Part 2

14.4K 301 0
                                    

Alice duduk dan meletakkan kepalanya di meja bartender karena kelelahan. Sejak tadi pengunjung club sangat ramai dan ia sibuk melayani orang-orang rewel itu. Berjalan kesana kemari hingga rasanya kakinya mau putus. Pumpung belum ada yang memanggilnya lagi, ia duduk di kursi bartender untuk mengistirahatkan kakinya.

"Kau terlihat sangat lelah?" Dion, sang  bartender menyapanya sembari melayani para pengunjung. Pria berusia 28 tahun itu sangat tampan meskipun sudah punya anak istri. Tak jarang, ia di tawari menjadi gigolo, Dion menolak mentah-mentah tentu saja. Pria itu sangat setia pada istrinya.

"Malam ini pengunjung lumayan banyak. Dan kenapa mereka rewel-rewel. Tadi ada juga pria botak  yang memegang bokongku. Menjijikkan sekali. Ingin rasanya aku menendang penisnya."

Dion tergelak mendengar omongan Alice. Beberapa kali Alice memang hampir di lecehkan pengunjung club, untungnya Dion dan manager sigap melindungi gadis cantik itu.

"Kau terlihat seperti mayat hidup. Lihat, kau sangat pucat."

"Hmmm."

"Bagaimana keadaan ibumu?" Tanya Dion sambil menyajikan minuman pada salah satu pelanggan yang duduk di samping Alice.

"Belum ada perubahan. Biayanya terancam membengkak. Ada masalah dengan asuransi Ibuku. Bahkan, pihak rumah sakit terancam memulangkannya jika aku tidak kunjung melunasi biaya perawatan."

"Kau tidak menggunakan fasilitas pemerintah?"

"Mengurusnya lumayan menyita waktuku. Aku takut ibuku tidak tertolong. Ia keluargaku satu-satunya." Ucap Alice sambil menegakkan tubuhnya. Ia mengusap air mata yang mengalir di kedua pipinya. Melihat itu, Dion menghembuskan napas berat, sangat iba dengan kondisi Alice yang menyedihkan.

"Para rentenir masih memburumu?"

Alice mengangguk. Beberapa hari ini para rentenir itu tak henti-henti menerornya. Bahkan ada mengancam akan menjual Alice jika tidak segera melunasi utang kedua orang tuanya. Alice bergidik ngeri membayangkannya.

"Mereka mengancam menjual tubuhku jika aku tidak segera melunasi utangnya. Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Utang Ayahku masih sangat banyak."

"Terkutuk sekali penipu itu. Menipu uang yang begitu banyak hasil kerja keras kedua orang tuamu selama ini. Suatu saat pasti ia mendapatkan karmanya." Alice mengangguk, menyetujui ucapan Dion. Jika suatu saat bertemu, Alice benar-benar ingin mencincang pria yang sudah menipu ayahnya itu.

"Aku tidak tahu lagi harus bagaimana. Lama-lama aku takut berada di rumah. Pria-pria bertubuh gorila itu seperti siap menyeretku kapan saja. Aku ngeri."

Dion menghembuskan napas berat. Sangat iba pada Alice. Namun, ia juga tidak bisa berbuat apa-apa karena dirinya juga tidak punya uang sebanyak yang dibutuhkan Alice. Utang ayah Alice milyaran, bahkan jika rumah Alice di jual, uang penjualannya tidak akan cukup untuk membayar utang-utang yang terlanjur menumpuk.

Alice beranjak, meninggalkan meja bartender untuk kembali melayani tamu-tamu yang rewel. Ada beberapa dari mereka yang mabuk sambil berjoget tidak jelas. Dion menggeleng pelan, berdoa dalam hati semoga temannya itu bisa melalui semua cobaan ini dengan baik, tidak terjadi sesuatu yang buruk.

Ketika semakin malam, suasana club malah semakin ramai. Hari ini malam minggu, para anak muda sibuk menyegarkan otak setelah hampir satu minggu bekerja.

Dion yang sibuk melayani tamu, tak sengaja netranya menangkap seorang wanita paruh baya yang berdandan sangat cantik, seperti baru berusia empat puluhan, padahal sebenarnya jauh lebih tua. Wanita itu berjalan anggun menuju ruangan di belakang club. Dion lupa jika hari libur biasanya ada acara khusus di sana.

Mendadak, pikiran Dion tertuju pada Alice. Gadis itu sangat membutuhkan uang yang cukup banyak. Apa ia menyarankan hal itu saja agar Alice keluar dari segala permasalahannya? Tapi, apa itu sama saja dengan menjerumuskan Alice?

Tapi, jika tidak ada cara lain, mungkin saja Alice akan diculik salah satu rentenir dan dijadikan pelacur. Bukankah itu jauh lebih mengerikan. Pikiran-pikiran Dion terus mengelana sembari melayani pelanggannya.

Hingga pada jam 3 malam, suasana sedikit sepi dan Alice kembali duduk di hadapannya untuk beristirahat. Gadis itu masih rapi meskipun terlihat sangat kelelahan. Dion dilema ketika ingin membicarakan apa yang ada di dalam otaknya. Ia takut Alice merasa tersinggung dan marah padanya.

"Alice,"

"Ya, ada apa, Dion. Dari tadi kau seperti tidak fokus pada pekerjaanmu."

Dion menatap Alice yang sedang meminum jus jeruk di hadapannya. Gadis itu terlihat sangat kelelahan.

"Alice, sebelumnya aku minta maaf. Entah ide yang kuungkapkan ini bisa kau terima atau tidak. Yang jelas, mungkin ini satu-satunya cara agar kau tidak lagi di kejar-kejar rentenir dan bisa menolong ibumu."

Alice sedikit terkejut. Namun, ia juga penasaran. Pekerjaan apa yang bisa dengan singkat membayar utang-utangnya ayahnya dan mengentaskan kemiskinannya.

"Pekerjaan apa itu, Dion?" Tanya Alice penasaran. Dion memejamkan matanya sebentar, kemudian memberanikan diri memberi tahu Alice apa yang ada di otaknya sedari tadi.

"Alice, kau baru beberapa bulan pindah ke kota ini dan bekerja di club ini. Kau tidak tahu banyak tentang tempat ini."

"Apa maksudmu, Dion?"

"Kau pasti tidak tahu tempat di belakang club ada semacam aula yang sangat luas di sana."

"Aku tidak tahu. Tempat apa itu?"

"Beberapa hari sekali, di sana melelang beberapa wanita. Ada yang masih gadis, ada yang sudah tidak perawan lagi. Tempat itu sangat rahasia, jadi hanya beberapa karyawan yang tahu."

"Apa maksudmu, Dion? Aku semakin tidak mengerti."

"Kau pernah mengatakan, salah satu rentenir pernah mengancam akan menjualmu, bukankah itu mengerikan."

"Iya, lalu?"

"Kau masih perawan, kan?"

"Dion, jangan bilang __"

"Maafkan aku, Alice. Sebenarnya aku tidak bermaksud seperti itu. Tapi, aku pikir tidak ada jalan lain. Sangat mengerikan bukan jika kau diseret jadi pelacur. Aku dengar, di sana kau hanya terikat kontrak seputar keperawananmu saja. Setelahnya, kau bisa bebas kecuali ada perjanjian khusus dengan pembelinya."

Alice terdiam sesaat mendengar perkataan Dion. Namun, di detik selanjutnya, ia menggeleng. Alice percaya masih ada keajaiban yang akan datang padanya. Tidak harus dengan cara kotor seperti itu.

"Terima kasih atas saranmu, Dion. Tapi, aku masih berharap ada cara lain. Aku tidak berpikir sejauh itu. Bagiku, kedua pilihan itu sama-sama mengerikan." Ucap Alice sambil tersenyum hangat. Ia mengerti maksud baik Dion. Sayangnya, menurut Alice itu sama juga dengan melacur meskipun hanya satu malam.

"Maaf, Alice. Aku tidak bermaksud ___,"

"Aku mengerti. Tidak apa-apa. Jangan terlalu di pikirkan."

Dion mengangguk. Sejujurnya ia tidak enak hati pada Alice. Tapi, melihat Alice menanggung utang yang sangat banyak, ia juga tidak tega. Sekarang, terserah Alice bagaimana selanjutnya. Ia sudah memberi masukan.

Pagi harinya, Alice pulang ke rumah setelah bekerja lembur di club. Ia melepaskan tasnya dan bermaksud mandi. Namun, sebelum memasuki kamar mandi, suara dobrakan pintu yang sangat keras mengejutkannya. Alice gemetar seketika. Pasti rentenir-rentenir itu datang pagi buta untuk menagih utang padanya lagi.

My Virginity (Putri Yang Tertukar) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang