan tubuhnya agar tak jatuh berbaring.
Tangan Jaemin menarik baju Renjun penasaran, dan ia melihat lebih banyak bekas kissmark keunguan di leher Renjun, selain gigitan. Jaemin meringis membayangkan Renjun bertemu orang segila ini saat melakukan seks.
"Aku akan mengobatimu, di rumahku ya?" Jaemin kini menggendong tubuh Renjun, lalu membawanya keluar dari lift berjalan cepat menuju mobilnya.
Sejak tadi Renjun tak juga bersuara, hingga saat sampai di rumah Jaemin dan ia mulai mengobati luka di wajah Renjun. Anak itu hanya menatap kosong ke depan, dan Jaemin hanya mencoba maklum.
Begitu ia selesai dengan luka di wajah Renjun. Tangan Jaemin menyentuh bagian leher baju Renjun, meminta izin untuk mengobati luka disana juga. Walau itu tak berdarah-darah, tapi Jaemin yakin kalau itu menimbulkan sakit.
Renjun menatap Jaemin, lalu perlahan ia membuka atasannya memperlihatkan pada Jaemin bekas gigitan itu tak hanya satu. Dengan telaten, Jaemin membasuh tubuh atas Renjun sebelum memberinya salep dan kembali memakaikan baju untuk Renjun. Tentu itu bukan baju Renjun yang tadi, Jaemin memakaikan baju kaos miliknya pada Renjun.
"Katakan Renjun, hutangmu berapa? Aku bantu lunasi itu. Kau—berhenti dari pekerjaanmu ini." Ujar Jaemin sambil menatap wajah yang tak menunjukkan raut berarti itu.
"Kau tak akan menipuku, kau bukan orang seperti itu." Dari semua luka yang Jaemin lihat pada tubuh Renjun, ia tau kalau bukan tubuhnya saja yang sekarang terluka. Apalagi dengan tak ada tangisan seperti dulu saat Jaemin bertemu dengannya, mungkin Renjun sudah teramat terluka sampai lupa caranya menangis.
Mata Renjun menatap tepat mata Jaemin yang menyorot khawatir padanya, seketika itu pula isakan Renjun terdengar. Air matanya luruh saat mengingat kesakitan yang tak bisa orang lain rasakan. Sekarang Renjun benar lelah atas semuanya, ia muak berada dalam kehancurannya.
"Kalaupun iya kau menipuku, aku akan melaporkanmu pada polisi itu mudah." Jaemin kembali memberanikan dirinya meraih wajah Renjun, mengusap lembut rahang Renjun.
"Kau hanya sedang merusak tubuhmu Renjun, diluar itu kau juga merusak batinmu. Kau tertekan seperti ini." Sekarang tangisan Renjun memberitau semuanya, Jaemin tau kalau Renjun tak suka juga tersiksa akan pekerjaannya sekarang.
Renjun tak kunjung berbicara, satu satunya suara yang ia keluarkan hanya isakannya.
"Kau tak suka seperti ini, kau nyata terpaksa menjalani semuanya. Aku bersungguh-sungguh akan membantumu Renjun, tolong terima semuanya." Lanjut Jaemin.
Tangan Jaemin yang sedari tadi meremas tangannya sendiri, kini dengan lemah mencoba meraih tangan Jaemin. Ia ingin tau hangatnya tangan Jaemin, ia ingin menghilangkan ingatan soal kerasnya tangan orang yang semalaman tadi mencengkram lengannya dan menampar pipi juga bagian tubuhnya yang lain.
Renjun ingin lebih banyak menerima usapan dari Jaemin selain di rahangnya, ia ingin merasakan kelembutan itu untuk menghilangkan rasa tersiksanya seperti semalaman tadi ia dipakai layaknya boneka pemuas napsu.
Ia tau pekerjaannya memang untuk hal itu, tapi mengenai kekerasan juga kebiasaan aneh itu Renjun tetap tak suka. Bagaimana pun ia benci rasa sakit.
Jaemin melihat tangan gemetar Renjun yang meraih tangannya yang lain, Jaemin mengikuti kemana tangan Renjun membawanya. Sampai ternyata Renjun mengusapkan tangan Jaemin pada kepalanya, Jaemin pun mengusap lembut kepala Renjun.
Begitu merasakan usapan lembut dari Jaemin, tangisan Renjun makin kencang. Ini yang ia mau, diperlakukan lembut seperti ini. Ia benar-benar harus berterimakasih pada dokter Jaemin yang mau mengobatinya, juga memberi tau rasanya diperlakukan lembut dengan usapan halus itu.
Melihat Renjun yang menangis hebat di hadapannya, Jaemin tak tega mengajak berbicara lebih jauh dan hanya bisa memberikan usapan itu sampai tangisan Renjun mereda sendirinya.
"Kau sudah makan? Kalau belum, makan dulu ini. Kau perlu minum obat." Jaemin membawa sepotong roti yang kemarin ia dapat dari cafe milik Winter.
Jaemin baru ingat akan tangan gemetar Renjun tadi, anak itu pasti akan kesulitan makan sendiri. Jadi ia kembali duduk di samping Renjun. "Aku suapi, kau tak keberatan bukan?"
Masih tak juga bersuara, Renjun hanya mengangguk menjawab pertanyaan Jaemin.
"Aku memiliki kamar tamu di sebelah sana, kau bisa menggunakannya untuk beristirahat." Ujar Jaemin di tengah kegiatannya menyuapi Renjun, yang kesulitan membuka mulutnya karena luka di sudut bibirnya itu.
Lagi-lagi Renjun hanya mengangguk sebagai respon, setelah menghabiskan roti juga menelan obatnya Renjun pun diantar Jaemin menuju kamar yang tadi Jaemin sebutkan.
"Tidurlah, aku tak akan membangunkanmu. Tak akan mengganggu jam tidurmu." Selain Jaemin yang juga akan tidur di kamarnya, ia juga akan membiarkan Renjun benar beristirahat dari rasa sakitnya. Obat yang tadi Jaemin berikan juga adalah obat tidur, ia sengaja memberikannya agar Renjun bisa tidur nyenyak.