X. Ketika Dunia Memaksa Untuk Bertekuk Lutut

15 6 1
                                    

Selamat membaca, semoga suka!!!

---

Sesuai perkataan Malik, paket berisikan oleh-oleh Singapura telah sampai di rumah melalui seorang kurir. Bagi keluarga Soleh kedatangan paket merupakan hal yang ditunggu-tunggu.

Kedatangan paket membawa kesenangan tersendiri bagi mereka. Setelah berfoto bersama dengan memegang paket sebesar dus mie instan mereka segera membawa masuk bersama menuju ruang kekuarga.
Anak-anak Soleh berfoto bersama dengan Reno yang memegang paket dan yang lainnya berfoto sembari menunjuk paketnya. Paket bersama foto buktinya pun harus bersama, benar?

Chandra segera mengambil cutter yang berada di laci dapur dan memberikannya pqda Jandra. “Nih bang cutter-nya. Buruan buka,” ujarnya setelah memberikan alat itu.

Jandra segera menerimanya dan menyayat bubble wrap paket itu hingga tersisa lakban yang menjadi perkat antar sisi dus. Anak-anak Soleh semakin bersemangat melihatnya. Mereka tidak sabar mengambil oleh-oleh itu.

“WAAAAAAW!-....”
Mulut yang tadi menganga lebar kembali terkatup seketika. Sedangkan ayah dan bunda justru tertawa terpingkal-pingkal melihat reaksi anak-anaknya.

“TUH KAN, BENER DUGAAN GUE,” ujar Chandra.

Yap, seperti ucapan Chandra saat video call kemarin, Malik benar-benar mengirimkan delapan buah kaos dengan beragam motif dan warna. Diantaranya ada yang hanya bertuliskan ‘I Love Singapore’ dengan kaos berwarna putih dan merah, ada yang dengan motif Merlion dan lain-lainnya.

Mereka mendesah kecewa, sepertinya lemari mereka akan penuh dengan koas semacam itu. Sama seperti kali ini, saat Malik dinas ke Malaysia pun, Malik membawakan oleh-oleh kaos bertulisan ‘I Love Malaysia' dan ‘Kuala Lumpur, Malaysia”. Tapi kekecewaan mereka sirna setelah melihat oleh-oleh lain yabg diletakkan ditumpukkan bawah setelah baju-baju.

Dua keler coklat dan delapan buah gantungan kunci Merlion mereka temukan disana. Anak-anak Soleh segera mengambil gantungan itu satu persatu dan segera membuka satu keler coklat untuk mereka makan bersama.

“Justin mau!” ujar si bungsu yang selalu terselip tangannya ketika akan mengambil coklat dalam keler itu.

----

Langit mulai menggelap diiringi oleh tumpahan air yang deras, membasahi jalanan yang setelah berjam-jam kering oleh sinar mentari. Angin yang sepoi-sepoi menerbangkan bau panas jalanan. Menusuk-nusuk hidung Heksa. Namun tidak dapat dipungkiri, ia sangat menyukai wangi dan suara hujan.

Hujan di sore hari dengan dihiasi lembayung senja memang selalu membawa suatu rasa tersendiri. Kegelisahan dan kesedihan tentang sesuatu hal yang tiba-tiba muncul dalam pikiran mereka.

Tadi Heksa dan Naja sedang duduk bersama di teras rumah, menyaksikan bulir-bulir hujan yang mengguyur halaman rumahnya, sebelum bunda memerintahkan mereka masuk ke dalam rumah. Bunda percaya, warna jingga dari lembayung senja merusak mata yang melihatnya.

Entah mengapa rumah yang tadi ramai karena oleh-oleh yang dikirimkan Malik, kini mendadak sepi. Heksa menatap keluarganya yang menonton televisi dengan khidmat namun dengan pandangan yang seakan kosong. Sama seperti saudara-saudaranya Heksa pun merasakan suatu perasaan tersendiri. Ia merasa bingung dengan tujuan hidupnya.

