╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝.
.
.Katakan padaku jika kalian temukan sosok orang tua yang tega menyingkirkan anaknya demi kehidupan berbeda. Aku sangat tahu rasanya dan sakit itu tidak menghilang meski puluhan tahun waktu berganti. Terkadang meningkat seiring kabar-kabar terdengar mengenai kehidupan mereka saat ini.
Jika boleh memilih, aku tak ingin mengetahui berita apapun. Baik atau buruk mengenai dua manusia kejam itu, biarkan angin membawa cerita mereka menjauh dari telingaku.Aku tahu ini keterlaluan, tidak meminta pada kalian agar sependapat denganku atau mungkin meletakkan tangan sebagai bentuk dukungan. Aku memikirkan segalanya dengan matang, menunggu setiap pertimbangan demi pertimbangan yang kubuat. Apa kalian dapat menebaknya? Dalam sekali penilikan, maka kutemukan kekecewaan berkali lipat.
Masa kecil membuatku berpikir naif secara naluriah. Aku masih sempat mengira bahwa ayah atau ibuku pasti akan menemukanku. Aku anaknya, orang tua mana yang tega menelantarkan anaknya di antara kerasnya dunia?
Harapan terus kusimpan sampai seorang wanita dengan senyum menenangkan di wajahnya menggenggam erat tanganku yang dingin dan pucat, memberi kehangatan baru sejalan aku membagi ketakutanku padanya. Sekarang kau aman. Aku yang akan merawat dan membesarkanmu, ikutlah denganku. Bahasa penuh kelembutan serta tatapan kasih di mata Ibu Kurenai merupakan awal hidupku terselamatkan dari jalur kesengsaraan. Aku tak bisa membayangkan lagi seperti apa hidupku andai tidak bertemu beliau di hari itu.
Masa perkenalan di panti berlalu tanpa kendala yang rumit. Di awal kedatanganku, sebagian anak-anak lain menatap heran. Ada juga yang tampak tidak menyukai kehadiranku, namun tak sebanyak sambutan anak-anak yang berlarian menghampiri sambil tersenyum lebar. Hatiku lega, aku senang ketika mereka bersedia berbagi tempatnya untukku.
Musim silih bergulir, menemani pertambahan usiaku menuju kedewasaan. Semuanya masih dalam kedamaian dengan aku menerapkan sugesti terhadap diri sesering mungkin agar melepas harap tak berujung. Tidak semudah dugaan, kala dua orang yang paling enggan kutemui tiba-tiba muncul dalam jarak begitu dekat. Ayah ibu berkunjung ke yayasan, tanpa kupahami niatnya.
Apa yang dahulu teramat kunantikan berubah seumpama kengerian dari peristiwa terseram. Aku gemetar di balik pintu, hanya dapat mendengar tawa gembira sekaligus asing. Siang itu juga, sosok yang mestinya memeluk sayang untuk menenangkan si anak malang telah menggiring kebahagiaan baru di tengah-tengah mereka. Anak laki-laki lebih muda dariku, bermanja-manja di sela rangkulan ayah dan ibu. Ketiganya sangat serasi selaku keluarga harmonis juga dermawan. Mereka seperti terlahir ulang di dalam sosok berbeda, benar-benar meninggalkan aku.
"Aku pulang ...!" Seruan sedikit lantang bergema dari depan. Mampu menyapu telinga Hinata, namun tidak mengusik renungan itu. Matanya memerah sudah, bercucuran ke ujung dagu. Sementara Kawaki kecil mulai samar-samar merengek di dalam kotak bayi, sensitif mengenai suara dan aroma tubuh sang ayah.
Jarum pendek berhenti di angka tiga, rutinitas Naruto setiap kali dia pulang bekerja. Pria ini bergegas menuju kamar, usai kembali mengunci pintunya dengan baik. Spontan mengernyit jangka menangkap tangisan Kawaki.
"Kawaki, suara Papa membangunkanmu, ya? Kasihan anak Papa--" Langkahnya terhenti dini menemukan Hinata berjongkok di samping ranjang, "Hinata?!" Buru-buru dia mendekat, memegang pundak sang istri untuk menuntunnya berdiri. "Ada apa?" Halus sekali nadanya bertanya sembari mengusap sisa air mata di pipi Hinata.
"Mereka datang lagi. Mereka akan terus menggangguku--aku harus bagaimana? Aku ingin pergi, pergi yang jauh sekali." Tekanan itu tidak mengizinkannya untuk menyudahi tangis, betah mengalir kendati Naruto intens mengusapnya.
"Ada aku di sini, tidak akan kubiarkan mereka berani menyakitimu lagi." Pelukan hadir, menyeret perlahan-lahan kesadaran Hinata. Dia terisak-isak di bahu Naruto, bersamaan jerit melengking Kawaki kecil seolah jiwa murninya turut menelan pedih serupa.
-----
KAMU SEDANG MEMBACA
YORE (Commission) ✓
Cerita PendekHinata mengharapkan seorang bayi, bayi yang murni lahir dari rahimnya. Tetapi, dia tidak suka pernikahan. Ikatan itu selalu berhasil menghantuinya, membayang-bayangi ketakutannya dengan wajah culas dua manusia bekas orang tuanya. Bukan mau akalnya m...