D U A ; Menantu Idaman

177 26 1
                                    

Kalau Romeo punya Juliet, maka Zee punya Nunew. Mutlak, tidak boleh dibantah. Bahakan Mama Zee serta Bunda Nunew tak diperkenankan melanggarnya.

Ingatan Zee melalang buna, berkelana menuju lima tahun silam. Saat netranya tak lagi bisa beradu pandang bersama milik Nunew. Hari-hari itu ia jalanin dengan penuh kekosongan, tak ada senyuman semanis nasi goreng buatan Mama. Dahulu, setiap pagi, ia akan membelah jalan kota, bermodal tekat, serta asa kuat. Mengetukkan punggung kepalan tangan pada permukaan pintu, setelahnya pil pahit menjadi hidangan penutup, sebab Nunew tak kunjung pulang.

"Nunew-Nya ada Bun?"

"Belum pulang, Nak. Zee kalau rindu Nunew, tunggu sebentar lagi ya?"

Keesokkan paginya sama. Bunda akan berpesan untuk menunggu, sampai dirinya terkadang jengah, berakhir menangis bersama rintikan hujan. Puncaknya adalah awal bulan Januari 2023, tanpa sengaja di tengah kerumunan cafe netra teduhnya beradu pandang dengan sosok amat ia cinta sepenuh jiwa raga— Nunew.

Hembus nafas bersatu padu dengan anala malam, di atas motor vespa keluaran dua ribu tujuh belas tangan yang mendekap diri dari balik tubuhnya, ia genggam begitu erat seakan esok tak lagi berjumpa.

"Aa nggak apa-apa? Kalau semisal sakit, menepi dulu aja. Atau mau gantian berkendarannya sama aku? Tangan kamu juga meni dingin pisan Aa."

"Terima kasih."

Kening Nunew berkerut, kedua alisnya hampir menyatu padu. "Aneh kamu Aa, aku tanya apa malah jawab apa."

"Aku nggak apa-apa, Nu. Hanya sedang mengingat kamu."

"Kenapa harus diingat? Lewat kaca spion juga bisa terlihat wajah aku."

"Kamu mah meni ente bisa diajak romantis pisan."

"Ya habis, kamu ini kenapa? Aku tanyanya apa, jawabnya malah apa," omelnya. "Kalau seandainya ada yang menganjal, cerita aja."

"Aku rasa ada yang ganjal dihati," ujarnya, dengan raut dramatis yang dapat Nunew tangkap dari pantulan spion. "Rasanya seperti sangat menyiksa."

"Apa itu?"

"Semua tentang kamu."

Nunew memukul bahu Zee, kedua pipi pemuda telah bersemu layaknya warna mawar di pinggir trotoar, walau sambil mengerucutkan bibir sebab kesal.

"Semisal aku lagi nggak berkendara, udah aku comot bibirnya."

"Jangan main-main! Aku bisa aduin kamu ke Mama kapan aja."

"Kamu nggak asik, kalau kata anak zaman sekarang kolot. Masa main adu-aduan ke Mama."

Dialog kian berkelana, sesekali guyonan tak begitu jenaka mengibarkan tawa tak berkesudah. Malam yang mendingin, tak membuat kedua anak adam jengah, kemudian menepi hanya sekedar mencari hangat. Keduanya semakin melalang buana, membelah kebisingan jalan kota, sambil menunggu waktu memonopoli.

"Yah, udah sampai aja kita di rumah kamu. Padahal aku masih mau jalan-jalan keliling Bandung, sambil puja-puji kamu," ujar Zee, sembari mengulurkan tangan. Guna membantu sang tambatan hati untuk turun.

Nunew tautkan tangan miliknya bersama milik Zee, setelahnya ia bangkit hanya untuk sekedar memijak permukaan tanah merah dekat perkebunan rumah Ayah dan Bunda, lebih tepatnya perkebunan Bunda. Sebab wanita cantik jelita tak termakan usia itu, begitu mendamba-dambakan keindahan tanaman. Mungkin kalau ditanya mengenai 'anak kesayangan' Bunda akan berseru begitu lantang 'tanaman hias di depan pekarangan rumah'

Bandung [ZEENUNEW] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang