"Dibalik semua masalah dan peristiwa yang terjadi, Tuhan punya skenario terbaik dibaliknya."
~FEARFUL~
•••
Ruangan ICU nampak begitu tenang. Hanya suara mesin penghitung denyut jantung yang terdengar. Pasien terbaring lemah di ranjang dengan tabung pernapasan terpasang, tubuhnya dikelilingi oleh selang-selang yang terhubung ke berbagai alat. Wajahnya pucat dan terlihat sangat kesakitan."Ahhk." Erangan kesakitan terdegar samar.
Wanita yang duduk di kursi sampingnya, seketika berdiri saat menyadarinya.
"Lea!!"
Gerakan tubuh cucunya membuat Oma Sarah segera keluar memanggil petugas rumah sakit. Setelahnya, kembali bersama seorang dokter dan perawat. Dengan sigap dokter memeriksa keadaan gadis itu.
Perlahan mata Allea terbuka sedikit. Ia mengerang saat merasakan kepalanya berdenyut. Sekuat tenaga berusaha menggerakkan tubuh yang terasa sangat kaku dan sakit. Sayangnya anggota geraknya sulit bereaksi. Ingin rasanya ia melepas semua alat medis yang menempel di tubuhnya.
"Kondisinya masih sangat lemah. Pasien harus banyak beristirahat. Saya pamit dulu, hubungi saya jika terjadi sesuatu!" ucap dokter setelah melakukan beberapa pemeriksaan.
"Baik, Dok!"
Dokter bersama perawat keluar dari ruangan setelah pemeriksaan. Oma langsung mendekat pada Allea dan menatapnya dengan berlinang air mata.
"Sa-kit oma," ringisnya saat merasakan kepalanya seperti akan pecah.
"Sabar sayang." Hanya itu kalimat penenang yang bisa neneknya ucapkan.
Mulut Allea terbuka ingin mengatakan sesuatu, tapi suaranya sulit keluar. Oma mendekatkan telinganya ke dekat bibir.
"Ba-gaimana yang lain ...."
"Mereka semua baik-baik saja." Untungnya Oma Sarah mengerti arah pembicaraannya.
"Sungguh?"
Nenek diam sejenak menatap manik mata gadis itu, lalu mengangguk pelan.
"Aku i-ngin menemui mere--ka." Allea memaksa menggerakkan tubuhnya yang nyeri, membuat Oma langsung menahannya.
"Kamu baru bangun dari koma selama lima hari. Kondisimu masih sangat lemah. Mereka bertiga juga masih dalam perawatan. Jika sudah sembuh, baru kalian bisa bertemu."
Gadis itu menangis menahan sakit dan juga perasaan bersalahnya pada ketiga sahabatnya. Ia sangat ingin tahu keadaan mereka.
Sungguh Allea tidak pernah menyangka hidupnya akan semenyedihkan ini. Dulu ia selalu merasa hari-harinya terlalu monoton. Namun, kini hari-harinya dipenuhi nasib buruk.
"Aku ... pembawa sial."
Oma Sarah melotot mendengar gumaman pelan cucunya. "Jangan bicara seperti itu, Lea!"
"Seharusnya waktu itu aku tidak membatalkan niatku untuk mati. Kecelakaan ini tidak akan terjadi."
Air mata gadis itu meleleh untuk kesekian kalinya. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia menarik alat medis yang menempel di tubuhnya. Memaksa untuk melepasnya.
"Aku benci diriku sendiri. Kenapa aku tidak mati saja."
"Apa yang kamu lakukan!!" Oma Sarah menahan tangan Allea yang mengamuk. "Suster!! Dokter!!"
Meski Allea masih lemah, tapi tubuh renta neneknya kesulitan menahan pergerakannya. Raungan disertai tangisan menggema mengisi ruangan. Menyakiti diri sendiri sepertinya menjadi hobi baru gadis itu.
Seorang perawat masuk dengan ekspresi terkejut melihat pasiennya. Ia membantu oma Sarah menahan tubuh Allea yang terus memaksa melepas semua alat medis yang menempel di badannya.
"Allea, mohon tenangkan dirimu. Kamu akan terluka jika memaksa melepas infus," ucapnya berusaha setenang mungkin. "Ibu Sarah, tolong panggilkan dokter atau perawat lain. Saya akan menahannya sementara."
Oma Sarah berlari keluar dan kembali beberapa menit kemudian bersama seorang perawat. Mereka terpaksa menyuntikkan obat penenang padanya karena ia tidak kunjung tenang.
***
Kondisi Allea mulai membaik, tapi belum stabil. Ia belum pernah bertemu dengan ketiga sahabatnya setelah kecelakaan itu terjadi. Selama di rumah sakit, hanya neneknya yang menemaninya. Bahkan tidak ada yang mengunjunginya.
Sejujurnya Allea sangat kesepian, tapi ia tidak bisa berharap banyak. Itu adalah konsekuensi dari sifat anti sosialnya. Akhir-akhir ini, Allea menyadari bahwa rasa kesepian, kesendirian, dan kemurungan yang dialaminya selama ini adalah salahnya sendiri. Dirinya yang menutup diri dari orang-orang dengan alasan introvert. Menjauh saat ada yang ingin mendekat, cuek saat ada yang ingin berinteraksi dan hanya diam saat ada yang ingin mengobrol.
Tok tok tok ...
Lamunannya buyar saat pintu ruangan rawatnya diketuk. Sempat mengira neneknya yang kembali dari membeli makanan, tapi saat pintu terbuka, seorang gadis berseragam sekolah masuk dengan senyum lebar. Mata Allea berbinar melihatnya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.
"Caca."
Allea berusaha bangun, membuat Caca sigap membantunya untuk duduk.
"Maaf, ya, gue baru bisa jengukin lo sekarang." Caca memeluk tubuh ringkih temannya dan dibalas dengan pelukan erat. Setelahnya, ia mengambil posisi duduk di kursi samping ranjang.
Kedatangannya membawa sedikit kebahagian untuk gadis kesepian itu.
"Lo sendiri ke sini?" tanyanya berbasa-basi.
"Enggak, gue datang bareng anak kelas kita. Mereka ada di ruangan—" Caca menghentikan ucapannya saat tersadar akan sesuatu.
"Oh, pasti mereka datang jenguk Raka sama Riko."
"Mereka nanti ke sini juga, kok," terang Caca cepat, takut Allea bersedih. "Bentar, gue panggilin mereka."
Allea menahannya saat ingin kleuar. "Ga perlu."
Tanpa diberitahu pun, Allea sadar teman sekelasnya yang lain tidak berniat menjenguknya. Ia sadar diri bahwa mereka tidak menyukainya, terlebih setelah kejadian dirinya mengamuk. Pasti meninggalkan kesan tidak baik untuk mereka.
"Gimana kondisi lo?" Caca mengalihkan pembicaraan.
"Mulai membaik."
"Gue kaget banget waktu dengar kabar kecelakaan kalian. Seluruh sekolah heboh, bahkan kasus kecelakaan kalian masuk berita nasional."
Tentu Allea tidak tahu apa yang terjadi di luar sana setelah kecelakaan itu. Bahkan keadaan ketiga sahabatnya pun ia tidak tahu. Tidak ada yang memberitahunya, bahkan mereka pun tidak saling memberi kabar karena Allea tidak pernah menggunakan ponsel setelah kejadian tersebut.
"Lo tau keadaan mereka?" tanya Allea penasaran.
"Mereka?" Kening Caca mengerut heran. "Maksudnya ketiga sahabat lo?"
Allea mengangguk.
"Kok, bisa? Padahal kalian satu rumah sakit. Ruang rawat kalian juga dekat."
Allea memilih tidak menjawab, untungnya Caca memahaminya.
"Mereka menderita luka-luka dan juga patah tulang. Beruntung airbag mobil yang kalian kendarai aktif. Jadi, keadaan tiga sahabat lo tidak terlalu parah meski mobil terbalik."
Penjelasannya membuat Allea sedikit lega. Ia sempat berfikir keadaan ketiganya akan lebih parah darinya. Airbag berhasil menyelamatkan mereka dari benturan keras, berbeda dengan Allea yang terlempar ke luar mobil. Meski terlihat tidak mendapat banyak luka luar, ia mendapatkan luka dalam yang cukup fatal.
"Semua salah gue, Ca." Allea kembali menyalahkan dirinya sendiri. "Benar kata orang, gue parasit ... gue beban ... gue si pembawa sial."
"Jangan bilang gitu, Allea. Itu ga benar!"
"Awalnya gue juga pikir itu ga benar. Namun, setelah semua kejadian buruk yang gue alami dan juga kehilangn orang-orang tersayang. Gue jadi mikir, memang ada orang yang ditakdirkan dengan nasib buruk ... dan itu gue."

KAMU SEDANG MEMBACA
FEARFUL (End)
Teen FictionAlleana Zanara dan Segala Permasalahan Sosialnya. Si gadis pendiam, introvert, dan cenderung antisosial. Perpaduan sempurna yang membuatnya kesulitan bersosialisasi. Hidupnya berjalan monoton, nyaris tanpa warna. Beruntung, ia masih memiliki sahabat...