“Gue tiba-tiba bingung tentang cita-cita gue,” ujar Heksa yang langsung mendapatkan atensi keluarganya. “Gue tiba-tiba bingung, apa yang bakal gue dapetin dari kuliah arsitektur. Gue juga tiba-tiba ke pikiran perkataan Om Pian waktu itu, yang bilang peluang arsitektur saat ini sedikit. Menurut gue dia ada benarnya. Di luar sana sudah banyak banget arsitek terkenal yang jasanya udah jadi langganan para kontraktor.  Gue takut kalo sarjana gue sia-sia. Masa depan gue luntang-lantung.”

Mendengar perkataan Heksa, Jandra membuang nafasnya panjang. “Kalo lo mau tahu gue juga bingung kenapa dulu gue malah mutusin ambil S2 Teknik nuklir, kenapa gue enggak sekolah kepolisian lagi. Gue juga sering ngerasa menyesal dan ragu akan pilihan gue.”

“Apalagi gue, sekolah kedokteran gigi butuh biaya mahal. Gue juga ngerasa salah saat ambil jurusan itu. Gue rasa harusnya dulu gue ambil biologi aja yang biayanya lebih murah dari biaya kedokteran gigi. Gue gak enak harus merepotkan dan membebani bunda dan ayah, bang Malik, Mas Reno sama Bang Jandra buat biayain keperluan sekolah gue,” imbuh Naja.

Setelah memastikan adiknya selesai berbicara, Reno mulai membuka suaranya. “Enggak cuman kalian, Mas juga terkadang bingung dan menyesal dengan pekerjaan Mas. Mas sering ngerasa pekerjaan Mas ini bisa ngezholimin orang-orang. Mas terkadang membela yang salah dan menyudutkan orang benar hanya karena orang yang salah mampu bayar jasa Mas. Mas kadang pengen berhenti jadi pengacara, tapi Mas bingung apa yang harus Mas lakukan jika nanti kehilangan pekerjaan Mas.”

Chandra dan Justin yang masih SMA-pun merasakan kebingungan akan masa depannya. Mereka sering terjaga ketika malam hanya untuk memikirkan langkah apa yang harus mereka ambil setelah lulus dari SMA. Terutama Chandra yang beberapa minggu lagi dimulainya pendaftaran masuk perguruan tinggi negeri. Guru BK di sekolahnya yang terus menanyakan jurusan kuliah yang akan diambilnya.

Chandra ingin menjadi dokter, ia ingin masuk pendidikan kedokteran.  Tapi melihat biaya pendidikan yang mahal, ia tidak ingin menambah beban orang tua, Bang Malik dan Bang Reno.

Haruskah ia meletakkan cita-cita tertingginya dan mengaku kalah pada semesta? Bolehkah ia egois untuk menggapai cita-citanya tanpa memikirkan ekonomi yang akan mencekat nantinya?

“Rasanya berat. Dunia seakan mencari celah agar kita menyerah dan memaksa kita untuk bertekuk lutut padanya. Lalu menegaskan bahwa kita gagal dan tidak layak,” ujar Heksa dalam.

Ayah datang dari dapur menghampiri anak-anaknya yang kembali terdiam. Ia mendengar segala kegelisahan anak-anaknya dari tembok pembatas dapur dan ruang tengah. Sesuatu yang mencubit hatinya sedari tadi ia usahakan untuk berhenti.

Ayah melesat masuk ke tengah posisi anak-anaknya dan meletakkan piring berisi tempe mendoan buatan bunda. Ayah menarik nafas dalam dan berkata, “Ketika dunia memaksa kalian bertekuk lutut, bukankah itu posisi yang sempurna untuk berdoa?”

-----

Part ini cuman 890 kata, pendek aja. Tapi semoga kalian suka!

Jangan lupa vote, commentnya kawan! Biar makin semakan mikir alur selanjutnya hehe

Anak-Anak Soleh (NCT DREAM)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang