Bagian I

295 39 6
                                    

"Pernikahan ini adalah pernikahan yang Ayah pilih, tidak sesuai dengan tradisi kita biasanya. Sebelum aku menerima keputusan Ayah, karena aku tidak akan bisa mengatakannya lagi, izinkan aku mengatakannya sekarang."

Pangeran Hugo menatap Raja Armand dengan mata tajamnya. Raja Armand terlihat tenang dan menyilakan putranya bicara.

"Aku kira Ayah akan membiarkanku memilih istri yang kucintai, tapi ternyata aku harus menjalani perjodohan dengan perempuan yang tak kukenal, yang ayah janjikan takkan terjadi padaku. Istriku akan berada di sampingku selamanya, Ayah. Bertahta ataupun tidak aku nanti. Aku seharusnya mencintai pasanganku agar lebih mudah mengemban tugas di kerajaan ini."

Sang pangeran masih menatap ayahnya, dengan mata bergelora walau nada suaranya tetap tenang.

"Ayah tahu..." Pangeran Hugo terdiam sejenak, "Semua orang sudah tahu aku dan Lady Maureen dekat. Dan aku akan melamarnya. Aku bahkan sudah memberi tahu Ayah tentang rencanaku."

Pangeran Hugo menghembus nafas frustasi. "Apa yang harus kukatakan padanya dan keluarganya, Ayah?"

"Kau tidak harus mengatakan apa pun, Jacques. Mereka pasti maklum dan menyadari posisi mereka saat tahu siapa calon istrimu." Jawab Raja Armand.

"Ayah mengatakannya dengan sangat mudah, tak berperasaan. Bagaimana dengan perasaanku, Ayah?!" Suara Pangeran Hugo mulai tinggi.

"Baik, saya akan menuruti perintah Baginda. Hanya saja saya tak akan memiliki perasaan apapun pada calon istri saya ini karena perasaan saya sudah mati bersama harapan saya pada Lady Maureen. Saya juga bisa tidak berperasaan, seperti yang Baginda Raja lakukan pada saya. Pernikahan ini pun hanya karena status kerajaan, kan?"

Pangeran Hugo beranjak dari duduknya.

Raja Armand menyadari sakit hati putranya tapi membiarkan putra pertamanya berlalu meninggalkan ruangannya. Dalam hati, beliau hanya berharap putranya akan paham alasan perjodohan ini untuk dirinya sebagai seorang putra mahkota.

Pangeran Hugo melempar tubuhnya ke ranjang. Ia mengerang frustasi, ingin memberontak tapi tak berhak. Saat dinobatkan menjadi putra mahkota, Pangeran Hugo Jacques Hawkins paham betul akan ada berbagai pengorbanan yang harus dia berikan, salah satunya adalah tentang istrinya. Setelah sekian tahun merasa aman karena sang Ayah tak pernah mengusiknya yang dekat dengan Lady Maureen, Pangeran Hugo kira dia akan bisa memilih pendampingnya dengan bebas. Namun semuanya berubah setelah Ayahnya pulang dari kunjungan ke Kerajaan Halstead, tiba-tiba saja ayahnya mengatakan bahwa ia akan dinikahkan dengan tuan putri kerajaan itu. Pangeran Hugo berdecak kesal. Ia bahkan tak tahu dimana letak kerajaan itu. Yang ia tahu, tempat itu cukup jauh, itu sebabnya ia tak bisa pergi bersama ayahnya karena harus menjaga istana.

Pangeran Hugo berjalan gontai menuju mejanya. Membuka laci dan menarik sebuah kotak merah diikat pita emas. Perlahan ia buka kotak itu dan menampilkan cincin ruby indah, warisan ibunya. Ingatannya terlempar kembali pada almarhum ibunya.

"Jacques, my love. Suatu hari, saat kamu menikah nanti, berikan ini pada calon istrimu, ya. Cincin ini adalah pemberian dari Ayah ibu saat akan menikah dengan Ayahmu. Ibu tidak bisa selalu menemanimu, tetapi melalui cincin Ruby ini, Ibu akan selalu bersama kalian. "

"Mengapa ibu ratu mengatakan itu seakan akan pergi?" tanya Pangeran Hugo remaja saat itu.

"Suatu saat yang datang juga akan pergi, Jacques. Waktu ibu juga akan tiba, tidak bisa menemanimu selalu." Ibu Ratu yang kala itu tahu sakitnya tak akan sembuh membelai sang putra penuh kasih sayang. Ia yakin, cincin ini akan jatuh pada tangan yang tepat, yang terpilih untuk menemani pangeran kecilnya.

Pangeran Hugo tersadar dari lamunannya, meremat kotak cincin itu. Cincin yang seharusnya dia gunakan untuk melamar Lady Maureen kini harus ia berikan pada perempuan yang tak dikenalnya. Cincin berharga warisan ibunya.

***

Di sebuah negeri yang cerah, saat angin bertiup begitu sejuk dan bunga telah bermekaran dari balik jendela, nampak seorang gadis sedang duduk di tepi tempat tidurnya yang megah, berukir kayu berwarna emas. Rambutnya yang hitam legam terurai panjang menutupi pundaknya. Tatapannya tertuju pada buku yang ada di tangannya, tapi konsentrasinya tak di sana. Pikirannya melayang pada makan malam kemarin bersama keluarganya.

"Ysabelle Jasmine Halstead, dan seluruh anggota keluarga Halstead, simaklah ini dengan baik." Buka Baginda Raja.

Saat itu ada Putri Ysabelle, Ibu Ratu, dan Putra Mahkota Arthur Florence Halstead.

"Hari pernikahanmu telah tiba Jasmine. Kau akan menikah dengan putra mahkota dari Kerajaan Hawkins."

Semua yang ada di meja makan tercengang.

"Maksud Ayah, dengan anak dari Baginda Raja Armand Hawkins yang baru ini berkunjung kemari?" Pangeran Arthur menjadi orang pertama yang menyahut.

"Iya benar. Kami sudah sepakat untuk menikahkan mereka berdua."

Putri Ysabelle masih diam berusaha menelan makanannya namun yang tercerna hanya kata-kata ayahnya. Putri Ysabelle tahu, pernikahannya tak akan pernah menjadi pilihannya, itu sebabnya ia hanya berharap pernikahannya bisa diundur selama mungkin, berharap ayahnya tak segera menemukan calon suami untuknya.

"Tidakkah kamu cukup akrab dengan Baginda Raja Armand saat kunjungannya kemarin di sini, Putri Ysabelle?" sang ibu membelai tangan sang putri.

"Tapi Kerajaan Hawkins berada di negara yang cukup jauh, Ayah? Kasihan Jasmine, dia harus berada di tempat asing dan jauh dari kita!" Pangeran Arthur menjawab lagi.

Raja Alexander Halstead menatap putrinya yang masih diam.

"Bagaimana menurutmu, Jasmine?"

Putri Ysabelle mengangkat wajahnya, menatap sang ayah. "Apa yang ingin Anda dengar, Baginda?"

Sang ayah cukup terkejut dengan jawaban putri kesayangannya.

"Pernikahan saya memang sudah ditentukan, saya hanya bisa menunggu kapan akan tiba waktunya, ternyata hari ini."

"Jasmine! Kau bisa berkata tidak! Ayah raja berjanji tidak akan memaksamu menikah dengan orang yang tak kau setujui. Lagipula, cuaca di negara itu jauh lebih dingin dibanding di sini. Bunga tak akan lama mekar di sana. Kau tak akan bisa merangkai bunga kesukaanmu. Dan aku takkan bisa mengunjungimu sering-sering!" Pangeran Arthur mencecar adiknya.

"Apakah ayah akan mengizinkan bila aku berkata tidak?" tanya Putri Ysabelle.

Ayahnya menggeleng.

"Baik. Saya akan menikah dengan calon yang sudah Baginda pilih."

"Putri Ysabelle, Raja Armand begitu menyukaimu. Kamu tidak akan menderita di sana." Ibu ratu berusaha menenangkan putrinya.

Putri Ysabelle tersadar dari lamunannya saat menyadari air matanya menetes di buku yang dipegangnya. Kerajaan Hawkins, kerajaan yang terletak di Negara Maltaire, negara yang cukup jauh dari kerajaannya, cuaca dingin di sana jauh lebih panjang dibanding negara lain. Begitulah yang ia dengar dari Raja Armand saat makan malam bersama.

Raja Armand, walau memiliki garis wajah yang tegas, adalah orang yang hangat, bagi Putri Ysabelle. Beliau menghampiri dirinya saat sedang bersenandung di kastil kecil yang dibuatkan khusus Raja Alexander untuk kegiatan sang putri yang suka merawat taman dan merangkai bunga. Raja Armand bahkan bercerita tentang berbagai bunga yang bisa bertahan di cuaca dingin negaranya.

Putri Ysabelle adalah pewaris tahta kedua setelah kakaknya, dia tahu betul ayahnya tak akan sembarang menikahkannya, begitu pula dengan dirinya yang tak akan memiliki kebebasan untuk memilih dengan siapa dia menikah. Baginya pernikahan adalah dipilihkan, bukan memilih.

The Royal in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang