35. Sidang

10.5K 910 43
                                    

Malam guyssssss!!!!!!!

.
.
.

“Selamat pagi, sebelumnya terimakasih kepada Bapak dan Ibu yang–”

“Sama-sama.”

Aku mendelik kesal ke arah Mas Jefran yang motong ucapan aku. Laki-laki yang lagi nemenin Saka nonton baby shark di atas kasur itu nyengir. “Mas jangan ganggu si? Dua hari lagi lho aku sidang.” Setelah melewati halang rintang selama beberapa bulan ini, dan gak jarang aku ngerjainnya sambil nangis, akhirnya skripsi aku selesai, dan lusa aku bakal sidang. Biar gak grogi, apalagi pingsan pas sidang, aku banyak latihan presentasi. Aku baca ulang berkali-kali materi skripsi aku, dan aku pahami, supaya pas ditanya dosen penguji aku gak diem-diem aja. Tapi ini udah kali kedua Mas Jefran gangguin aku yang lagi latihan. Dia selalu nyahutin ucapan aku yang bikin aku gak fokus. Aku ambil laptop, dan skripsi aku, mau belajar di teras belakang. Biar gak diganggu Mas Jefran lagi, dan berhenti dengerin lagu baby shark yang bikin aku ke distraksi. “Diem aja kamu di sini, jagain Saka yang bener,” pesanku sebelum pergi.

Untungnya ini hari Minggu, jadi Mas Jefran bisa jagain Saka selagi aku latihan.

Aku mondar-mandir di teras belakang dengan mulut yang terus ngoceh, jelas semua yang keluar dari mulut aku berisi materi skripsi. Aku juga belajar gestur tubuh, karena menurut aku gestur tubuh dalam presentasi itu penting. Masuk ke tahap pembahasan, aku mendadak lupa materi, dan dengan reflek aku pukul kepala sendiri tiap lupa materinya. Aku berdecak. “Apasih lupa mulu. Kayaknya bener kata Mas Jefran waktu itu, gue harus beli minyak ikan biar ingatannya kuat.”

“Iya 'kan, harusnya kamu ikutin kata saya. Ngeyel.” Mas Jefran tiba-tiba udah di belakang aku.

“Saka mana?”

“Tidur.”

Aku hembusin napas kasar, bahu aku merosot. “Mas...” Aku ngerengek. “Ini gimana kalau sidang beneran? Aku gak hapal-hapal.”

Mas Jefran mengedikkan bahunya.

“Ish kamu gak membantu sama sekali.”

“Ya gimana?”

“Malah nanya gimana. Dulu kamu sidang tuh gimana? Ditanyain apa aja?”

“Saya sih gak ditanya.”

“Masa? Bohong kamu. Masa sidang gak ditanya?”

Mas Jefran mendecih. “Terserah mau percaya atau enggak. Presentasi saya terlalu bagus, sampai dosen aja gak mau nanya.”

“Mas, coba kamu pura-pura jadi dosen penguji.”

“Boleh.”

“Kamu duduk situ.” Aku suruh Mas Jefran duduk di bangku, sementara aku berdiri. Aku buka presentasi dengan lancar, menganggap Mas Jefran dosen penguji aku. Pas di tengah-tengah presentasi, lagi-lagi aku tersendat, ada bagian aku diem lama buat mikir ucapan apa yang seharusnya keluar dari mulut.

“Keburu ketiduran saya kalau gini caranya,” ujar Mas Jefran sarkas.

Aku berdecak. “Ah, kamu malah bikin aku tertekan. Udahlah, aku gak mau latihan sama kamu. Aku mau latihan sama Mbak Kanes aja.” Aku bawa laptop dan skripsi aku ke rumah Mbak Kanes. Males latihan sama Mas Jefran, bukannya dibantu malah dibikin gak percaya diri. Aku ketuk-ketuk pintu rumah Mbak Kanes. “Mbak.”

“Iya bentar.” Mbak Kanes nyahut dari dalem. Gak lama, dia keluar.

“Mbak, bantuin aku latihan, lusa aku sidang. Mbak, 'kan juga lulusan fakultas hukum.”

“Sama gue aja sini, gue bantu.” Mas Arga nyahut dari belakang Mbak Kanes.

“Ogah, lo tuh sebelas dua belas sama Mas Jefran. Ngebantu kagak, ngejatohin mental iya.”

Mbak Kanes ketawa. “Ayo ayo, aku bantu. Kita belajar di lantai dua aja ya. Biar aman dari gangguan.”

Aku meletin lidah ke Mas Arga.

“Jelek lo,” cibir Mas Arga.

“Lo lebih!” sahut aku sambil lari ke anak tangga.

“Haduh, kalian nih udah pada nikah tapi berantemnya masih kayak anak kecil,” keluh Mbak Kanes pas kita udah di kamar. Aku cuma nyengir. Mas Arga duluan yang nyebelin. “Yuk, dimulai aja. Anggap kamu lagi sidang beneran.”

Latihan sidang sama Mbak Kanes cukup membantu aku. Dia kasih aku beberapa trik dan saran untuk menghadapi sidang skripsi. Mbak Kanes juga kasih tahu aku beberapa pertanyaan yang mungkin bakal ditanyakan di sidang nanti. Tapi, aku belum bener-bener tenang dengan semua itu. Banyak pikiran negatif yang bikin aku khawatir dan takut terus. Takut gak bisa jawab pertanyaan lah, takut gak dilulusin lah, takut pingsan tiba-tiba, dan banyak takut lainnya.

“Udahan latihannya?” tanya Mas Jefran begitu aku masuk rumah.

Aku cuma ngangguk, terus ngelewatin Mas Jefran buat ambil air dingin di kulkas.

“Es krim?” Mas Jefran nyodorin aku es krim setelah aku minum.

“Kapan belinya?”

“Tadi.”

Aku ambil es krim vanila dari tangan Mas Jefran, dan aku makan di teras belakang. Aku butuh waktu buat menenangkan diri. Gak lama Mas Jefran nyusul, dia duduk di kursi sebelah. “Tenang aja Disha.” Aku noleh ke arah Mas Jefran. Suamiku ngomong dengan mata yang memandang ke depan, bukan natap aku. “Sidang gak semenakutkan yang kamu bayangin.”

“Tau, tapi–”

Mas Jefran natap aku. “Tapi apa? Dengerin saya, kunci dari sidang itu cuma satu, kamu paham semua materi. Kamu gak perlu menghapal kata demi kata skripsi yang kamu tulis, kamu cuma harus pahamin aja. Dan saya rasa kamu udah paham. Skripsi ini dibuat sama kamu sendiri, kamu yang buat judul, kamu yang buat kerangka berpikirnya sendiri, kamu yang meneliti, kamu yang nyusun, kemarin-kemarin saya cuma bantu benerin dikit aja, sisanya kamu semua, 'kan yang kerjain? Kamu yang tau betul-betul isi skripsinya, kamu ngelakuin penelitian dengan baik. Ini jadi modal kamu buat presentasi nanti. Kalau kamu udah paham, pertanyaan dosen sesulit apapun kamu pasti bisa jawab.”

“Mas dulu gitu?”

“Iya. Saya anggap skripsi itu anak saya sendiri yang harus saya pahami betul-betul. Sekarang yang perlu kamu lakuin, percaya sama diri kamu sendiri kalau kamu menguasai materi dengan baik, buang jauh-jauh pikiran negatif di otak kamu, itu cuma bikin kamu stres dan akhirnya lupa materi.” Aku berpindah ke pangkuan Mas Jefran, aku peluk dia erat. Tadi kelihatannya aja dia kayak gak perduli sama aku yang deg-degan mau sidang, padahal kenyataannya dia yang paling perduli sama keadaan aku. Mas Jefran selalu berhasil nenangin aku, dan jadi tempat aku pulang setiap kali aku dikejar banyak kegelisahan. Mas Jefran usap punggung aku. “Tenang, saya dan keluarga kita pasti doain kamu. Saya yakin, perjuangan kamu selama ini gak akan sia-sia.”

“Makasih ya Mas.”

“Hm.” Mas Jefran terus usap punggung aku.

“Aku tenang dipelukan kamu. Apa besok pas sidang kita pelukan aja ya?”

“Kalau begitu perjuangan kamu bakal sia-sia.”

Aku ketawa kecil, omongan Mas Jefran pedes banget. Habis ketawa, aku cium bibir Mas Jefran.

“Manis,” ujar Mas Jefran setelah pautan kita lepas.

“Bekas makan es krim.”

“Saya suka manis.” Mas Jefran cium bibir aku lagi. Tangan dia yang semula usap punggung aku, sekarang beralih nahan tengkuk aku.

Semut mana yang gak suka dikasih gula.

Mas Jefran kecup bibir aku sebagai penutup. Dia natap aku penuh keteduhan, bikin hati aku makin tenang. “Semangat Ibu.”

Aku senyum. “Makasih Bapak.”




END




























Boong.

Tetanggaku Suamiku [END✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang