#8| Then How?

103 21 10
                                    

Naruto©Masashi Kishimoto
_
_

Karena Sakura terus mengajaknya berdebat, hari ini hanya kafe di dekat sekolah yang mereka datangi. Tidak ada ice cream, aksesoris lucu, atau sekedar mengecap rasa burger dari kedai baru di persimpangan jalan dekat halte. Banyak orang bilang rasanya enak. Hinata mendengus.

Matanya menatap langit gelap tanpa apapun di dalamnya. Kosong dan hampa. Sikunya bertumpu pada tembok pembatas balkon apartemen, terbalut sweater putih kebesaran yang menutupi setengah jemarinya. Aroma sejuk setelah hujan masih tercium, langit tidak ada habisnya mengguyur kota selama dua jam meski dengan gerimis kecil. Dan sekarang baru reda. Karena itulah Hinata berada di luar setelah jenuh membaca novel ataupun menyetel musik favoritnya.

Rasanya dia ingin melupakan sejenak kejadian di kafe atau segala hal yang menyangkut penyakitnya. Lama-lama lelah juga. Menjalani hari tanpa memikirkan itu sekali saja, pasti akan terasa ringan. Hinata ingin melakukannya sesering yang ia bisa.

"Ajari kucing itu agar lebih sopan! Atau di luar sampai pagi!"

Brak!

Ada kegaduhan di apartemen sebelah rupanya. Kepala indigo Hinata menoleh ke sumber suara. Di sana Kiba berdiri menatap pintu, dan, menggendong seekor kucing?

Kiba mengangkat hewan lucu itu sampai ke depan wajah. Menatap sinis ekspresi, sok, imut tanpa bersalahnya. "Puas kau? Dasar kucing jelek!"

Cuma perihal kucing? Dan apa yang hampir Kiba dapatkan karena memaki hewan betina itu? Cakarnya hampir mengenai hidung mancungnya. Kiba berdesis gemas, buru-buru membuat jarak. "Mentang-mentang kucing! Hobi sekali mencakar orang. Lupa siapa yang memberimu makan?"

Kucing Ragdoll itu berontak, kali ini dia berhasil membalas Kiba dengan cakar tajamnya. Meninggalkan luka gores kemerahan di punggung tangan pemuda itu. Sial sekali! Setelah diusir dari apartemen oleh Hana karena sofa mereka dinodai kotoran kucing. Lalu sekarang? Dia kena cakar juga. Dan akibatnya, kucing itu berhasil melarikan diri lantaran genggaman Kiba mengendur. Lari kemanapun asal bisa bebas.

"Oi! Fluffy!"

Perih. Kiba meringis di tengah kegiatannya mengamati arah pergi si kucing. Di detik itulah dirinya menyadari keberadaan Hinata yang sedari tadi memerhatikan. Namun gadis itu kini fokus pada hewan lucu yang berputar-putar di sekitar kakinya.

"Hinata? Sudah lama di sini?" dia mengambil jarak lebih dekat. Sesekali mendelik Fluffy.

Kepalanya mendongak. Hinata berjongkok untuk meraih Fluffy ke dalam gendongannya. "Lumayan. Kenapa ribut-ribut? Sampai kau memakinya." Matanya menyorot tajam selagi mengelus bulu putih lebat Fluffy yang begitu tenang digendongannya.

Kiba menggaruk tengkuk. Malu sekali rasanya terciduk memarahi kucing. "Siapa suruh buang air besar di sofa? Aku juga yang direpotkan. Kakakku marah-marah lalu mengunci kami di luar." Bisa dibayangkan seberapa panas telinga Kiba dimasukki teriakan cempreng Hana? Beruntung gendang telinganya tidak pecah.

Hinata tertawa. Kucing itu sedikit diangkat agar ia bisa menatapnya. "Kau melakukan itu?" dia menatap gemas wajah imut Fluffy.

Suaranya mengeong satu kali. Hinata dibuat tertawa lagi. Sementara Kiba hanya berkedip sepanjang mengamati. "Siapa namanya?"

"Fluffy."

NUMBER ONETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang