Di usianya yang sudah sedewasa ini, Xiao Zhan telah mengalami banyak permasalahan dalam kehidupan. Masa kecil yang kurang menyenangkan, kesepian, trauma bekepanjangan, cinta dan keluarga yang terlalu rumit untuk di hadapi seorang diri.
Beruntung, i...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Pepatah mengatakan, sepandai-pandainya tupai melompat pasti akan terjatuh juga. Pula, sepintar-pintarnya seseorang menyembunyikan bangkai, baunya pasti akan tercium juga.
Di dunia ini banyak rahasia. Semua orang memiliki rahasia, tidak pandang bulu, tidak pandang usia. Namun, selama apa dan seberapa mampu seseorang untuk menyembunyikannya selama masih hidup?
Xiao Zhan melihat sekeliling, dan mendapati perbedaan yang sangat kontras antara bangunan-bangunan modern di wilayah sekitar dengan bangunan yang ada di hadapannya kini. Rumah tradisional Siheyuan dengan gerbang mencolok berwarna merah dan tembok tinggi yang mengelilingi halaman. Xiao Zhan bisa melihat cabang-cabang pohon menjulang yang ditaman di balik tembok itu.
Gang dan jalanan sekitar tampak sepi, seolah hampir tidak ada aktivitas apa pun di sekitar sini. Itu mengingatkan Xiao Zhan akan rumah mafia dan penjarah makam kuno dalam sebuah drama yang pernah ditontonnya bersama Wu Lei, Janice dan Wang Yibo beberapa hari yang lalu.
“Ge, ini rumah siapa?” tanya Xiao Zhan.
Dia benar-benar buta wilayah. Mengikuti Wu Yifan sampai ke tampat ini tanpa tahu tujuannya apa, siapa yang akan mereka temui, di mana tempatnya dan lain-lain. Xiao Zhan menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan saat Wu Yifan dengan santai mengetuk pintu beberapa kali.
Hampir tidak ada suara maupun sahutan apa pun dari dalam, tetapi Xiao Zhan masih dapat mendengar suara panel pintu dan derit engsel pintu yang tampak berat itu ketika ditarik. Panel pintu sedikit terbuka, kelapa pelontos seorang pria menyembul keluar. Kedua maniknya yang tajam menatap menyelidik bergantian antara Xiao Zhan dan Wu Yifan.
“Siapa yang kau bawa?” tanya pria itu.
Wu Yifan mengeluarkan sepucuk surat dari dalam jas dan menyerahkannya. “Berikan amplop ini pada kakek tua itu, dan biarkan dia yang mengambil keputusan.”
Panel pintu ditutup kembali sesaat setelah pria botak itu mengambil amlpop yang diberikan Wu Yifan. Sesaat setelah terdengar helaan napas yang membuat Xiao Zhan bertanya-tanya dalam hati, apakah dia secemas itu? Kalau pria botak tadi mengenali Yifan, bukankah artinya mereka pernah bertemu sebelumnya atau bahkan sering bertemu.
“Kita tunggu di sini dulu. Setelah kakek tua itu memutus---“
Kreek!
Suara panel pintu dibuka mengintrupsi dan memotong ucapan Wu Yifan. Pria berkepala pelontos yang tadi kembali menyembul dari celahnya dan bekata, “Masuk.”
“Ayo,” ujar Wu Yifan pada Xiao Zhan untuk mengikutinya.
Begitu melangkahkan kaki, pandangan Xiao Zhan langsung mengedar ke sekitar. Halaman luas, dikelilingi 3 bangunan kecil dan satu bangunan bertingkat yang strukturnya dari kayu seperti rumah tradisional Tiongkok pada umumnya.
Xiao Zhan melewati halaman dan masuk ke bangunan utama yang kemudian langsung disuguhi tata ruang tradisional yang bergitu kental. Di depan sana terdapat kursi singgasana yang terbuat dari kayu, di atasnya duduk seorang kakek berjangot putih cukup panjang dan rambut beruban sibuk menarikan kuas di atas kertas.