Two

338 76 34
                                    

╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝

.
.
.

Jika dahulu, aku akan begitu kesusahan mengarungi waktu yang sungguh melambat di sekitarku. Lalu, mengingatkan lagi seberapa besar kecewa terpendam. Tiada hari spesial, tidak bahkan untuk diucapkan sebagai sebuah permintaan semoga hari ini lebih baik dari kemarin, besok pasti lebih baik dari hari ini.

Masa-masa yang seharusnya kutempuh untuk merajut imajinasi indah, melukis lengking tawa riang, memeras air mata dan ingus demi semangkuk es krim vanila. Tidak ada yang mengerti kenapa aku berhenti menangis di usia enam tahun. Rasa iba meluap dalam sekejap, emosional lain pun meluruh bersama kebencian.

Mereka membuangku, tanpa pernah kutahu alasannya. Bulan ke bulan hidup terlunta-lunta di jalanan, syukur masih kuterima belas kasih dari sedikit kepedulian. Sering aku bersembunyi, berlari kencang tak ingin menoleh saat kusadari perhatian lebih tetapi asing dan tajam ditujukan padaku. Dari jauh aku mengintip untuk menyaksikan anak lain meronta-ronta meminta dilepaskan dan tamparan-tamparan keras seketika memberikan rasa sakit serupa terhadap kesadaranku. Aku mengasihani dia, anak yang tertangkap itu, bagaimana nasibnya? Apakah terlalu naif bila menginginkan dia baik-baik saja sampai sekarang?

-----

Rengekan si bayi agaknya berhasil meraih atensi si pria tidur berbadan besar. Interaksi minim di depannya mengundang senyum lega di wajah Hinata. Jangka omelan Kawaki kecil bergema di ruang minimalis tersebut, "Pa-paa ... Pa-pa-papa." Kontan pula mereka tercengang.

"Hei, kau bilang apa tadi?" Buru-buru si pria menegakkan punggung, mengangkat tubuh Kawaki kecil di atas kepalanya. Katakan lagi, Jagoan. Papa belum mendengarnya dengan benar." Tawa cempreng menggetarkan nurani, Kawaki cekikikan senang ketika badannya diayun-ayun naik dan turun.

"Sudah jam tiga sore. Bangunlah, bersihkan dirimu dan makan."

"Kau masak apa?"

"Ikan panggang. Dua hari yang lalu Bu Kurenai mengirimkan ikan segar untukku. Stok yang disumbangkan relawan terlampau banyak, Bu Kurenai tidak pernah suka menyimpannya lama-lama di freezer."

"Dia suka membaginya ke tetangga, seperti ceritamu." Hinata mendekat, menampung bobot Kawaki kecil ke lengannya. "Di mana aku pas dia datang?"

"Kau masih tidur."

"Bartender benar-benar mengubah hidupku, aku lebih mirip makhluk nokturnal."

"Kau bisa berhenti jika mau."

"Tidak, aku mencintai pekerjaan ini. Banyak hal menguatkan pertimbanganku untuk bertahan. Salah satunya pertemuan pertama kita."

"Naruto, kau tidak perlu menyinggung kejadian itu. Aku malu sekali, malunya terasa hingga detik ini."

"Memangnya apa isi pikiranmu setelahnya atau saat ini?!" Dia duduk di pinggir ranjang, menghadap ke wajah Hinata yang sudah kentara kikuk.

"Memergoki orang asing yang sedang bermesraan di toilet umum, ya ampun--aku seperti pecundang."

"Tapi, kau tidak langsung menyingkir waktu itu."

"Hah?! Masa? Aku lupa." Hinata menjadikan bayinya sebagai pengalihan, sibuk menggoyang-goyangkan badan gempal Kawaki kecil seperti hendak menidurkannya. Sementara, dia enggan membahas lebih jauh dan membuka salah satu aib terhebatnya.

"Aku ingat semuanya, Hinata. Dan apakah aku sudah memberitahumu kelanjutan hari bersejarah itu?"

"Tidak, kurasa." Masih tatapan Hinata bertahan pada Kawaki kecil yang malah gelisah di dalam dekapannya.

"Hei, jangan memaksanya. Biarkan dia bermain sejenak." Naruto menggamit sebelah tangan Hinata, meremasnya erat. Dan afeksi ini nyatanya menggugah sepenuhnya respons Hinata, "Kau terus menghindar bila aku membicarakannya. Aku tidak akan menekan agar kau mau mendengarkan. Tapi Hinata--hari di mana kau melihatku dalam kondisi memalukan itu adalah hari di mana wajahmu tidak mau hilang dari pikiranku."

-----

YORE (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang