Three

293 67 46
                                    

╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝

.
.
.


"Makan yang banyak, kau melewatkan sarapanmu tadi pagi. Berulang kali kubangunkan, malah dengkuranmu makin keras saja."

"Rasa-rasanya, kalau di rumah yang paling ingin kulakukan cuma tidur, Hinata. Kalau tidak kepalaku bakal nyeri seharian."

"Aku tidak melarangmu tidur, tetapi mencemaskan jadwal makanmu yang tidak pernah teratur. Nanti kau sakit, aku dan Kawaki bagaimana? Kami juga membutuhkanmu." Ini berhasil mengambil seutuhnya atensi Naruto, dia menahan sedikit sumpit yang nyaris masuk ke mulutnya.

"Maaf karena sudah membuatmu cemas, aku akan berusaha lagi agar bisa makan tepat waktu. Atau lain kali kau pukul saja sampai aku bangun." Mendadak bola mata Hinata seakan hendak keluar.

"Itu tidak benar, kenapa aku harus memukul hanya untuk membangunkanmu?!"

"Kalau tidak mau cara begitu, kau boleh menciumku. Aku pun lebih suka jika kau melakukannya." Dalam sekejap raut Hinata berganti. Pipinya bersemu hingga dia spontan merunduk malu-malu.

Hubungan keduanya bermula dari sebuah kesepakatan demi keuntungan sepihak di posisi Hinata. Uzumaki Naruto menolong wanita itu tanpa pamrih, kendati keberadaan dia sangat jelas sebagai sarana bantuan. Seiring perguliran waktu, keduanya memantapkan pilihan untuk mengesahkan hubungan yang semula abu-abu. Setahun tinggal seatap, kedekatan canggung pun sedikit demi sedikit berkembang intim.

Sebagai pribadi yang pasif, Hinata lebih banyak menuai afeksi dari Uzumaki Naruto. Masa lalu yang melibatkan mereka sedikit memengaruhi perilakunya, masih kelu bagi dia menyebut pria itu sebagai suami. Sehingga, dia membutuhkan nama bayinya agar dapat bertutur dengan mudah.

"Akan kusiapkan bekalmu." Bergegas dia bangkit guna mengurangi rasa gugupnya.

"Lucu sekali. Bertahun-tahun kita berteman, tapi aku tidak pernah tahu kebiasaanmu. Kau yang mudah tersipu sangat menyenangkan untuk disaksikan." Hinata kukuh bergeming, sementara Naruto tersenyum walau cuma mengamati punggungnya. "Sepertinya Hinata, aku mulai menikmati pernikahan ini."

-----

Dia tidak sendirian, nyatanya aku pun telah menaruh seutuhnya hati ke dalam rumah tangga kami. Aku suka saat fajar datang dan bisa melihat dia di sampingku, di ranjang yang sama denganku. Aku puas ketika dia lahap menyantap masakanku. Aku malu sekaligus bahagia begitu dia aktif merayu jenaka dan aku khawatir bila dia pulang pagi sebab desakan situasi.

Kehadiran Naruto mengumpulkan kepingan kepercayaan diri yang pernah hilang. Senyumnya selalu berhasil meningkatkan semangatku. Pola pikirnya membuatku kagum, dia pribadi objektif yang bersedia mendengar pendapat orang lain tanpa mau terlibat perdebatan keras. Cara dia dalam menyelesaikan masalah sangatlah dewasa, walau dia sendiri tak ingin menganggapnya demikian di mana dia pun telanjur pernah tergelincir ke dasar kesilapan.

Sekelompok orang mungkin merendahkan dia dan hidupnya terdahulu. Melainkan senantiasa terjadi beragam kisah di dalam takdir individu, termasuk dia yang disisihkan akibat melawan kodrat. Terlibat hubungan tak lazim di sekitar hukum Ketuhanan, lantas menuai kebencian dari stereotip kepala-kepala tertentu tidak pula meruntuhkan niatnya untuk membenahi jiwa.

Bagiku dia sosok sempurna layaknya asa yang kupunya. Apapun kata orang-orang mengenai kekalahan dia di masa lalu, yang terpenting untukku dia tiada pernah terdengar merendahkan diriku. Dia menatapku melalui pancaran lembut, menghargai pendapatku juga siap menjadi penyimak terbaik terhadap segala tumpukan kesah sosok Hyuuga Hinata.

Aku meletakkan seluruh rasa syukurku di atas kehadiran Uzumaki Naruto. Aku bahagia dia di sisiku, mendampingi langkahku dan aku bangga menyandang Uzumaki-nya.

-----

YORE (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang