E N A M ; Keputusan

104 24 3
                                    

Gumpalan awan menutupi jalan cahaya matahari, mengakibatkan lautan langit menjadi gulita. Rintik sendu bertabur pilu terjatuh menghantam panasnya permukaan bumi. Semenjak dua hari lalu, Tuhan seakan menghukum umatnya. Menurunkan jutaan air, sampai terkadang banjir di berbagai sudut kota.

Dalam ruang megah, berhiaskan pernak-pernik yang pasti, usulang sang Mama. Ketiga Insan— Papah, Mama, dan Zee tengah bersinggah di kursi ruang makan, menikmati sarapan pagi mereka tanpa kehadiran sang anak bungsu. Sebab sedari jam menunjukan pukul enam, Nat sudah ngacir bersama kekasih hatinya.

"Kamu sudah pikirin ini matang-matang?" Mama. Sosok bagaikan pelita bertanya, maniknya memancarkan keseriusan yang tersorot pada putra pertamanya. Beliau baru saja mengetahui fakta sang putra, akan melanjutkan pendidikannya di Kanada.

Zee menangguk, "setelah aku pikir-pikir, kalau sekarang saja masih seperti ini. Bagaimana cara untuk menikahi Nunew? Aku juga pingin seperti Papah sukses dan memiliki uang banyak," ujar Zee.

Dalam segala aspek mengenai kehidupan, Papah merupakan tiang paling kokoh untuk Zee genggam. Segala jeri payah dari zaman sekolah dasar, ia lakukan sebab dorongan serta motivasi dari sang Papah.

"Sebetulnya uang bukan segalanya, tapi memang betul. Segalanya butuh uang. Maka Zee Pruk, Papah berikkan izin kamu untuk kembali mengejar impian," ujar Papah, sembari menaruh cangkir kopinya. "Nunew sudah tau tentang ini?" lanjut Beliau.

"Belum. Sekiranya ingin aku kasih tahu hari ini."

Mama mengela napasnya panjang, "Mama yakin dia akan sangat sedih."

"Mama salah. Dia pasti menyetujui apa pun keputusan, Zee."

"Omong-omong universitas mana yang menjadi incaranmu?" Papah bertanya, tangannya bergerak membenarkan posisi kacamata.

"Aku pilih University of Alberta. Kebetulan test sudah berlangsung kemarin, hanya tinggal menunggu hasilnya."

"Apa kamu yakin?" Mama tampak ragu, dengan keputusan sang putra.

"Sangat. Demi masa depan cerah, aku akan melakukannya."

Obrolan berlanjut, sampai tengah hari. Tepatnya saat langit telah cerah, barulah Zee izin undur diri. Awalnya Zee ingin berbicara dengan Nunew prihal pendidikan. Namun, pil pahti harus ia telan, sebab pemuda memiliki pekerjaan yang mengharuskan dirinya pergi sampai petang menyapa kota pasundan.

Hela napas terhembus, obsidian teduh layaknya langit saat pagi tadi, tersorot pada bangunan hasil jeri payah dirinya bersama Nunew. Ingat sekali, sekiranya satu tahun lalu di bulan Juni, Nunew mengetuk pintu kamarnya, dan menyerahkan sejumblah uang. Kemudian si manis berujar, "gunakan uang ini untuk peluang kerja."

Bukan tanpa alasan, Nunew merelakan sejumblah uang hasil mengambil job sana-sini. Alasan utama ialah selepas lulus, Zee benar-benar sulit mendapatkan pekerjaan. Padahal nilainya tak seburuk wajah Nat, kala menangisi kekasih hatinya yang habis terjatuh sehabis membantu Zee membersihkan selokan di depan pekarangan rumah. Alasan kedua, cukup simpel. Nunew mempercayai Zee. Hanya itu. Dan akan selamanya seperti itu.

"Hey," sapaan seseorang, membuat Zee mengalihkan atensinya.

Raut melongo, bercampur terkejut terpancar dari wajah Zee. "Katanya pulang sore, kenapa sekarang di sini?"

"Mama telepon, dia bilang kamu mau bicarain hal penting. Jadinya, pertemuan hari ini aku tunda sampai besok deh," si manis Nunew berujar, setelah itu kepalanya menengadah memperhatikan lautan langit. "Di sini panas, kamu nggak mau suruh aku masuk gitu?"

Zee menepuk permukaan keningnya, kemudian berujar dengan jenaka, "aku lupa kamu mirip adonan bakpao Mama. Ayo masuk, nanti kamu bisa mateng kalau kelamaan di jemur."

➖➖➖

"Kamu mau bicara tentang apa? Tadi di telepon, Mama nangis ke aku," adu Nunew.

Keduanya tengah bersinggah di dalam ruang kerja Zee. Dengan Nunew yang menyinggahkan diri di sofa putih dekat pintu, sementara Zee di kursi kebanggannya.

"Nangis bagaimana? Perasaanku, tadi pagi kita baik-baik aja. Sumpah ya, aku nggak melakukan hal-hal aneh sama Mama."

"Aku padahal nggak nuduh kamu."

Klise. Seperti halnya Insan pada umumnya. Tangan Zee terulur, menggaruk tengkuk, diiringi kekehan. "Habis mata kamu, kaya menuduh aku hal macam-macam. Jadinya aku langsung memberikan klasifikasi."

"Klarifikasi, bukan klasifikasi."

"Nu," panggil Zee. Dan secara tiba-tiba, kursi beroda miliknya bergerak mendekati tempat bersinggah Nunew.

Nunew menangkup wajah Zee, Ibu jemarinya mengusap permukaan pipi sang kekasih, berniat memberikan kenyamanan. Sebab dirinta tahu betul, saat ini pria di hadapannya tengah memendam sesuatu.

"Kalau sekiranya ada sesuatu, bilang aja ya? Kamu tahu aku akan selalu mendukung apa pun pilihan kamu, selagi dalam hal kebaikkan."

"Aku..." lidah Zee, mendadak keluh. Bulir yang seharusnya terpendam dalam-dalam, meledak membasahi kedua pipinya.

Sorot netra sayu milik Nunew, selalu berhasil melemahkan Zee. Layaknya senjata, tatapan itu begitu tajam menusuk sanubarinya. Dan hal tersebut tak akan pernah pudar, bahkan sampai nanti dirinya menua bersama Nunew.

"Eh, Aa kok nangis? Ada apa? Nggak apa-apa kok, Nu selalu di sini."

"Nu, aku berniat ambil S2 di University of Alberta Kanada," selepas bergulat dengan pikirannya sendiri, akhirnya Zee suarakan keganjalan dalam hati.

Nunew terkejut bukan main. Bahkan raut wajahnya tak dapat ia kendalikan semenjak Zee mendeklarasikan keluhnya. Sedih, senang, segalanya bercampur kemudian melebur dalam dirinya. Satu sisi ia tak merelakan kepergiaan sang kekasih, di sisi lain ia senang sang kekasih melangkah demi mencapai masa depan gemilang.

Dengan segurat senyum, tersirat pilu yang terbelunggu dalam jiwa melebur. "Hebat. Zee hebat, bisa mengambil langkah lebih maju. Omong-omong kapan mau berangkat? Sudah ada persiapan apa saja?" sepenuh hati, Nunew menahan bulir air mata. Pemuda tak mau di hari bahagia ini, dirinya menangis sebab terlalu pedih.

Nunew tak boleh egois. Semua keputusan telah tersusun dalam buku takdir. Maka dengan setengah hati, ia relakan Zee pergi sementara dari sisinya.

"Sekiranya, nanti malam pengumuman kelulusan aku," masih dengan suara serak, Zee menjawab pertanyaan Zee.

"Aku boleh nginap di rumah kamu? Pingin lihat perjuangan pacar aku," ujar Nunew, dengan paruh. Sebab sesak tengah membalut dirinya.

"Boleh. Mau tinggal di sana pun boleh," ujar Zee, mengguratkan senyum miring.

"Nggak mau! Dasar kamu mesum," pekiki Nunew, setelahnya Nunew mendorong kursi Zee menjauh.

➖➖➖

"NUNEW! AKU LULUS," tengah malam, Zee berteriak begitu nyaring. Mengisi sudut sunyi rumah, sampai penghuni di dalamnya terbangun.

Dekapan hangat membalut tubuh besar Zee, lagi. Tangisan kembali membanjiri kedua pipi Zee. Yang lebih tua menenggelamkan wajahnya pada bahu lebih muda. Di seberang sana, Mama serta Papah bersandar di permukaan pintu dengan segurat senyum merekah.

"selamat sayangku, selamat menempuh mimpimu di sana," ujar Nunew.

"Sayang, aku berhasil... aku berhasil, sayang."

"Iya, sayang. Kamu berhasil, selamat ya," untuk pertama kalinya, Nunew ucapkan kata sakral 'sayang' pada Zee.

Di tengah temeram malam, kedua anak adam tumpahkan tangisan. Satu mengeluarkan tangis bahagia, sementara satunya menangis pilu memikirkan bagaimana nasib hubungan mereka selanjutnya.

Bandung [ZEENUNEW] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang