Eight

215 53 39
                                    

╔══•●•══╗
YORE
╚══•●•══╝

.
.
.

Hinata berlari kecil ke kamarnya guna mengambil daftar alamat pelanggan yang hampir terlupakan, "Aku meninggalkan ini, untunglah Shino memintanya sebelum dia pergi." Gelagatnya diperhatikan oleh Naruto yang sedang asyik bermain dengan Kawaki kecil. Langkah terburu-burunya pun membuat dia tersenyum simpul serta menggeleng pelan.

Sedang, istrinya itu sempat menarik panjang napasnya begitu sudah berdiri di hadapan Shino. "Baru hari ini kau melupakannya."

"Iya. Aku agak sedikit kerepotan tadi pagi." Padahal karena pikirannya yang memang terusik oleh hal lain. "Dan Shino, kurasa aku akan bertemu Tenten minggu depan. Mengenai penambahan pesanan, aku sedang menunggu dua puluh persen lagi untuk menutup slot maksimalnya. Karena kau bilang ingin mengambil penuh rute pengantaran, maka aku memilih solusi agar Tenten juga bergabung bersama kita. Dia bisa membantuku juga Bibi Hanare di dapur, asalkan dia tidak keberatan. Lain cerita bila dia lebih suka berjualan kue ikan, aku tidak dapat berbuat lebih dari sekadar penawaran kerja sama."

"Astaga, terima kasih, Hinata. Aku merasa senang sekali mendengar rencanamu. Aku yakin dia pasti mau. Apa boleh aku langsung memberi tahu dia, nanti?" Anggukan yang dituju menambah kelegaan. Shino makin antusias menaiki motornya, terbaca jelas dari seringai lebar di wajah pria itu.

"Naruto, kau di situ?!"

"Tadinya aku turun untuk menyapa Shino,  tapi motornya sudah telanjur pergi."

"Kemarin aku beli nanas, karena kau bilang sangat menyukai nanas dari Ibu Kurenai. Kulihat dari bentuk kulit dan tekstur buahnya sih, sama. Cuma aku belum coba rasanya. Akan kuambil," kata dia sambil bergeser ke dapur. Di ruang tengah itu Naruto duduk memangku Kawaki di pahanya, lalu dia menyalakan televisi menggunakan remot.

Menit ke menit acara kartun berputar, Kawaki yang sedang bersandar di perut ayahnya berangsur-angsur mulai merespons. Bibirnya melengkung, seiring suara khas bayi sesekali terdengar tiba-tiba.

"Sejak kapan Kawaki jadi cerewet begini."

"Aku tidak yakin. Terkadang dia sering mengoceh, namun besoknya kelewat tenang." Sepiring potongan buah nanas, pir dan apel tersaji di atas meja berikut garpu untuk mempermudah saat melahapnya.

"Jangan ditahan jika ada yang perlu kau ceritakan padaku, sebelum Bibi Hanare kembali dari pasar."

"Sasuke datang--"

"Aku tahu."

"Dia yang bilang padamu?"

"Bukan," obrolan ini menjadi pengisi acara bersantai makan buah di antara mereka. "Karin mampir ke bar. Kami berbincang banyak tentang dia dan Sasuke. Dia masih ragu meneruskan pernikahan itu, melepasnya pun tidak mungkin mudah. Dia benar-benar menyukai Sasuke." Hinata hela napasnya pada detik sekian, membebaskan beban awal demi melancarkan pesan yang hendak diutarakan.

"Seseorang harus mendukung Sasuke, menarik dia dari semua kebimbangan yang tertinggal. Aku tidak pernah bersimpati kepadanya, tidak menyimpan perasaan buruk juga." Saat ini Naruto menahan fokusnya di situ, menyimak penggalan kata yang diucapkan istrinya. "Kau keliru jika berpikir bisa mengabaikan dia, menganggap dia mampu menapaki kehidupan baru tanpa kendala berarti serupa yang terjadi padamu dan keluarga kita. Tolong jangan tersinggung, aku ingin kita selalu membicarakan apapun yang berkaitan terhadap kita dengan kepala dingin dan terbuka."

"Lanjutkan saja, kau selalu pandai menyampaikan tanpa menyinggung."

"Cobalah mendampinginya hingga dia berhasil menemukan kepercayaan dirinya lagi. Dia seperti orang yang tersesat, aku jadi kasihan jika mengingat nada putus asanya. Dia mengucapkan selamat bagi keluarga kita, tersenyum untuk Kawaki. Tapi, aku justru tidak suka perlakuan demikian ketika dengan mata kepalaku sendiri kulihat dia siap menangis."

-----

Apa harapan kalian dari segelintir kisah ini, yang mungkin memang ada terjadi di antara belahan dunia?

Dua bab lagi selesai..
Cukup terkejut juga untuk ragam reaksi dari kalian.

YORE (Commission) ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang