Six

236 60 17
                                    

╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝

.
.
.

"Kau sudah bangun?! Pagi sekali."

"Perutku lapar--" kata-katanya belum tuntas terucap saat mendadak dia malah menguap.

"Mau makan apa?"

"Apa saja, yang penting perutku kenyang." Padahal bukan wacana kelakar, tapi tetap saja Hinata terkekeh setiap kali Naruto berbicara seperti ini soal makan.

"Kapan kau bisa memilih seleramu sendiri?!" Hinata bertanya main-main sembari bergeser ke dapur bersih. Ada tumisan sayur di kulkas yang dimasak sore kemarin. Jadi, dia cuma perlu memanaskannya di microwave. "Telur atau salmon goreng tepung?!"

"Yakin ditanya juga?! Nanti kau menyesal kalau aku yang tentukan."

"Tidak akan, sesekali aku juga ingin menyajikan hidangan yang sesuai kehendakmu."

"Dua-duanya kalau begitu, sekalian saus sambalnya juga. Tapi, jangan pedas-pedas ya, yang sedang saja."

"Aku tahu. Tunggulah sepuluh menit di meja, ini tidak akan lama. Tehnya ada di situ, tinggal dituang ke cangkir."

"Terima kasih. Hidupku benar-benar teratur sejak memiliki istri," celetuk Naruto sebelum menyesap teh yang tak lagi terlalu panas.

Tak ada yang tahu bahwa Hinata pun merona di posisinya sekarang. Beruntung dia tengah membelakangi, hingga Naruto tak akan bisa melihat ekspresinya.

"Oh, ada Naruto, ya."  Dari dapur kotor, bibi Hanare datang sembari membawa mangkuk besar berisi labu dan wortel yang sudah dipotong kecil-kecil.

"Halo, Bibi."

"Baru tempo hari dibicarakan, akhirnya kelihatan juga. Kau tampak bugar, Naruto." Si empu yang disebut tergelak sungkan.

"Aku tidur dengan baik, Bibi. Lelahku terbayarkan dengan istirahat yang cukup."

"Obatnya memang itu. Seberapapun lelahnya, jika dibarengi tidur yang pantas, maka tubuh juga bisa memperoleh energinya kembali."

"Bi, duduklah dulu. Kita sarapan bersama. Aku akan siapkan nasi juga untuk Bibi."

"Tidak perlu, Hinata. Aku sudah makan di rumah. Lebih baik kuteruskan pekerjaan lain dan kalian silakan nikmati." Hanare beringsut ke tempat semula, turut membawa mangkuk berbeda berisi tahu sutra. Sementara tangan yang satunya lagi menenteng sekantung tomat segar.

"Dia menanyakanmu tempo hari--" Naruto sekadar tersenyum merespons. "Ah, itu dia!" kata Hinata begitu mendengar bunyi klik dari tombol microwave. "Pas sekali, ikannya juga sudah matang." Monolog dia lagi sambil mengangkat fillet ikan dari wajan. Setiap geriknya berada di dalam pengamatan Naruto. Diam-diam dia mendesah lega, setidaknya Hinata sudah melupakan peristiwa tak mengenakkan kemarin.

-----

Aku menyender di bingkai pintu, menyaksikan kegembiraan di wajah tegas Naruto. Dia sendiri yang meminta untuk mengajak Kawaki berkeliling kompleks menggunakan kereta bayi. Sekalian berjemur, kata dia.

Dia seperti obat penenang untukku. Tanpa kehadiran dia, aku cemas hilang kendali akibat emosional yang kadang kala memuncak. Sempat kuajukan rencana berkonsultasi ke psikolog, namun tanggapannya meruntuhkan niatku. Menurutnya, aku tidak butuh pelayanan demikian selagi kami bersama. Dia pun selalu mengulang kalimat serupa untuk tidak akan meninggalkanku.

"Dia suami yang bertanggung jawab."

Entah sejak kapan Bibi Hanare ada di sampingku, namun tuturnya yang lembut tidak sampai membuatku terkejut, "Aku beruntung ya, Bi."

"Tuhan tahu mengirimkan siapa-siapa yang pantas dan cocok untuk kita. Bukan mengenai apa dan berapa nilainya, tetapi  bagaimana keberadaan dia mampu membuat kita mengucapkan kata cukup. Dia hanya melihat dirimu, pandangan tulus dan perhatiannya. Bukankah itu sangat manis? Aku mengawasinya dari jendela di belakang, tapi kau jangan marah." Seketika aku pun terbelalak, semata-mata tersenyum lapang dan bebas saat kudapati Bibi Hanare memandang dua sosok kesayanganku melalui binar-binar cemerlang di bola matanya.

-----

YORE (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang