Matahari pagi sudah menampakkan wujudnya dibalik awan, membuat semburat cahaya jingga menerobos masuk melewati celah gorden kedalam kamar yang tak terlalu besar itu. Sosok yang kini masih asyik bergelung dibalik selimut tebalnya sedikit bergerak, selang beberapa detik kepalanya menyembul dari balik selimut.
Pemuda berparas cantik itu menguap masih dengan mata tertutup. Menyipitkan netranya sebelum terbuka sempurna, guna menyesuaikan penglihatannya dengan bias cahaya.
Tangannya meraba kearah samping kanan tempat tidurnya, namun keanehan dirasakan olehnya saat merasa ranjang miliknya terasa cukup sempit, terbukti dari tangannya yang malah menjuntai kebawah. Karena seharusnya kini disisi sebelah kanannya ada seorang malaikat kecil yang tidur bersamanya semalam. Atau hanya dirinya saja yang tidur di posisi ranjang yang terlalu menepi?
Lantas tangan kirinya mulai bergerak, memastikan jika sisi ranjang sebelah kirinya jauh lebih luas dan bisa menemukan keberadaan sang putra disana.
Namun pemuda manis itu tiba-tiba saja memekik ketika tangan kirinya malah terpantuk tembok. Seketika kesadarannya langsung kembali, dan dibawanya tubuh kecil itu untuk segera beranjak dari tidurnya.
Netranya menyapu kearah seluruh penjuru kamar, tak asing namun keningnya berkerut saat menyadari jika dirinya kini tak berada dikamar yang seharusnya.
Dengan cepat Renjun, nama pemuda itu langsung turun dari ranjang dan keluar dari kamar miliknya dengan keterbingungannya.
"Jam berapa ini? Kenapa kau baru bangun?" Ucap suara yang cukup familiar untuknya, namun entah kapan terakhir kali ia bisa mendengar suara itu secara langsung, Renjun tak mampu mengingatnya. Dan kini, bagaimana bisa ia mendengar secara langsung suara itu? Apakah orang tuanya kini tengah berkunjung kerumah.. oh astaga, bahkan Renjun baru menyadari jika kini ia tengah berada di rumah lamanya.
Lantas, dimana perginya Chenle juga Jeno, sang suami?
"Kenapa hanya melamun? Cepat habiskan sarapanmu, kau bilang jam sepuluh keretamu akan berangkat" Ucap yang paling tua, sosok yang menjabat sebagai kepala keluarga disana.
"Minggir, bodoh! Kau menghalangi jalanku"
Tubuh kecil Renjun terhempas kearah samping setelah seseorang mendorongnya karena menghalangi jalan. Tak terlalu kuat sebenarnya, namun mungkin karena kondisi Renjun yang masih linglung dan masih berusaha untuk mencerna keadaan ini, membuat tubuhnya limbung hingga hampir terjatuh kearah samping.
Ketiga orang disana mengangkat alisnya mendapati si bungsu bertingkah cukup aneh pagi ini. Mungkinkah Renjun masih mengantuk, mengingat semalam pemuda maret itu yang harus terjaga semalaman guna menyiapkan segala keperluannya untuk kuliah di kota?
"YA!!" Si sulung melempar handuk basah yang baru saja digunakannya setelah mandi kearah Renjun, membuat si manis langsung tersadar dari lamunannya.
Netranya beralih kearah handuk yang kini berada di kedua tangannya, terasa cukup sakit saat benda itu mengenai wajahnya juga rasa dingin dari handuk yang setengah basah itu terasa begitu nyata dipermukaan kulit tangannya. Namun seolah dirinya merasa masih berada di alam bawah sadarnya, tangan kecilnya terangkat untuk mencubit pipi gembilnya. Sakit.
Namun belum membuat si manis sepenuhnya yakin, hingga akhirnya tangannya kembali terangkat untuk menampar sendiri wajahnya. "Aww.." Ringisnya seraya mengelus pipi.
"Sepertinya kita harus memeriksakan kejiwaannya sebelum melepas dia berkeliaran di kota sendiri" Saran si sulung dengan menatap iba kearah si bungsu yang masih berdiri di tempatnya, namun karena ucapannya itu, sebuah sendok mendarat mulus dipucuk kepalanya.
"Aw!! Eomma!" Pekiknya seraya mengusap pucuk kepala yang terasa sedikit nyeri.
"Jaga mulutmu, Doyoung! Bagaimanapun juga dia adikmu" Bentak si pelaku, yang tak lain dan tak bukan adalah ibunya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
ANOTHER CHANCE [JAEREN ft. NOREN]
Fanfiction[END] Hanya kesempatan yang diberikan oleh Tuhan kepada mereka untuk merubah atau mempertahankan cerita yang sudah ada. JAEREN ft. NOREN BXB MPREG