VI. Apalah Arti Silaturahmi

12 7 1
                                    

Happy reading!!!

Jumat siang, keluarga besar dari ayah berkumpul bersama untuk merayakan khitanan salah satu sepupu ayah. Ayah tentu datang bersama bunda. Niatnya hanya berdua, namun dua curut memaksa untuk ikut. Mereka adalah Heksa dan Justin.  Jika Justin ingin ikut, bagi ayah adalah hak wajar. Namun jika Heksa, ayah sangat tahu niat terselubungnya.

Disana ada keluarga kakak dan adik-adik ayah. Ayah mengajak bunda dan kedua anaknya masuk untuk bertemu dengan keluarga.

Heksa memperhatikan keluarga kakak dan adik-adik ayahnya yang menyambut kedatangan mereka ramah. Heksa memutar bola matanya malas melihat itu.

“Eh A’ Soleh sama Teh Yuni sudah datang?” tanya Ani, istri dari kakak ayah, Roji.

“Iya lah, Wa. Kalau belum datang, kita gak mungkin ada di sini.” Jawab Heksa.

Bunda menyikut lengan Heksa. Memberikan tatapan tajam pada sang anak lantas kembali memasang senyum manis pada istri dari kakak iparnya. “Iya, tadi macet di jalan.”

“Wah, Jandra sama Chandra udah gede aja,” ujar Pian, adik laki-laki ayah.

Baru bunda akan menjawab, namun lagi-lagi di ke dahului oleh sang anak.
“Iyalah, Om, masa kita kecil terus sih,” Heksa memasang wajah tengilnya.

Pian terkekeh mendengar jawaban si ponakan. “Beda banget kalian sama dulu, sekarang makin ganteng aja.”

Ayah sudah memberikan kode pada sang anak untuk tidak berkata macam-macam. Sedangkan bunda, ia sudah mati-matian ingin menjewer telinga anaknya itu.

“Waduh, masa sih, Om? Saya jadi pede banget nih.”

Bunda dapat menarik nafasnya sekarang, untung saja anaknya itu tidak berkata apa-apa.

“Iya, Jandra. Kamu sekarang ganteng banget, walau kulit kamu agak gelapan ya sekarang. Ngomong-ngomong saudaramu yang lainnya gak ikut?” tanya Jihan, istri Pian.

“Aduh, saya jadi malu. Makasih pujiannya Om, Tante,” Heksa menutup mukanya malu.

Ayah, bunda dan Justin melihat Heksa ngeri.  Ingin sekali rasanya mereka menempeleng wajah anaknya yang malu-malu tai kucing itu.
“Sama-sama.”

Ayah, bunda dan Justin izin pamit meninggalkan mereka untuk bertemu sang ibu, nenek Soleh bersaudara.

Melihat ayah, bunda dan Justin yang sudah berjalan meninggalkan mereka, Heksa kembali membuka wajahnya.
Heksa menatap malas kedua orang di hadapannya. “Enggak Om, Tan. Mereka semua sibuk,” ujar Heksa yang diangguki Pian dan Jihan. “Sebenarnya mereka beralibi aja sih, supaya gak ketemu sama keluarga toxic dan orang-orang yang sok sayang dengan mereka.”

Pian dan Jihan menatap Heksa bingung. “Maksudnya?” tanya Pian.

“Gak ada maksud apa-apa, Om. Udah ah, aku mau nyusul ayah sama bunda dulu.”

“Oh iya, silahkan.”

Heksa akan segera berlalu. Namun baru dua langkah maju, teringat sesuatu yang membuatnya kembali melangkahkan kakinya ke belakang. Tepat di depan sepasang suami istri tadi.

“Ngomong-ngomong, Om sama Tante sepertinya harus kenalan sama keluarga kami lagi. Saya Heksa bukan Jandra, dan yang tadi itu adik bungsu saya, Justin bukan Chandra.”

Pian dan istri terdiam. Mereka tidak percaya dengan ucapan seorang pemuda yang tubuhnya sudah hilang di balik tembok itu. Malu sekali rasanya. Bagaimana ini?

------

Heksa terduduk di samping sang ayah. Mereka sedang mengeper dilantai untuk makan bersama. Dapat ia lihat keluarga sang ayah yang berpenampilan mewah. Yang mana para wanita menggunakan kalung, beberapa gelang dan cincin berwarna emas yang menghiasi tubuhnya. Bahkan sempat ia dengar pembicaraan bibi-bibinya terkait perhiasan yang mereka pakai.

Anak-Anak Soleh (NCT DREAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang