L I M A ; Menjelang Malam

122 25 4
                                    

Langit semakin kelabu, gumpalan awan menutup akses rembulan serta bintang untuk bercahaya. Rintik-rintik terjatuh menghantam bumi pasundan, anila pun berembus ke sana kemari sembari membawa dedaunan yang terhempas dari rumah mereka.

"Yah, hujan. Aku nggak bisa pulang," atensi Nunew, mengarah pada tingkap tak tertutup. Memperhatikan rintik yang terjun semakin deras.

Zee ikut memperhatikan arah atensi sang kekasih, kemudian ia berseru, "kamu tenang aja, aku antar kamu pakai mobil Papah kalau mau pulang."

"Nggak perlu, aku masih bisa pesan taxi."

"Loh? Kenapa harus pesan, kalau masih ada pacar."

Netra teduh, layaknya langit bumi pasundan saat ini mendelik tajam. Decak melewati belah bibir pemuda manis. "Kamu lupa aku masih marah sama kamu?" tanyanya, dengan nada begitu sengit.

"Aku sudah minta maaf, juga dijewer sama Mama. Kenapa belum kamu maafkan juga?" Zee menegakkan tubuhnya, kedua lengan miliknya terulur. Kemudian bersinggah pada lengan atas si manis. "Kalau masih marah, kamu bisa pukul aku."

"Biar Mama yang pukul dia, Nu," dari arah dapur, Mama berseru. Membawa nampan berisikan camilan serta sirup yang tadi telah Nunew cicip.

"Nggak! Kalau Mama yang pukul, pasti lama dan... sakit," ujar Zee, memelankan kata 'sakit'

Pemuda tak berdusta saat berkata pukulan Mama sakit. Sewaktu membawa kabar Nat jatuh dari motor akibat kelalaiannya, Mama begitu marah, setelahnya mengamuk memukuli Zee sampai biru-biru. Kalau saja Zee jahat, sudah ia laporkan si Mama ke komnas HAZ, hak asasi zee.

"Makanya jangan berular terus, Aa. Lama-lama Mama bisa buang kamu ke sungai."

"Jangan, Ma. Nanti Nunew sama siapa?"

Tawa mengisi tiap sudur ruang tamu. Rumah Zee memang cukup, tidak, melainkan sangat besar. Namun, kehangatan acap kali membalut keluarga ini. Tak jarang, Nunew disugguhkan keharmonisan yang amat ia rindukan.

"Kak Zee, Mama, Nat pulang," sosok mungil, berlari ke arah mereka. Natahan Pruk, namanya. "Kak Nu, dari kapan di sini? Aku kangen banget tau, nggak ada yang bisa aku ajak curhat soal cowokku."

"Heh! Masih kecil, sudah cowok-cowok. Pipis saja belum becus, masih mencong kanan-kiri," kini Mama menanggukkan kepala, bertanda kalau ia setuju dengan apa yang dibicarakan Zee.

"Harusnya kamu memikirkan pelajaran, masa depan, kesukaan kamu," ujar Mama, sambil menyesap sirup dalam wadah beling di baluttan tangannya.

"Tuh, pada nggak paham. Memang Kak Nu doang yang paham hati Nat," bocah mungil itu, beralih memeluk Nunew. "Mereka jahat, selalu bilang pipis Nat belum becus, padahal merek nggak lihat waktu Nat pipis gimana."

Nunew menepuk lembut bahu sempit Nat. "Tadi kamu pulangnya sama siapa? Sama cowok kemarin, bukan?" tanya Nunew, masih dengan memberikan tepukan diiringi usapan.

Kepala Nat menoleh ke arahnya, setelah itu senyum berseri-seri menghiasi wajah manisnya. "Iya, tadi juga dia beliin aku banyak makanan. Terus, aku diajak keliling Bandung pakai mobil kerennya."

"Senang hari ini?" tanya Nunew, membelai penuh sayang jutaan surai legam milik Nat.

"Banget. Rasanya aku kaya kembali muda—"

"Heh, bebegig. Kamu tuh emang umur berapa sih? Sampai bilang 'kembali muda' karena diantar dia naik mobil," Zee menyela ucapan Nat, memasukan kue kering buatan Mama ke dalam rongga mulutnya.

"Sudah-sudah, Mama mau ke kamar dulu. Awas jangan berantem," peringat Mama, setelahnya Beliau menghilang dibalik permukaan pintu.

"Hayo, si Mama marah sama kamu," Zee dengan jahil, menakut-nakuti Nat. Membuat manik si mungil berkaca-kaca.

"MAMA," teriak Nat, begitu menggelegar mengisi tiap sudut ruang.

➖➖➖

"Kamu mau aku antar pakai mobil juga nggak?"

Saat ini, Zee beserta Nunew tengah menikmati waktu berdua di kamar Zee. Lebih tepatnya, Zee memaksa Nunew. Berakhir menggendong pemuda menuju kamarnya.

Kepala dengan surai legam, ia singgahkan di kedua paha Nunew. Menikmati perlakuan Nunew yang tengah menyisir surainya, sesekali jemarinya membuat pola abstrak pada kening Zee.

Pemuda manis tampak berpikir, setelahnya ia alungkan tawa begitu menghangatkan hati, "kalau naik mobil nggak enak," disela tawa, ia menjawab pertanyaan Zee.

"Kenapa kamu bisa bilang nggak enak?" tanya Zee, membalikkan tubuhnya hingga menjadi tengkurap.

"Karena, kalau di mobil aku nggak bisa peluk kamu," jemari Nunew terulur, membubuhkan beberapa sentuhan pada hidung bangir Zee.

Ruang bernuansa hitam dengan goresan emas di tiap sudutnya mendadak hening seketika. Zee geming, panas menjalar di kedua pipinya. Padahal saat ini hembusan anila tengah melalang buana, sebab hujan semakin deras mengguyur bumi pasundan.

"Kamu kaya anak gadis lagi jatuh cinta," ejek Nunew, sembari menyentuh telinga Zee yang kemerahan.

Zee merenggut tak suka, menengadahkan wajahnya, menarik pergelangan tangan Nunew, hanya untuk dirinya hadiahkan gigitan. Setelahnya ringis tersuarakan dari belah bibir Nunew, liur Zee membalut sempurna jemari telunjuknya.

"Kebiasaan!" seru Nunew, membersihkan jemarinya pada kaus hitam Zee.

"Kamu mau dengar puisi buatan aku nggak?" Zee mengalihkan perbincangan malam itu. Tubuhnya telah terduduk, sembari netranya melirik ke sana kemari. "Mana ya buku coklat aku, si Mama pasti pindahin nih."

"Padahal aku belum jawab mau atau nggak," gumam Nunew.

Dua bola mata legam senada dengan surai milik Zee melirik, "kamu betul nggak ingin dengan?" tanyanya.

Nunew melongo sesaat, setelahnya ia tersenyum, "aku akan dengar."

"Malam— jangan melihatku seperti itu, aku grogi," untaian kalimat yang telah Zee rangkai, tiba-tiba saja sirnah kala obsidian Nunew mengarah padanya. 

"Lalu aku harus bagaimana?" tanya Nunew, menaikan alis kirinya. "Baiklah aku akan memejamkan mata."

Saat kedua obsidian milik Nunew melekat sempurna, Zee berdeham guna menetralisir degub jantungnya.

"Malam temeram, dihiasi hujan... Sosok bak bidadara menatapku, dengan netra seindah rembulan kala malam— aku nggak jadi deh."

Netra jelita dari sosok tak kalah jelita terbuka, "sekarang apa lagi alasannya? Aku sudah tutup mata," protes Nunew.

"Ternyata bait puisiku kalah cantik, dengan wajahmu."

Gombal! Seru Nunew dalam sanubari.

"Aku ingin pulang saja, kamu sangat menyebalkan hari ini."

"Nu, maaf. Sejujurnya aku lupa bait puisiku sendiri. Kamu jangan pulang sebelum hujan reda ya?"

Kan. Pikiran Nunew benar, mengenai sosok pelupa dihadapannya, pemuda seperti tak akan berubah walau dimakan usia. Maka dengan tawa merdu menghangatkan hati, ia bawa tubuh Zee ke dalam sebuah dekapan hangat. Setelah itu, tangan kanannya terulur guna membelai pipi Zee. Kalau Zee tengah seperti ini, belaian pipi selalu menjadi obatnya.

"Aku nggak pernah pinta bait puisi, karena untaian kalimat kamu saja bisa membuat aku semakin jatuh."

Kedua anak adam, dengan di sinari lampu ruang, saling mendekap begitu erat. Degup jantung mereka seakan saling bersahut-sahutan, mencari siapa pemenang akan detakkan paling kuat. Hujan telah sirnah, rembulan serta bintang telah mengambil alih kembali tugasnya. Lantas cahaya yang menyelinap melewati seutas gorden, menjadi saksi bisu bagaimana dekapan hangat berubah menjadi sebuah kecupan memabukkan.

Bandung [ZEENUNEW] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang