Suasana di rumah keluarga Sandjaya tampak sangat hangat pagi ini. Meskipun sehari-harinya juga hangat, namun, kehadiran Maudy, calon menantu mereka membuat suasana semakin hangat. Elma, ibu Alan, sangat bahagia karena akhirnya sang putra setuju bertunangan dengan Maudy, menantu idamannya.
Selain dari keluarga terpandang, Maudy juga sangat baik. Ibu Alan sangat menyukainya. Dan juga, usia Alan sudah 30 tahun, mau menunggu apa lagi. Elma tidak mau putra tampannya menjadi perjaka tua. Apa kata teman-temannya nanti. Untunglah, meskipun harus bersusah payah meyakinkan Alan, akhirnya putra sulungnya itu setuju untuk bertunangan dengan Maudy.
Seluruh keluarga Sandjaya sudah berkumpul di meja makan kecuali Alan. Entah kenapa pagi ini Alan terlambat bangun, padahal biasanya tidak seperti itu. Alan paling rajin di antara kedua adiknya. Tapi, ketika Maudy ikut sarapan, kenapa malah bangun kesiangan.
"Arman, kenapa kakakmu belum bangun? Kok tumben kesiangan?" Tanya Elma pada Arman, putra bungsunya. Ia merasa tidak enak pada Maudy karena Alan seperti tidak mengacuhkan tunangannya sendiri.
"Mungkin Kak Alan kelelahan, Tante." Sahut Maudy kalem. Ia tahu Alan selama ini menolaknya, maka dari itu ia harus bersikap sebaik mungkin agar keluarga Alan menerimanya.
"Tapi, nggak biasanya lo Alan telat gini. Arman, panggil kakak kamu sana."
"Tunggu sebentar lagi, Ma. Kak Alan nggak suka kalau di paksa-paksa gitu. Nunggu dia turun sendiri aja. Kita makan duluan."
"Arman bener. Kita tunggu sebentar. Kalau kita makan duluanpun, Alan juga pasti nggak akan marah kok." Arga menengahi perdebatan ibu dan anak itu. Istrinya memang tipe perfeksionis, selalu ingin sesuatu berjalan sempurna. Mungkin Elma lupa, tidak ada yang sempurna di dunia ini.
Beberapa menit kemudian, Alan turun dengan pakaian kerja yang sudah rapi. Rambutnya sedikit di biarkan acak-acakan, namun begitu, Alan tetap masih sangat mempesona. Maudy harus menyembunyikan kekagumannya pada Alan agar tidak terlihat berlebihan. Ia sangat memuja Alan, namun bisa dengan baik menutupinya.
"Alan, kenapa kamu bangun sesiang ini, bukankah mama sudah bilang tadi malam kalau Maudy mau ikut sarapan sama kita. Mama pikir kamu bakal bangun pagi buat nyambut Maudy. Eh, malah bangun kesiangan."
"Tadi malem lembur, Ma. Aku kecapekan." Sahut Alan datar. Raut wajahnya putranya itu dingin dan datar, seperti biasanya. Sejak kepergian Alice, Alan memang berubah drastis.
"Kamu jangan terlalu berlebihan kerjanya. Kasihan kan Maudy, jadi jarang kamu perhatikan. Apalagi hari pertunangan kalian semakin dekat, seharusnya kamu bantu Maudy siap-siap, bukan kerja terus menerus kayak gitu."
"Nggak apa-apa kok Tante. Lagi pula, Alan juga bekerja keras demi masa depan kami nanti. Jadi, urusan pertunangan, biar Maudy saja yang urus."
"Ya nggak bisa gitu dong, Sayang. Alan itu memang keterlaluan kerjanya. Tante nggak mau nanti kalau kalian nikah kamu malah nggak keurus. Mulai saat ini, kamu Alan, harus lebih perhatian sama Maudy." Elma berucap tegas. Membuat Arga dan Arman menghembuskan napas berat. Sudah jadi rahasia umum jika Alan memang tidak menginginkan Maudy. Tapi, karena desakan sang ibu yang entah terkena pelet apa, Alan menyetujui rencana pertunangan ini.
Alan mengangguk, namun tidak mengatakan apapun. Membuat Elma semakin kesal. Meskipun sekarang menurut, Alan benar-benar tidak bisa sedikit saja memperhatikan Maudy. Terlihat sekali sangat mengacuhkan calon tunangannya. Elma jadi kesal sendiri, tidak enak hati pada Maudy.
"Oh ya Key, hari ini kamu berangkat jam berapa ke rumah sakit?" Elma mengalihkan tatapannya pada putrinya satu-satunya. Keyra sedari tadi hanya terdiam. Entah kenapa, selama sepuluh tahun ini, Keyra sangat sulit menyatu dengan kedua saudaranya. Keyra hanya akrab dengannya saja.
"Setelah sarapan, Ma. Pasien aku lumayan banyak hari ini." Jawab Keyra sambil tersenyum menatap ibunya. Elma mengelus rambut putrinya. Sangat bangga dengan Keyra yang cantik dan pintar, bahkan sukses sebagai dokter. Tahun depan Keyra akan mengambil spesialis.
"Kamu nggak pengen papa bikinin rumah sakit sendiri? Dari pada kerja di rumah sakit lain." Tawar Arga pada putrinya. Meski ia kurang akrab dengan Keyra, Arga sangat menyayangi putri tunggalnya itu. Mungkin ia terlalu terbiasa dengan Alice yang manja, jadi agak asing dengan sifat Keyra yang mandiri.
"Nggak dulu deh, Pa. Keyra mau konsen ngambil spesialis dulu. Kalau terburu-buru, takutnya malah nggak bisa konsen."
Arga mengangguk, menghargai keputusan putrinya. Keyra memang sosok yang sangat mandiri. Tidak terlalu tergantung padanya atau kedua saudaranya. Sangat berbeda dengan Alice dulu yang sangat manja. Ngomong-ngomong soal Alice, sebenarnya Arga sangat merindukan gadis itu, tapi entah sekarang Alice berada di mana. Semoga gadis itu baik-baik saja sekarang.
"Oh ya, Key, kamu ngambil spesialis di luar negeri atau di sini?" Di Singapure kata papa bagus banget lo." Ucap Maudy dengan ramah. Berusaha mendekati adik perempuan Alan yang super dingin itu.
"Di sini aja, Kak. Aku nggak terbiasa jauh-jauh dari rumah."
Maudy mengangguk. Merekapun mulai sarapan dengan sesekali Maudy berbincang dengan semua orang, kecuali Alan. Entah kenapa Alan sedari tadi tidak berminat bergabung dengan obrolan mereka. Meskipun, Maudy terlihat sangat keukeh menyesuaikan diri dengan keluarganya. Elma sangat kesal melihatnya, namun tidak mengatakan apapun. Ia takut Alan berubah pikiran dan membatalkan rencana pertunangannya dengan Maudy.
"Ma, Pa, semuanya, aku berangkat dulu. Takut nanti macet di jalan. Daniel sepertinya juga sudah menunggu dari tadi."
Keyra menyalami kedua orang tuanya, kemudian pamit pada Alan, Arman dan juga Maudy. Jadwalnya lumayan padat hari ini dan Keyra tidak mau terlambat bekerja. Meskipun rumah sakit tempatnya bekerja adalah milik kekasihnya, Keyra tidak mau semena-mena karena hubungan mereka.
Keyra berjalan menuju halaman rumah dimana mobilnya berada. Disana, tampak Daniel, sopir yang di tugasi sang ayah untuk mengawalnya sudah terlihat menunggu di samping mobil. Pemuda yang lebih tua tiga tahun dari Keyra itu dengan sigap membukakan pintu mobil untuk Keyra, kemudian iapun segera masuk ke dalam kursi kemudi.
"Langsung ke rumah sakit, Nona?" Tanya Daniel sambil menatap Keyra dari kaca mobil.
"Iya, langsung saja. Pasienku banyak. Aku takut terkena macet." Daniel mengangguk, kemudian melajukan kuda besi itu meninggalkan halaman rumah mewah keluarga Sandjaya.
Di dalam mobil, Keyra membuka jendela kaca dan menatap langit yang hari ini tampak membiru. Mengingatkan kejadian dulu, kedua orang yang pernah ia panggil ayah dan ibu. Jujur saja, Keyra merasa kurang nyaman selama sepuluh tahun ini tinggal di keluarga Sandjaya.
Alan sangat dingin semenjak kedatangannya. Sedangkan ayahnya dan Arman, meskipun sudah menerimanya, interaksi mereka juga tidak terlalu akrab. Hanya ibunya yang merentangkan kedua tangannya, menerima Keyra sepenuh hati.
Terkadang Keyra merindukan kehidupannya yang dulu. Meskipun penuh kesederhanaan, mereka bertiga sangat bahagia. Dulu, Keyra mungkin mengeluh dengan ekonomi ayah dan ibunya yang pas-pasan, ternyata, ketika ia benar-benar seorang putri keluarga kaya raya, kebahagiaan itu tidak bisa ia rasakan lagi.
Terkadang Keyra ragu apa benar ia saudara Alan dan Arman, mengingat mereka tidak terlalu akrab, keduanya juga tidak terlalu menyambut baik kedatangannya. Namun, ketika menatap kemiripan wajah mereka bertiga, keraguan Keyra pupus seketika.
Keyra terus melamun sepanjang perjalanan ke rumah sakit. Ia tidak sadar, sedari tadi sang sopir memperhatikannya intens dari kaca mobilnya. Tatapan aneh yang tidak pernah di sadari Keyra. Dan sesampainya di rumah sakit, tatapan asing itu lenyap, berganti tatapan hormat seperti sopir pada umumnya pada majikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Virginity (Putri Yang Tertukar) TAMAT
RomanceBest seller 21+ Alice tidak menyangka jika hidupnya akan berakhir menyedihkan di tempat pelelangan keperawanan seperti sekarang. Karena ayahnya tertipu dan uang tabungan sang ayah dibawa lari oleh temannya, mereka sekeluarga jadi terlilit utang yan...