Part 23

11.8K 508 86
                                    

Satu bulan ini, keadaan ibu Alice mengalami perkembangan yang cukup signifikan. Bu Santi bahkan sudah bisa makan dengan baik. Ia sangat berterimakasih pada keluarga Sandjaya yang mengurus Alice ketika ia koma. Kata Alice, utang-utang mereka juga lunas karena di bantu keluarga Sandjaya, namun Alice melarang ibunya membahas itu di hadapan papa dan mamanya.

Alice juga kerap menginap di rumah sakit untuk menghindari Alan. Ia juga masih bekerja meski interaksinya dan Alan sangat dingin setelah kejadian malam itu. Apakah Alan masih tidur dengannya, jawabannya adalah iya. Alan masih memaksa untuk tidur dengan Alice saat mereka di kantor.

Alice hanya diam dan tidak pernah membalas gerakan Alan. Terkadang pria itu memaki dan melakukan kekerasan seksual pada Alice saat Alice bersikap dingin di atas ranjang. Tapi, Alice sebisa mungkin menahan semua itu agar tidak membuat Alan curiga.

Sejujurnya, Alice benar-benar tidak tahan dengan Alan sekarang. Sejak malam di mana Alan mengancamnya, lelaki itu berubah menjadi sangat kasar pada Alice. Ketika mereka bercinta, Alan kerap mengeluarkan cacian dan makian yang menyakiti hati Alice. Alice sangat sakit hati. Dan untuk itu, Alice sudah memikirkan cara agar bisa segera pergi sejauh mungkin dari Alan.

"Sayang, kau melamun." Alice tersadar dari lamunannya saat sang mama menepuk pundaknya. Mereka ada di pusat perbelanjaan karena Mama Elma meminta untuk menemaninya belanja. Alice hanya menurut karena mamanya yang meminta ijin pada Alan agar Alice libur sehari. Mau tidak mau Alan mengijinkan meski terlihat keberatan.

"Mama udah selesai?"

"Udah. Ayo, kita makan siang. Mama ada janji sama Maudy buat makan siang bareng."

Alice mengangguk, meski enggan untuk bertemu Maudy yang selalu menatap sinis padanya, ia tetap menurut. Ia tidak mau membuat mamanya curiga bahwa hubungannya dengan Maudy kurang baik.

Sesampainya di restoran, mamanya sangat bahagia ketika bertemu Maudy. Tunangan kak Alan itu sangat berbeda sikapnya pada Alice ketika ada orang lain. Ketika tidak ada orang, Maudy akan bersikap sinis dan tak acuh padanya, bahkan kerap juga menyindirnya.

"Sayang, mama mau ke toilet dulu. Kalian teruskan dulu makannya."

"Iya, Ma." Jawab Alice sambil meminum jus jeruknya.

Setelah sang mama tidak ada, tatapan Maudy pada Alice berubah seketika. Alice yang menyadari itu memilih tidak peduli, berusaha mengabaikan Maudy yang duduk di hadapannya. Dan, wanita itu terlihat sangat kesal karena merasa tidak dianggap.

"Alice, kuperingatkan padamu, jaga jarak dengan calon tunanganku. Kau bukan adiknya, kau hanya karyawannya. Jadi, jangan mentang-mentang keluarga Sandjaya menyayangimu, kau jadi merasa menjadi salah satu dari mereka. Kau hanya gadis miskin yang di kasihani oleh mereka."

Alice mengembuskan napas berat, menatap Maudy yang saat ini menatapnya tajam. Selalu kata-kata itu yang ditekankan Maudy setiap berdekatan dengannya. Alice sangat muak. 

Mereka saling bertatapan dingin hingga Alice memutuskan kembali makan tanpa menghiraukan Maudy yang saat ini menatapnya berang.

"Kau tuli?" Tanyanya geram.

"Tidak. Aku hanya tidak ingin mengurusi orang repot sepertimu. Repot apa? Kau repot mengejar kak Alan yang sama sekali tidak tertarik padamu. Kau terus mengekorinya meski ia selalu mengibaskanmu. Apa kau tidak malu?"

Mendengar perkataan Alice, Maudy berang seketika. Ia memegang gelas jusnya erat-erat, hendak menyiramkannya pada Alice. Namun, sebelum itu terjadi, Elma sudah keluar dari toilet dan menghampiri mereka.

"Maaf tadi lama. Toilet sedikit antri."

"Nggak apa-apa, Tante.

"Ayo, kita makan lagi. Kita nikmati makannya."

Maudy langsung mengubah raut wajahnya menjadi ramah saat Elma datang. Wanita rubah itu langsung berubah baik pada Alice saat ada Elma. Alice tidak habis pikir, dari mana mama Elma mendapatkan wanita rubah seperti Maudy. Alice yakin, mama Elma tidak akan mau menerima Maudy sebagai menantunya jika tahu watak wanita itu yang sebenarnya.

**
Arga sedikit heran saat sekretarisnya memberi tahu ada seseorang yang mencarinya. Seorang gadis muda bernama Alice. Tentu saja Arga langsung menyuruh sekretarisnya untuk mengantarkan Alice ke ruangannya. Tidak biasanya Alice datang ke kantornya, dan, pasti ada urusan penting yang membuat putri angkatnya itu sampai datang kemari.

Beberapa menit kemudian, Alice masuk setelah di antarkan sekretaris papanya. Ia tertegun menatap betapa besarnya ruangan kerja papa Arga, bahkan lebih besar dari pada ruangan kak Alan tempatnya bekerja.

"Sayang, selamat datang di kantor papa. Duduklah."

Arga memeluk Alice kemudian menuntun putri angkatnya itu agar  duduk di sofa. Alice duduk sembari memperhatikan ruang kerja sang papa. Dulu, sepuluh tahun yang lalu, Alice pernah datang kemari dan ruang kerja papa Arga belum sebesar ini.

"Ruangan papa jadi besar banget."

"Sudah sepuluh tahun sayang. Sudah banyak perubahan."

Alice mengangguk, kemudian tersenyum ketika papa Arga mengusap rambutnya. Pria itu menatap Alice iba. Ia sudah menyelidiki apa yang terjadi pada keluarga Alice. Dan, hati Arga seperti ditikam pisau saat mengetahui Alice dikejar-kejar dan hampir saja dijadikan pelacur oleh para debt collector.

Tapi, anak buah Arga tidak melaporkan sepenuhnya karena takut terjadi pertikaian jika tahu Alice pernah menjual diri dan Alan yang sudah membelinya. Menurutnya, informasi itu tidak begitu penting dan bisa menimbulkan perselisihan.

"Kamu tumben datang kemari? Ada apa? Kamu bisa ngomong bebas sama papa disini."

"Pa, eeehm, gini, Pa. Alice, Alice pengen ngomong sama Papa. Tapi, Alice mohon, ini antara Alice sama Papa aja. Jangan sampai yang lain tahu."

"Bicaralah. Papa jamin, papa bisa jaga rahasia kamu. Sejak dulu, papa tempat teraman kamu buat curhat kan?" Alice mengangguk, kemudian menyengir manja ke arah papanya yang kini kembali mengusap rambutnya.

"Pa, papa bisa bantu Alice pergi dari Indonesia. Maksud Alice, Alice pengen membuka lembaran baru di sana. Dimanapun itu, sama ibu saja. Dengan bantuan Papa, Alice nggak pengen ada yang tahu selain Papa kalau Alice ke luar negeri. Alice bakal pamit sama Mama kalau Alice akan ke kampung halaman ibu di Malang."

Arga sedikit terkejut mendengar permintaan Alice. Apa terjadi sesuatu lagi yang tidak ia ketahui?

"Kamu nggak pengen menjelaskan alasannya sama papa?"

"Untuk sekarang Alice belum bisa, Pa. Alice cuma nggak mau ada yang tahu keberadaan Alice. Dan Alice yakin, cuma Papa yang bisa melakukannya."

"Tentu saja papa bisa. Untuk anak perempuan papa, apa yang nggak bisa papa lakukan, nggak ada. Papa bisa melakukan apa saja asal kamu bahagia."

"Makasih Papa."

Alice langsung memeluk Arga dari samping. Ia meneteskan air matanya. Sejak dulu, papanya adalah teman bercerita yang paling baik. Selalu mengerti kegelisahannya tanpa bertanya.

Alice harap, dengan bantuan papanya, ia bisa memulai hidup baru di luar sana. Ia juga berharap, suatu saat ketika bertemu Alan kembali, ia sudah menemukan pria yang mau menerima dirinya apa adanya, hingga Alan tidak akan berani menyakitinya lagi.

**

Lima bulan kemudian

Alice tersenyum kecut ketika melihat akun media sosial milik Keyra. Di sana, terpampang foto pertunangan mewah Alan yang di selenggarakan tadi malam. Rupanya pria itu menunda pertunangannya hingga berbulan-bulan.

Jika di tanya apakah Alice merindukan mereka, ya, Alice sangat merindukan mereka semua. Tapi, mengingat semua perlakuan Alan padanya, rasa rindu ia tekan jauh-jauh. Alice belum siap bertemu Alan lagi. Alice takut.

"Alice, sayang, sarapannya sudah siap!!"

"Iya, Bu. Sebentar lagi."

Alice segera mematikan ponselnya mendengar panggilan ibunya. Ia segera berdiri dari kursi taman dan masuk ke dalam rumah dengan sedikit kesusahan karena perut besarnya.

My Virginity (Putri Yang Tertukar) TAMAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang