033. Satu-satunya

198 26 0
                                    

"Kurangnya komunikasi bisa menjadi penyebab rusaknya suatu hubungan."

~FEARFUL~

•••

Akibat luka di lututnya, sudah dua hari Allea tak sekolah. Ia berbaring di kasurnya, diam sambil menatap langit-langit kamar. Pikirannya melanglang buana ke mana-mana. Begitu banyak hal yang terjadi, membuatnya mulai kehilangan semangat hidup.

Suara ketukan pintu terdengar, membuat gadis itu bangkit dari posisinya. Saat membuka pintu, senyumnya mengembang melihat adiknya.

"Ada apa, Jevan?"

Adik satu-satunya berdiri di depan pintu. "Kakak dipanggil Oma!"

Jevan langsung berlari pergi setelah mengatakannya. Tatapan Allea menyendu melihat kepergiannya. Entah hanya perasaanya atau memang adiknya seakan menjauhinya. Meski jarang mengobrol dengan Jevan, tapi anak itu biasanya cerewet saat berbicara dengannya.

Setelah merapikan diri, Allea turun ke lantai dasar dengan sedikit pincang. Menuju ruang keluarga, dimana keluarga besarnya sedang berkumpul. Gadis itu menarik nafas panjang saat sampai di sana. Mempersiapkan diri mendengar ceramahan atau bahkan ejekan dari mereka.

Di ruang keluarga berkumpul sekitar dua puluhan orang. Ada Oma bersama lima saudara ayahnya dengan pasangannya masing-masing, kecuali Jamilah yang merupakan janda. Sepupu-pupupu Allea dari yang masih kecil sampai remaja ikut berkumpul, tapi kebanyakan diantara mereka sibuk bermain dan berlari-larian.

"Akhirnya kamu turun juga," ucap Sandi, kakak pertama ayahnya.

Tanpa banyak bicara, gadis itu segera duduk di samping neneknya.

"Meski kaki kamu sakit, seharunya jangan diam di kamar terus."

"Palingan kakinya luka kecil doang, tapi tingkahnya seperti patah kaki," sindir tante Anna yang duduk lumayan jauh darinya. Menatap remeh plester luka di kaki keponakannya.

Allea hanya diam menunduk. Ia sudah khatam dengan tingkah keluarga besarnya. Banyak diantara mereka yang bermulut pedas, meski ada juga yang tak banyak bicara. Oma Sarah mengelus bahu cucunya, memberinya semangat. Hal yang selalu dilakukannya saat Allea mendapat omongan tidak baik dari anak-anaknya.

"Lea, Oma manggil kamu karena ada yang mau diomongin." Tatapan wanita itu terlihat sedih. "Ini tentang Jevan."

Pandangannya terarah pada adiknya yang sedang berlarian bersama beberapa sepupu yang sepantaran dengannya.

"Kamu taukan tante Aini, dia anak keempat Oma?"

Gadis itu mengedarkan pandangan mencari orang yang dimaksud. Ia tak tahu semua nama keluarga besarnya karena mereka jarang berinteraksi.

"Masa Tante sendiri ga kenal, sih?" Seorang wanita cantik pindah tempat duduk ke samping Allea. "Padahal kita pernah ngobrol waktu pertemuan keluarga bulan lalu."

Oma tersenyum maklum, "Kamu sama Allea 'kan sama aja. Jarang ikut kumpul keluarga. Makanya Allea kurang kenal kamu."

Allea tersenyum canggung menatap Aini. Ia baru ingat pernah mengobrol dengannya. Meski sebenarnya hanya mendengarkan wanita itu berbicara.

"Oh, ya, tante sama Oma udah ngobrol banyak tentang Jevan." Senyum Aini terlihat sumringah. "Kami memutuskan agar Jevan tinggal bersamaku. Tante akan menyekolahkan dia sampai lulus."

"Hah?" Mulut gadis itu terbuka, masih berusaha mencerna informasi yang baru didengarnya.

"Tante kan belum punya anak. Jadi, kuharap kamu mau Jevan tinggal sama tante dan suami!"

Kepala gadis itu tertunduk lesu. "Aku tidak ingin berpisah dengan Jevan, Tante."

Senyum di wajahnya memudar. Berganti tatapan memohon pada keponakannya. Ia meraih tangan gadis itu, lalu menggenggamnya erat.

"Aku mohon, Allea!"

Gadis itu merapatkan bibir, menahan penolakan yang sangat ingin diucapkannya. Ia tak ingin berpisah dengan satu-satunya keluarga intinya.

"Sebaiknya biarkan saja adikmu ikut dengan Aini. Biaya sekolah kamu dan Jevan, kan mahal. Oma kewalahan membayarnya. Bisnis garment yang dikelolanya juga sedang mengalami penurunan laba," ucap paman Sandi.

Pandangannya beralih pada neneknya yang mengangguk mengiyakan. Gadis itu diam-diam menghela nafas kesal karena tidak diberitahu. Padahal ia sering bertanya tentang kondisi keuangan mereka. Oma Sarah hanya mengatakan semuanya baik-baik saja.

Lirikan matanya beralih ke arah Jamilah yang sejak tadi diam, ternyata masih punya nyali muncul di depan keponakan yang telah ditipunya. Jika bukan karena bibinya itu, Allea tidak akan kesulitan memikirkan biaya sekolahnya dan Jevan.

"Ayolah, Allea! Ini demi masa depan adikmu. Jevan juga sudah setuju, kok!"

Netra gadis itu langsung mencari keberadaan adiknya. Namun, Jevan tidak ada lagi bersama sepupunya.

"Jevan tadi keluar ke belakang saat mendengar namanya disebut. Mungkin dia juga sedih, karena harus berpisah denganmu," ucap Oma memberitahu.

Tanpa kata Allea bangkit dan berjalan menuju taman belakang tempat adiknya biasa bermain. Sampai disana, Jevan sedang naik ayunan seorang diri. Ia mendekat ke arahnya.

"Jevan."

Anak lelaki itu menghentikan ayunannya saat melihat Allea. Wajahnya cemberut saat kakaknya duduk di ayunan sebelahnya.

"Kamu setuju ikut tante Aini?"

"Iya!"

"Kamu mau ninggalin kak Lea?"

"Iya!"

"Kok, gitu, sih?"

"Karena Kak Lea jahat!"

"Maksud kamu?"

"Sejak kematian papa sama mama, aku gak punya siapa-siapa. Oma selalu sibuk. Sedangkan kakak selalu di kamar, gak pernah main sama aku. Kak Lea lebih suka main sama sahabat-sahabat kakak. Aku kesepian, gak punya teman. Di sekolah aku sering diejek, disebut anak yatim piatu."

Kalimat panjang adiknya membuat Allea terenyuh. Sesak rasanya mendengar penuturannya. Ia tak perhatian padanya, hanya memikirkan diri sendiri. Jevan adalah anak yang ceria dan periang, tapi setelah kepergian orang tuanya membuat anak itu semakin pemurung. Allea baru menyadari itu.

"Maafin kakak, Jev. Kakak akan berubah! A-aku ... akan memperhatikan dan bermain bersama kamu. Gak usah pergi, ya! Kita mulai dari awal jadi keluarga yang bahagia."

"Terlambat, Kak! Aku udah packing semua bajuku. Aku akan ke Belanda bareng tante Aini."

"Be-belanda?"

"Iya. Suami Tante Aini kan orang Belanda."

Jevan pergi meninggalkan Allea yang membeku. Berbeda kota saja tidak mau, apalagi tinggal berbeda negara dengan adiknya. Ia tidak akan pernah setuju.

Allea kembali memasuki rumahnya menuju ruangan tempat keluarga besarnya berkumpul. Belum sepenuhnya sampai, langkahnya terhenti saat mendengar obrolan di ruangan itu.

"Kemana semua uang peninggalan orang tuanya?"

"Entahlah! Mama sampai meminjam uang padaku. Aku rasa anak itu sangat boros. Mungkin ia menghambur-hamburkan uang peninggalan orang taunya."

"Kasihan mama harus menanggung beban merawat anak-anak Rahman!"

Oma Sarah sedang tidak berada di ruangan itu, makanya mereka berani membicarakannya. Sedangkan Jamilah hanya diam, padahal ia yang tahu betul kemana uang itu.

Kepala Allea rasanya panas ingin meledak. Sejak dulu ia selalu menahan diri mendengar perkataan menyakitkan mereka.

Allea masuk ke ruang keluarga. "Tante Jamilah, aku mau bicara!"

Jamilah yang melihat kemarahan di mata keponakannya, langsung berdiri. Ia mengeluarkan ponsel dari tas bermereknya.

"Maaf, ya, ada telepon. Tante angkat dulu di luar soalnya di sini ribut."

Jamilah melangkah cepat keluar rumah. Bukan untuk mengangkat telepon, melainkan pergi dari rumah itu.










FEARFUL (End) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang