╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝.
.
.Menikahi Uzumaki Naruto tidak pernah masuk ke dalam rencana Hinata sebelumnya. Bukan juga dengan pria manapun yang barangkali dia temui. Satu-satunya kehendak terkuat adalah dia dapat mempunyai seorang anak dari rahimnya sendiri. Dia ingin melahirkan darah dagingnya, sosok yang kelak bernaung padanya dan pula menjadi tempatnya berlindung di hari tua.
Begitu kokoh rencana itu tersusun dibarengi keyakinan matang. Tetapi, tanpa persiapan tentulah rancangan sekadar menjadi skema di dalam kepala. Hinata paham terhadap kesulitan bisa menghalangi niatnya. Harus dengan cara apa mewujudkan impian melahirkan keturunannya selain melalui pernikahan. Hinata membenci hal itu. Kehidupan pahit tidak memberinya kesempatan untuk mengidam-idamkan bahtera rumah tangga bahagia di sepanjang kematangan usia.
Di tengah-tengah kebuntuan solusi, wajah si Uzumaki muncul hingga mengundang seringai pendek di sudut bibir Hinata. Tiada pertimbangan ulang, harapan pun turun kepada si pria yang sudah lama menjalin pertemanan baik dengan dia. Proses bayi tabung pun seketika melintas di akalnya, meski memaksakan dia untuk menguras bertahun-tahun jumlah tabungan. Hanya saja, Hinata sempat melupakan satu fakta bahwa si Uzumaki yang dia kenal, yang dia gelar sebagai teman karibnya bukanlah pria biasa-biasa seperti banyak pria pada umumnya. Pria itu, si Uzumaki Naruto merajut hubungan spesial dengan sesama pria, dia gay.
Tak disangka jika takdir serta asa itu justru beriringan. Si Uzumaki menunjukkan kesediaannya untuk membantu. Pria itu siap menyumbangkan uluran tangan cuma-cuma demi merealisasikan mimpi kecil Hinata. Lagi pula dia telah lama menabur rasa simpati terhadap perempuan yang menurutnya pantas disandingkan dalam jejeran wanita-wanita inspiratif. Meski sisi kelam masa kecil mendominasi, Hinata tetap mampu memperlihatkan eksistensinya di hadapan orang lain. Kepedihan dia simpan jauh-jauh untuk dirinya sendiri, melainkan dia bergerak maju memperjuangkan kehidupan yang menghampiri.
-----
"Kenapa kau terus-terusan tersenyum? Apa yang terjadi?" Cecaran Naruto menyentak pikiranku, menambah keramaian di waktu senggang kami. Televisi menyala, sementara di atas karpet bulu, Kawaki kecilku mempertontonkan aksinya. Dia asyik mengoceh sambil mengasah kemampuannya untuk tengkurap dan aku tentu siaga duduk di dekatnya.
"Aku sedang gembira."
"Pesananmu makin ramai?"
"Itu salah satunya, tapi bukan yang utama."
"Jadi, karena apa?!" Kuamati sorot penasaran di matanya, hingga ekspresi polos yang dia tampakkan membuatku geli di dalam hati.
"Memangnya kau tidak?" Dan Naruto cuma bergumam menanggapi pertanyaanku, alisnya bertautan tanda berpikir. "Aku tidak menyangka pernikahan Karin dan Sasuke akan diselenggarakan minggu depan. Dalam sebulan semuanya menjadi mungkin," kataku kemudian.
"Ya bagus 'kan?"
"Tadinya aku ragu. Aku tidak berani mengira-ngira sebesar apa perasaan yang dia kasih padamu, tapi keputusasaan di mukanya jelas sekali menjabarkan semua." Barulah Naruto mengumpulkan fokusnya dengan sengaja menurunkan volume nyaring televisi, badannya di miringkan menghadapku. "Dan ternyata--kau juga yang berhasil mengubah pemikirannya."
"Siapapun orangnya, pasti tidak selalu mudah melepaskan sesuatu yang dianggap berharga. Tapi, kalau yang berharga itu dapat ditemukan di tempat lain, kenapa tidak mencarinya lagi? Meskipun sulit, manusia wajib mempersiapkan diri terhadap perubahan suasana dan kondisi, bukan sebaliknya."
Penjelasannya menakjubkan. Seperti yang kukenal, pola pikir Naruto adalah wacana penengah untuk beragam permasalahan, "Itu yang kau katakan pada Sasuke?" tanyaku lagi.
"Ya, sebagian kecil." Sejenak hening saat kudapati Naruto mengembus rendah napasnya. "Ikatan di antara kami sudah ada sejak kecil. Sehari-hari bersama dan terabaikan oleh keluarga sendiri, secara tak sadar sikap saling peduli pun datang."
"Dia cemas. Lebih dari dia yang tak bisa hidup tanpa hubungan kalian, kupikir kehilangan presensi dirimu justru sangat menakutkan untuknya." Inilah yang kusimpulkan sejak kunjungan tiba-tiba Sasuke di bulan lalu. Dia menyedihkan dan aku tidak bisa menahan rasa simpati kepadanya.
"Maka dari itu, baik aku ataupun kau perlu mendahulukan perhatian kepada anak-anak juga keluarga kita. Jangan sampai kesilapan menciptakan dampak menyakitkan demikian lagi." Aku spontan tersenyum, tak tahu kata-kata apa yang pantas menyahut kebenaran dari belah bibirnya. Tapi akan kuucapkan kebenaran dari sisiku, aku yang kian waktu merasa bertambah benar karena memilih mengarungi hidup dengannya.
------
KAMU SEDANG MEMBACA
YORE (Commission) ✓
ContoHinata mengharapkan seorang bayi, bayi yang murni lahir dari rahimnya. Tetapi, dia tidak suka pernikahan. Ikatan itu selalu berhasil menghantuinya, membayang-bayangi ketakutannya dengan wajah culas dua manusia bekas orang tuanya. Bukan mau akalnya m...