Naruto©Masashi Kishimoto
_
_Kiba berhenti lagi dipercobaan ke tiga. Kepalannya selalu batal menyentuh pintu kayu aprtemen milik tetangganya. Ada mangkuk kaca berukuran sedang di tangan kiri, berisi tumpukkan jeruk segar. Sepulang kerja, Hana melipir ke toko buah. Keluarga Inuzuka itu penyuka jeruk, tapi jumlah yang dibeli kelewat banyak. Gadis galak itu pulang membawa dua kantong besar jeruk. Kiba di sini pun karena dititah Hana. Mereka memang belum sempat berkenalan dengan benar pada si tetangga—keluarga Hyuuga.
Kali ini kepalan itu sampai di permukaan kayu, ketukannya terdengar tiga kali. Dan suara pintu terbuka menyambut, keluarlah Hanabi dengan tampang malas ketika mendapati Kiba yang datang. Entahlah, gadis remaja itu tidak suka saja tanpa alasan. Mungkin karena wajah Kiba menyebalkan?
"Mau apa?"
Kiba kecewa. Dia lebih ingin Hinata yang membukakan pintu, bukan gadis berwajah ketus menjengkelkan di depannya, bahkan dia disambut sekenanya tanpa ada keramahan secuil pun. "Kebetulan kami punya buah lebih. Anggap saja sebagai tanda perkenalan, berbagi pada tetangga juga sudah menjadi tradisi bukan?" meski dongkol setengah mati Kiba masih berusaha ramah, tersenyum penuh paksaan. Sementara Hanabi masih bertahan dengan wajah malasnya.
Mangkuk kaca itu diraihnya. "Terima kasih. Sudah, 'kan?"
"Oh. Iya—"
"Selamat malam."
Blam.
Pintu tertutup lagi. Kiba berkedip seperti orang bodoh. Tadi itu, sangat tidak sopan, 'kan? Kiba berdecih. Hampir saja menendang benda persegi panjang di depannya. "Kalau laki-laki, sudah aku palak setiap hari! Sialan!"
Karena bagaimana pun, Hana membuatnya belajar untuk tidak berurusan dengan perempuan. Punya kakak galak itu sangat menyiksa, bekas tamparan di pipinya kemarin lusa pun masih terasa perih. Kiba akan bersujud ria jika sewaktu-waktu sikap Hana melembut, tapi sampai kulit Sai sawo matang pun sepertinya tidak akan terjadi. Terlalu mustahil.
• • •
"Siapa?" Hinata bertanya saat mendapati Hanabi kembali membawa semangkuk jeruk. Dia kembali duduk di kursi meja makan setelah mencuci piring bekas makan malam. Kini hanya ada buku-buku memenuhi meja, kakak-beradik itu siap menuntaskan tugas sekolah bersama.
Hanabi mengambil duduk di seberang Hinata. Menaruh bawaannya. "Tetangga. Dia bilang punya buah lebih. Melakukan tradisi saling berbagi katanya." Hanabi mendengus, nada bicaranya terkesan malas.
Hinata mengernyit. "Kiba maksudmu? Kau kelihatan tidak suka padanya."
"Memang. Bicara dengannya kemarin di tangga membuatku tahu dia orang sok hebat." Lembaran buku itu terhentak cukup keras. Sebentar lagi Hanabi akan kehilangan moodnya.
Bola mata Hinata memutar jengah. Tidak tahu apa yang Kiba katakan, tapi sepertinya Hanabi hanya menilai dari gaya bicara lelaki itu. "Kau tidak lupa berterima kasih, kan?"
"Sudah. Bahkan aku mengucapkan selamat malam."
"Dengan wajah ketus seperti ini?"
Hanabi mendelik. Dia tidak meladeni lagi, fokus pada barisan soal di buku.
Hinata berjalan ke area dapur, kembali membawa mangkuk keramik berisi taiyaki buatannya sebagai makanan penutup malam ini. Dia membuat agak banyak, tersisa empat buah taiyaki. Lantas makanan berbentuk ikan itu tersodor ke depan Hanabi.
KAMU SEDANG MEMBACA
NUMBER ONE
RomancePeringkat satu bukan sekedar ambisi untuk Hinata. Dia rela menggunakan jam makan siang untuk belajar, mengunjungi perpustakaan lebih sering setiap harinya, bahkan selalu bergelut dengan berbagai buku penuh rumus. Dan itu semua untuk satu hal kecil...