Four

250 60 13
                                    

╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝

.
.
.


"Aku senang sekali Ibu mengunjungiku. Tapi, kenapa Ibu tidak meneleponku dulu? Seharusnya bisa kusiapkan jamuan yang lebih baik. Bukan menyambutmu dalam keadaan canggung begini."

"Memangnya aku ini siapa? Kau anakku, apakah untuk datang ke sini butuh izinmu dulu?"

"Bukan begitu, Bu. Aku hanya ingin memberi pelayanan yang layak buat Ibu. Dan sekarang aku tidak punya apapun yang pantas dihidangkan."

"Cucuku kelihatan sehat, itu lebih dari kegembiraan bagiku. Ibu juga tidak punya sesuatu yang bagus, tapi ini ada sedikit buah-buahan segar. Kau masih suka buah pir 'kan?"

"Ibu--aku jadi makin tidak enak."

"Sudahlah, Hinata. Bawa buahnya ke dapur. Cuci sekalian agar suamimu bisa langsung memakannya nanti." Wanita paruh baya ini mengulurkan tangan, hendak meraih Kawaki ke dalam pangkuannya.

"Ya ampun, Bu. Ini terlalu banyak."

"Pir itu tidak akan cukup untuk bertiga. Pisangnya bisa kau tambahkan ke makanan bayi."

"Dari mana Ibu tahu Naruto suka buah nanas?"

"Kalau tidak salah, aku pernah mencuri dengar dari obrolan kalian. Kurasa kau masih ingat, puding nanas spesial di hari ulangtahunnya."

"Ah--aku tidak mengira Ibu bakal mendengarnya."

"Kebahagiaan di senyummu itu mustahil dilewatkan." Seketika penuturan sekian menarik sudut-sudut bibir Hinata. Begitu melirik, si wanita paruh baya ini turut menyeringai diam-diam. "Apalagi yang kau tunggu?! Beri aku sedikit ruang bersama cucuku ini."

"Baiklah, Bu. Akan kupotong juga buahnya untuk Ibu."

"Tidak perlu repot-repot memikirkanku."

"Jangan berkata seperti itu, Ibu tidak pernah menyusahkan."

Kedatangan wanita senja ini jelaslah demi tujuan tertentu. Mustahil dia menyisihkan waktu di tengah-tengah tugas pentingnya selaku pengurus sebuah Yayasan bagi anak-anak terlantar juga dari keluarga kurang mampu. Faktanya, Hinata merupakan satu dari ratusan anak-anak yang pernah bernaung di lembaga sosial di bawah kepemimpinannya.

-----

Tidak bisa kupungkiri segugup apa perasaanku saat ini. Kedatangan Bu Kurenai yang tiba-tiba menuai tanda tanya sensitif di benakku. Jika boleh jujur, aku hendak menahannya agar beliau tidak perlu mengabari berita itu.

"Kawaki sudah tidur?"

"Iya Ibu, dia akan tenang hingga satu jam berikutnya."

"Syukurlah, waktu yang cukup untuk menyampaikannya padamu. Kau pun menyadarinya 'kan Hinata? Aku bisa melihat kegelisahan di matamu."

"Bu, bisakah aku tidak usah mendengarnya?" Nuraniku mendorong terlampau kuat penyangkalan ini. Sejak lama kuputuskan hendak membuang bentu-bentuk simpati kepada mereka.

"Maafkan aku, kau harus menerimanya. Bagaimanapun juga, mereka orang tua kandungmu. Suka tidak suka, kau berhak tahu mengenai mereka."

"Tapi, Ibu--"

"Percayalah, aku tidak berniat ikut campur. Sekadar agar kau tahu dan barangkali tidak perlu penasaran menyangkut keadaan ayah ibumu." Aku mendesah pasrah, tahu seberapa buruknya ekspresiku kala Bu Kurenai menunjukkan senyum teduhnya padaku.

"Baiklah, Bu."

"Mereka mampir menawarkan undangan pernikahan, putra angkat mereka. Aku tidak begitu mengenalnya selain mereka selalu mengajaknya di setiap penyerahan bantuan ke yayasan. Ayah ibumu tampak sehat." Aku tertawa pedih, bolehkah mengumpati situasi mereka yang terlalu aman menurutku? "Bisa kulanjutkan?!"

"Aku keceplosan, maaf, Bu."

"Hinata, kau senang dengan kehidupanmu ini, bersama suami dan anakmu?" Aku mendongak. Pertanyaan Bu Kurenai sedikit membuatku bingung.

"Mereka segalanya, Ibu. Rasa syukur bersedia kuletakkan sepanjang hidup di atas keberadaan mereka. Mereka yang telah mengembalikan jiwaku yang sempat mati."

Andai kalian punya kata-kata sempurna demi mengungkapkan bentuk terima kasihku pada Tuhan, tolong beritahu aku. Sebab, aku kehilangan kata-kata untuk menggambarkan seluas apa kebahagiaan ini. Namun, lagi-lagi sepertinya Tuhan masih ingin menguji tahap kesabaranku. Melalui afirmasi tak mengenakkan, terucap ragu-ragu oleh wanita yang amat kuhormati tersebut.

"Lupakanlah segala tentang mereka, sekalipun luka yang ditinggalkan. Aku takut kelak dendam bisa menjatuhkanmu, Hinata. Bertahun-tahun kuamati, tetap tidak pernah bisa kulihat pancaran kehilangan di mata mereka."

-----



YORE (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang