Tiga bulan sebelum Triple Kojungsi Bulan, Mars, Aldebaran.
Tinggal tiga bulan lagi kontrak kosku selama satu tahun habis. Dan aku masih statis. Sama seperti kemarin, dulu, enam bulan yang lalu. Status sebagai pengangguran yang sukses masih tersandang di belakang gelar ahli madya.
Mungkin kalian pikir mengapa aku tidak pulang kampung saja? Di sana siapa tahu banyak lowongan pekerjaan. Atau bantu orangtua? Dan jawabanku tidak mungkin. Pikiranku masih keracunan image bahwa kota ini akan memberiku pekerjaan. Meski kenyataannya aku selalu tereliminasi, pulang dengan travel bag kosong.
Bantu orangtua? Seperti yang sudah aku bilang, orangtuaku di desa pasti akan mengusirku agar beroleh pekerjaan kantoran. Mengenakan pakaian resmi, blazer, agar terlihat elit sesuai gelar yang kusandang.
Siang hari nan panas. Paling enak tidur atau rebahan di kamar sambil mendengarkan musik. Tak lupa cemilan ringan yang bisa menambah kandungan lemak. Sayangnya aku tak sedang menikmati itu. Aku sedang berjalan di tengah terik matahari menantang sang penguasa siang. Aku menantangnya bukan karena aku sok putih lalu berjemur. Tuntutan perut laparlah yang memaksa tubuh terbiar semakin melegam.
Cari makan di warung. Ingin menitip teman kos, mereka sudah beli langsung sepulang kuliah. Teman kos yang tidak berangkat kuliah, pacar datang sambil bawa makan siang. Nasib seorang jomlo.
Jarak warung makan favoritku dengan kos kurang lebih lima ratus meter. Masakan Warung Makan Bu Ijah itu sangat cocok sekali dengan seleraku, asin dan pedas. Rumah Makan Indonesia, Pizza Hot, McD or etc, tidak ada apa-apanya. Warung Makan Bu Ijah tetap is the best. Lezat dan mengenyangkan. Restoran mewah, jelas enak, tapi belum tentu kenyang dan ditanggung esok lusa langsung puasa seterusnya.
Eh, kasihan. Satu pemandangan telah mencabuk hati untuk menolongnya.
"Pak, ayo Pak!" kataku seraya memberi semangat membantu mendorong gerobak sampah seorang Bapak yang jalan di depan. Jalanan memang agak menanjak, dengan tubuhnya yang sudah mulai uzur tentu saja keberatan.
"Tidak usah, Mbak!" tolaknya.
"Santai Pak, sudah biasa." sahutku nyengir.
"Nanti bau dan kotor." katanya lagi.
"Sebentar lagi. Nah, sudah sampai tempat datar." kataku sambil menepuk-nepuk tanganku yang kotor.
"Tuh, kan jadi kotor! Tapi makasih, Mbak." kata Bapak tua itu. Aku mengangguk, dalam hati berkata, inilah hidup La, berat penuh perjuangan. Ayo jangan banyak mengeluh! Terus berjuang seperti Bapak tadi. "Yes!" tanpa sadar aku mengepalkan tangan kananku, memompa semangat diri sambil terus menguntit sepeda gerobak sampahnya.
Eh lho! Aku mau kemana ini? Aku celingukan kanan-kiri. Kenapa jadi terlena. Warung Makan Bu Ijah sudah terlewat beberapa meter, tiga rumah rentangnya. Aku langsung berbalik arah, tanpa pedulikan pandangan orang sekitar yang mungkin heran dengan ulahku yang bolak-balik seperti orang linglung.
"Bungkus atau makan sini?" tanya Bu Ijah yang tahu kebiasaanku tidak bisa ditebak. Kadang makan di tempat, kadang dibungkus. Pokoknya tergantung mood.
"Makan di sini, Bu."
"Sayurnya?"
"Lodeh, sama kering tempe." si Ibu dengan terampil menyendokkan sayur yang kupesan. Untuk lauknya aku ambil bakwan jagung.
Aku lirik kanan, lirik kiri mencari posisi strategis buat makan. Tentu saja tidak lupa cuci tangan. Biasanya aku lebih suka tempat yang bisa langsung melihat keluar. Nah, ketemu. Harus cepetan nih! Oke, kursi berhasil kududuki.
![](https://img.wattpad.com/cover/330415949-288-k182727.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Vagabond Trash
RomansaPada suatu malam triple konjungsi Mars, bulan dan bintang Aldebaran menghiasi langit. Shaula sempat berharap bintang yang bersinar paling terang itu akan jatuh dan berubah menjadi satu sosok pria yang tampan, sebagaimana namanya yang terdengar rupaw...