Sejak masa penerimaan siswa baru Chenle sudah memperhatikan Jisung, siswa yang selalu saja membuat orang disekitarnya dengan mudah menertawakan candaan yang dia lontarkan. Bahkan hampir seluruh anggota osis sudah dekat dengan bocah itu.
Sebenarnya begitu mudah untuk mendekati Jisung dikarenakan bocah itu selalu ramah pada setiap orang. Namun Chenle enggan mendekat, dia masih belum begitu yakin apakah perasaan ini hanya ketertarikan atau hal lain. Juga tidak mudah baginya untuk menyapa orang lain.
Sudah 2 tahun Chenle memperhatikan Jisung dari jauh, dia selalu duduk di depan uks setiap kali Jisung bermain sepak bola dengan temannya di jam istirahat. Chenle duduk dengan tenang sambil memainkan game di ponselnya, agar tidak terlalu jelas bahwa dia duduk di sana hanya untuk melihat bocah itu.
Ruang uks tepat berada di depan lapangan, di sana pun tersedia mesin minuman agar siswa yang bermain atau melakukan kegiatan eskul mudah untuk menjangkau minuman. Sejujurnya ini juga menjadi tempat favorit Chenle, bermain game di sana cukup menyenangkan karna dengan mudah dia mendapatkan minuman dan juga makanan ringan, terlebih dia juga dapat melihat Jisung.
Beberapa siswi juga berkumpul tak jauh dari Chenle, mereka selalu menyisihkan uang saku mereka untuk membelikan minuman dingin untuk Jisung dan temannya.
Mata Chenle sesekali melirik ke arah lapangan, di sana Jisung sedang mengelap keringatnya menggunakan ujung baju. Suara jeritan mulai terdengar kala para siswi melihat dengan jelas ke arah perut Jisung. Wanita mana yang tidak menjerit ketika melihat tubuh lelaki muda dan tampan.
Dikarenakan bel akan berbunyi 10 menit lagi, Chenle memilih untuk kembali ke kelas. Namun karna cuaca cukup panas hari ini, dia memutuskan untuk ke toilet sebentar hanya untuk membasahkan rambut dan juga membasuh wajahnya agar merasa segar kembali.
Toilet cukup sepi, dengan cepat Chenle mulai membasahkan rambutnya. Seragamnya sedikit basah akibat tetesan air dari rambut, Chenle menghela nafas sambil menarik tisu untuk mengelap wajahnya yang basah.
Chenle tidak sadar sedari tadi Jisung memperhatikan Chenle dari mulai membuka dua kancing seragam hingga mengelap wajahnya. Chenle menyisir rambutnya ke belakang, wajah dan kepalanya cukup segar sekarang.
"Kepanasan, ya?" Chenle terkejut ketika mendengar seseorang bicara. Dia segera menoleh ke kiri dan mendapati bocah tinggi yang sudah dia perhatikan sejak penerimaan siswa baru.
Tidak ada balasan dari Chenle. Jisung menggunakan wastafel tepat di samping Chenle, dia membuka keran dan melakukan hal yang sama seperti Chenle. Sampai akhirnya menyisir rambutnya ke belakang dan melirik Chenle.
"Bisa tolong ambilkan tisu, Chenle hyung?"
Chenle dengan gerakan lambat mengambil tisu dan memberikannya pada Jisung. Tau dari mana anak itu soal namanya, Chenle tidak merasa pernah memperkenalkan dirinya pada Jisung.
"Terima kasih. Oh ya, Chenle hyung mau bergabung bermain sepak bola besok siang?"
"Ah, soalnya aku sering melihat hyung duduk di dekat lapangan dan memperhatikan kami bermain." Jisung menjelaskan alasannya mengajak seniornya. Memang benar, Jisung selalu melihat Chenle duduk di sana sambil memperhatikan mereka bermain, dia merasa Chenle ingin ikut bermain juga jadi dia berinisiatif mengajaknya setelah bertemu dengan Chenle.
Chenle merasa malu sekarang. Apakah gerak gerik nya sudah terbaca sekarang?
"Engga, aku tidak bisa bermain sepak bola. Lagian aku duduk di sana untuk bermain game." Chenle hanya beralasan.
Jisung mengangguk. "Kau suka denganku ya, hyung?"
Mendengar pertanyaan yang dilontarkan Jisung, Chenle membulatkan matanya. Bagaimana bocah itu bisa tepat sasaran? Bukankah bocah itu bodoh, melihat bagaimana dia yang masih begitu kekanak-kanakan.
"Wahh ternyata benar, seperti yang dibicarakan."
Chenle menyerngitkan alisnya. "Maksudmu apa?"
Jisung menyilangkan kedua tangannya di depan dada, melirik Chenle sambil bersandar pada salah satu bilik.
"Memangnya kau tidak tau? Semua orang membicarakan kalau kau suka denganku, kau selalu memperhatikan aku sejak awal masuk sekolah. Dan kau menggambar wajahku di buku, begitulah yang ku dengar."
Chenle mendesis. Jadi selama ini semua orang membicarakannya, bagaimana bisa dia sendiri bahkan tidak tau kalau dirinya menjadi bahan pembicaraan orang-orang. Apakah mereka selalu menatap jijik padanya selama ini?
Jisung masih melirik seniornya itu, bagaimana wajah itu terlihat marah dan juga ingin menangis secara bersamaan.
"Jadi.. mau membolos bersama, Chenle hyung?" Chenle enggan menjawab, dia masih tidak punya keberanian untuk menatap Jisung sekarang.
Jisung meraih lengan Chenle, menariknya keluar dari toilet tanpa persetujuan seniornya itu. Jisung tidak peduli, lagipula Chenle diam saja dan tetap mengikutinya.
Setelah sampai di atap sekolah, Jisung melepaskan lengan Chenle. Dia duduk di kursi yang menghadap ke arah lapangan. Angin kencang meniup rambutnya hingga terlihat berantakan.
Chenle masih berdiri tidak jauh dari Jisung. Keduanya masih tidak bersuara, Chenle memilih untuk diam. Tidak ada alasan dia membuka suara ketika rahasianya sudah jelas diketahui. Jisung hanya melirik Chenle sesekali.
"Jadi bagaimana, hyung? Kau ingin berkencan denganku?" Tanya Jisung pada akhirnya.
Chenle mengepalkan tangannya. "Kau!!" Sedikit menahan suaranya, Chenle marah. Apakah begini Jisung yang asli? Meremehkan perasaan seseorang dan dengan mudahnya mengajak berkencan? Chenle tidak siap untuk dipermainkan, akan jauh lebih baik jika Jisung memakinya saat ini.
"Apa kau marah saat aku mengajakmu berkencan setelah tau perasaanmu?" Chenle diam. Dia enggan membuka suara.
"Ayo jawab hyung, tidakkah kau menggantungku?"
Chenle memejamkan matanya, dia menahan agar suaranya tidak pecah. Dan begitu dia sudah yakin, Chenle menghela nafas dan menjawab. "Aku akan menyerah. Kau tidak perlu memikirkannya."
Jisung menatap seniornya itu, dia menghampiri Chenle dan memegang pundaknya. "Yang benar, hyung?" Wajah dan suara Jisung terdengar senang. Chenle merasa sakit mendengarnya.
"Syukurlah kalau begitu, aku jadi tidak perlu mencari alasan. Kalau begitu aku akan kembali ke kelas, selamat tinggal hyung." Jisung dengan mudah melambaikan tangannya dan pergi meninggalkan Chenle.
Sementara Chenle sendiri dengan pelan menunduk, memperhatikan sepatu dan juga air mata yang jatuh.
"Jadi dia percaya kalau aku menyerah, bukan?"
Perasaanya selama dua tahun akan berakhir hari ini, Chenle tidak pernah membayangkan bahwa ditolak akan menyakitkan seperti ini. Bagaimana suara dan wajah Jisung yang senang akan jawabannya, masih terputar di kepalanya.
"Jika dia membutuhkan kualifikasi untuk berkencan dengan seseorang, aku tidak begitu yakin.. bahwa aku bahkan akan memenuhi standar.."
Chenle menangis. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangannya, berharap suara tangisnya tidak akan terdengar walaupun tidak ada seorangpun di sana kecuali dirinya.
"Aku mencintainya.." gumam Chenle
Namun di sisi lain, Jisung menundukkan kepalanya. Berjongkok sambil mengusak rambutnya, dia menatap lantai dan memikirkan kejadian sebelumnya.
Bukan maksud Jisung untuk senang atas jawaban seniornya. Dia bahkan ingin memeluk seniornya itu walau sebentar, namun lagi-lagi dia bersikeras untuk tidak menaruh hati pada siapapun.
"Kenapa bagian sebelah dadaku berdebar.." namun dengan cepat Jisung memukul dadanya, dia memilih untuk cepat kembali ke kelas dan tidak memikirkan kejadian beberapa waktu yang lalu.
"Yeah.. aku tidak mau berkencan dengan siapapun."
Bukankah jauh lebih baik untuk mereka? Tidak perlu ada cinta untuk orang asing.
End
KAMU SEDANG MEMBACA
Short Story [jichen]
FanficKisah cinta Jisung dan Chenle dalam bentuk oneshoot-twoshoot