Ketika Banteng dan Kalajengking Bertemu Kembali

28 8 0
                                    

Mataku segera memicing memandang pria yang tadi mengataiku kalajengking. Keinginan untuk duduk di kursi berkaki tiga tanpa sandaran sambil menungguinya mendadak hilang. Seolah ingin menunjukkan diri, memangnya ada bagian tubuhku yang menyerupai kalajengking? Sembarangan nih, orang! Rutukku sudah mengerucutkan mulut. Sudah ditolong bukannya berterima kasih malah memanggil orang dengan sembarangan.

"Kamu yang bilang sendiri kalau arti namamu kalajengking." balasnya lalu terdengar mengerang ketika menggerakkan lengan bagian kanan.

Ingatan dua bulan lalu melintas. Tepatnya pada satu kejadian saat aku mengenalkan diri sebagai Shaula yang berarti kalajengking pada pria yang baru saja kutolong di tempat sampah. Seketika aku menjadi menyesal karena telah menyebutkan arti dari namaku itu. Perkenalan yang kuanggap menyenangkan dan lucu waktu itu, hari ini terasa menggusarkan hati.

"Alde?" tunjukku ke mukanya. Satu hal mengenai pria bernama Alde itu, kenapa aku mengingatnya, tentu karena namanya sama dengan si mata Taurus, Aldebaran. Juga kondisinya yang sama seperti waktu itu. Meski kali ini lebih terlihat parah. Bahkan bisa jadi ada dislokasi pada tulang lengannya.

Pria itu mengangguk. "Benar, kamu kalajengking?" ucapnya memastikan. "Oh maaf, aku lupa nama asli kamu."

"Makanya jangan suka dipukuli orang biar otak tidak gegar." balasku yang cukup heran kenapa pria ini punya hobi berkelahi tapi mengalami kekalahan. Senyum geli tak lupa kutampilkan. Mungkin sedikit mengandung makna mengejek.

"Soal itu, siapa sih, yang mau babak belur begini." tanggap Alde. "Aku hanya mau menuntut hakku. Apa ada yang salah dengan itu?"

"Hak apa? Sampai rela dihajar dan dibuang seperti itu?" aku sungguh penasaran hal apa yang sebegitu berharganya sampai dia rela menghancurkan wajahnya seperti itu. Itu pasti belum termasuk ngilu di sekujur tubuhnya.

"Kamu nggak perlu tahu. Memangnya kamu siapa?" Alde lalu menatap langit-langit ruang IGD.

Wah, dapat penolakan lagi. Entah mengapa mendengar ucapannya tadi, aku merasa tertolak. Meski bukan penembakan calon kekasih, tetap itu cukup mencubit hati. Terus terang aku jadi malu sendiri. Sebegitu burukkah ingin mengetahui suatu keadaan orang lain? Aku hanya berpikir, kesahnya yang keluar bisa meringankan bebannya.

"Aku menunggu di luar, ya." pamitku kemudian.

"Tunggu!" panggil Alde tepat sebelum aku balik badan.

"Ada apa?" tanyaku. "Kamu butuh sesuatu?"

"Aku mau minum?" ucapnya sambil menelan ludah.

Melihatnya terlihat sangat kering, aku menyadari satu hal. Pasti Aldebaran sedang kehausan sekarang. Melihat botol minuman, yang sepertinya Pak Talim beli saat aku menghadapi petugas pendaftaran, tampak tergeletak di ujung kaki Alde baru terminum seperempatnya.

Aku meraih botol air mineral ukuran sedang lalu menyodorkan pada Alde. Pria itu meminumnya dengan buas. Sampai ada aliran air yang menetes hingga ke dagu dan lehernya.

"Terima kasih," kata Alde sembari menyodorkan botol minuman yang kosong sampai tetes terakhir.

"Untung aku menemukanmu, kalau enggak." aku urung melanjutkan kata-kataku yang sudah pasti akan terdengar menyalahi takdir.

"Jadi kamu yang tadi menendangku sebelum berlari sambil menjerit?" tuding Alde yang aneh tapi nyata mengingat kejadian diantara kondisi setengah sadarnya.

Wajahku rasanya sudah pasi. Aku bisa jadi tersangka terakhir yang terduga membunuhnya bila memang kasus ini menjadi kasus pembunuhan. Orang terakhir yang terlihat bersama korban.

"Ehm, itu... apakah aku menjerit?" spontan aku menutup mulut. Kenapa aku malah bertanya tentang kejadian yang seharusnya kuelak.

Alde tersenyum ganjil. Mulutnya yang jontor sama sekali tidak bisa menampilkan senyum yang sesungguhnya. Lebih mirip orang sedang meringis kesakitan.

Vagabond TrashTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang