Naruto©Masashi Kishimoto
–
–Tuts hitam putih bernada itu belum juga ia tekan, meski jemarinya sudah berada di atas sana dari dua menit lalu. Piano yang berdiam di ruang tengah dengan satu bangku, jarang di sentuh namun tetap dijaga tanpa debu sedikit pun. Naruto tak akan mengabaikan piano milik ibunya begitu saja. Karena tentu dia akan dimarahi, bibir tipisnya tertarik pendek.
Hembusan napasnya keluar, Naruto membayangkan seberapa lihai jemari ibunya bergerak di atas tuts, bermain dengan anggun diantara nada indah. Dia sempat mempelajari sedikit, bahkan dulu Naruto rutin bermain piano setidaknya sekali dalam sepekan. Namun sejak hari itu, dirinya enggan menyentuh benda itu sesering dulu. Bukan berniat melupakan, tapi jika diingat membuatnya ingin melakukan sesuatu yang tidak mungkin. Melihat keahlian ibunya dalam bermain piano lagi misalnya. Tentu ia ingin.
Dua nada terdengar ketika jarinya bergerak. Namun kembali berhenti saat kedatangan seseorang disadarinya. Jelas sekali Naruto tidak mau menyambut dengan baik.
"Segera selesaikan urusanmu dan pergi dari sini." Suara dinginnya membuat suasana memburuk. Naruto tahu ayahnya berdiri beberapa meter di belakang. Tubuhnya tetap di posisi awal, enggan bertemu pandang dengan Minato.
Pria berambut kuning jabrik itu tersenyum, tidak menunjukkan rasa tersinggung atas sikap putranya. "Inilah alasan kenapa kau ingin tinggal sendiri?" dia ingin sekali mendapat jawaban sedari dulu, selain karena menginginkan kebebasan. Dan setelah Naruto mendapat kemauannya, anak itu menjadi sangat dingin dan tertutup.
"Bukankah ayah juga diuntungkan? Wanita itu bisa dibawa ke rumahmu sesuka hati." Kelopak matanya terpejam singkat, berusaha menahan marah di dalam sana. Wajah wanita sialan itu belum juga hilang.
Minato diam kali ini. Sorotnya mengarah ke punggung Naruto begitu lekat. "Mau sampai kapan kau menganggap seperti itu?"
Tubuh jangkungnya bangkit, tangannya menelusup ke saku celana dengan posisi yang masih membelakangi. "Sampai kau mengakui kesalahanmu." Naruto sepenuhnya berjalan menjauh tanpa menatap Minato sekali saja. Dia rasa ini setimpal dengan perbuatan ayahnya empat bulan belakangan. Bukan sekali dua kali dia mendapati Minato bertemu dengan wanita yang sama, bahkan sampai melakukan kontak fisik lebih dari seorang rekan kerja. Naruto begitu tidak menyukai dokter cantik itu, apalagi untuk menjadi ibu sambungnya.
Pintu coklat susu milik kamarnya terhantam cukup keras. Setelah menguncinya, pemuda pirang itu menghampiri kursi di depan meja belajar. Roda pada kaki kursi itu berputar menghadap rak buku di samping kanan. Sapphire-nya mengedar ke jajaran buku-buku di sana, mencoba beralih dari kejadian barusan. Naruto lelah menghadapi ayahnya. Memang, Minato tidak sampai menghabiskan waktu satu jam setiap kali datang, karena pria pirang itu hanya akan memeriksa satu ruangan yang setiap saat terkunci rapat. Kuncinya selalu berada di tangan Minato. Hal itu membuat Naruto tidak dapat masuk dan mencari tahu ke dalam, yang ia tahu tempat itu bekas ruang kerja ayahnya saat masih tinggal di sini.
Dia curiga di dalamnya ada sesuatu, karena hampir setiap pekan ayahnya datang untuk mengecek. Naruto bisa saja merusak pintu ruangan itu, dia akan melakukannya sedari dulu, namun rumah besar ini dibeli atas permintaan ibunya. Dia tidak mau merusak apa pun bahkan sekedar merubah tata letak barang-barang di sini. Kushina sudah mengaturnya sedemikian rupa. Segala yang menyangkut ibunya tak boleh diusik.
Sementara itu, Minato baru saja mengunci kembali pintu ruang kerjanya. Berniat beranjak karena didesak oleh pekerjaan penting. Belum tiga puluh menit dirinya singgah, tapi berlama-lama pun untuk apa? Naruto tidak menyambut kehadirannya sama sekali. Minato menghela napas. Lama jemarinya berdiam di knop pintu, sesuatu yang menyesakkan otak memperburuk suasana hatinya. Masalah diantara mereka masih berlanjut. Hubungannya dengan Naruto justru dirasa terus memburuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
NUMBER ONE
RomancePeringkat satu bukan sekedar ambisi untuk Hinata. Dia rela menggunakan jam makan siang untuk belajar, mengunjungi perpustakaan lebih sering setiap harinya, bahkan selalu bergelut dengan berbagai buku penuh rumus. Dan itu semua untuk satu hal kecil...