D E L A P A N : Pergi Untuk Mimpi

130 26 2
                                    

Semilir angin berembus dari utara, menghantarkan kesejukan bagi para Insan ciptaan sang maha agung, aroma bunga segar meliuk-liuk di atas udara. Jarum pada jam kediaman salah satu Insan menunjukkan pukul delapan pagi. Sekiranya sudah satu bulan terlewati, keluarga itu isi dengan penuh suka cita.

"Semua udah dipersiapkan? Jangan sampai ada yang ketinggalan," ujar Mama, menaruh wadah berisikan ikan di permukaan meja.

Zee menangguk, menenggak cairan bening dari gelas sampai tandas. "Sudah aku taruh di bagasi mobil Papah."

Derap langkah melalang buana, menghantarkan sosok mungil dengan raut menyedihkan. Dua bola matanya membesar serta berkaca-kaca, hidungnya memerah padam, pipi layaknya bakpao pun berwarna senada dengan hidung.

"Aa Zee," monolog si mungil, sembari mendekatkan diri pada Zee.

Seulas senyum terbit. Tak biasanya sang adik bersikap begini, padahal hari-hari lalu pun ia sama mengesalkannya bagi Zee. Mencuri bajunya saat melakukan kencan, memakan coklat buatan Mama sendirian, meninggalkan Zee saat menyiram tanaman.

"Anak pungut, kenapa?" Zee keheranan.

Si mungil— Nat mendekap tubuh Zee, menangis di bahu kokoh sang Kakak. Walau Zee amat menyebalkan, selalu menyuruhnya, memerintahnya. Namun, kepergiannya tentu meninggalkan ruang kekosongan dalam diri Nat. Selama ia hidup, sang Kakak selalu berdekatan dengannya.

"Kenapa nggak kuliah di sini aja? Kenapa harus ke luar negri? Kakak sudah nggak sayang aku ya?! Jahat!" seru Nat.

Zee mengalungkan tawa dalam ruang makan. "Hanya beberapa tahun, selepasnya Aa akan kembali."

"Berapa tahun? Pasti lama, Aa tuh kan suka banget memperlambat waktu."

Zee menjentik kening Nat menggunakan kedua jemarinya. "Nggak akan lama, bocil."

Acara sarapan pun berjalan khidmat, hanya ada denting sendok bersetru dengan permukaan piring.

Zee mengela napas. Perutnya ingin meledak, selepas menghabiskan makanan pagi. Mama tak habis-habis menaruh segala rupa lauk-pauk, bahkan ketika dirinya sudah berlagak kenyang dan berpura-pura tahak, Mama tetap saja menaruh ikan ke dalam permukaan piring.

"Kenyang banget, aku takut kebelet nanti," celetuk Zee, menarik koper roda digenggamannya menuju ruang tamu.

"Loh, malah bagus, Aa. Jadi kamu bisa membuang kotoran-kotoran dalam perut," guaru Mama.

Zee berdecak, "mana bagusnya, kalau kebelet susah buangnya. Apa lagi kalau di pesawat."

"Nunew kemana lagi? Aku mau berangkat, masa dia terlamabat?" gerutu Zee, lalu menyinggahkan diri pada sofa.

Derap melalang buana memasuki tiap sudut ruang, sosok penuh akan peluh keringat berdiri di ambang pintu, lengannya bersinggah pada daun pintu, belah bibirnya tak henti-henti meraup oksigen di sekitar. Sosok itu mengguratkan senyuman ke arah Zee serta Mama, sebelum kedua tungkainya kembali melangkah.

"Selamat pagi, Mama," sapa Nunew, sembari mencium punggung tangan Mama.

"Baru datang, Nu? Sama siapa?"

Nunew mengulas senyum, "tadi sama Ayah, tapi Ayah buru-buru ke kantor. Katanya ada pertemuan penting pagi ini."

"Terus, kenapa kamu ngos-ngosan gitu?"

"Karena ada pertemuan penting, aku diturunin di depan pagar komplek, Ma. Jadinya harus lari ke sini," adu Nunew.

"Kenapa nggak minta aku jemput? Kalau tahu begitu, mending sama aku," seru Zee, menarik pergelangan tangan kanan Nunew untuk bersinggah disamping tubuhnya. "Nakal, suka nggak bilang-bilang kalau lagi kesulitan," Jemari telunjuk Zee terulur, hanya untuk membubuhkan sedikit sentuhan pada hidung Nunew.

Dua bola mata Nunew tergerak mengikuti poros, belah bibirnya mengeluarkan decakan. "Kaki aku masih sehat, jadi buat jalan masih sanggup."

➖➖➖

Bandara Soekarno Hatta. Tempat dimana banyak Insan harus merelakan sosok kesayangan mereka. Tak jarang, tangisan serta ucapan akan beratnya perpisahan memenuhi indera pendengaran Nunew.

Takut kembali merambati diri. Pertanyaan mengenai, bagaimana jika Zee mendapatkan sosok yang lebih baik? Atau bosan sebab jarak memisahkan keduanya? Menguasai pikirannya. Asa akan ketenangan, seakan sirnah dihantam ketakutan tak berkesudah.

"Nu?" panggilan dari Zee, mengembalikan pikirannya.

"Iya?"

"Pesawat aku sebentar lagi terbang."

Nunew menangguk, derai air mata pilu membasahi dua pipinya. Tangan gemetarnya terulur, menyerahkan buket berisikan foto antara dirinya bersama Zee. "Hadiah untuk keberhasilan kamu."

"Seharusnya kamu nggak perlu repot, dengan hadirnya kamu saja sudah buat aku bahagia."

Tangan Nunew bergerak menyeka sisa-sisa jejak di kedua pipinya, seulas senyum terbit melepaskan kepergian Zee. Dengan mengarungi pilu, ia dekap tubuh besar Zee.

"Jangan lupain aku, jangan bosan sama aku, jangan lama-lama di sana... jangan tinggalin aku," tumpah ruah bulir air mata Nunew.

"Aku nggak akan kepikiran untuk ninggalin sosok paling berharga dalam hidup aku."

Kepergian memang bukan akhir dari sebuah hubungan. Namun, melepaskan adalah bab menyedihkan dalam kata bertajuk 'kepergian' seperti sebuah lembaran yang telah tercoreng penuh warna, kemudian ketika membuka lembaran selanjutnya hanya ada kekosongan. Nunew hampa ketika berdamai dengan kepergian, dirinya dibelenggu akan pertanyaan melepaskan dan mengiklaskan.

"Zee, aku mau kamu tetap di sini. Tapi aku nggak boleh egois. Maka berjanji untuk kembali, karena aku menunggu kamu di sini."

Ibu jari Zee menghapus jejak air mata Nunew. "Tanpa kamu pinta pun. Aku akan kembali."

Satu dekapan, selepas itu tubuh Zee menghilang terhalang ribuan orang. Nunew ulaskan senyum perpisahan, sebelum dirinya kembali melangkah menghadapai hari tanpa sosok paling berarti dalam hidup ini.

Tungkai penyanggah diri Nunew bergerak mengikuti perunjuk jalan, pikirannya melayang ke beberapa tahun silam. Suka cita dibalut seutas senyuman tak berkesudah, selalu mewarnai kertas tanpa coretan milik Nunew.

Ingat sekali, sewaktu dirinya mengetahui Zee masih menyimpan cinta pada kekasih pertamanya, saat keduanya tengah hangat-hangatnya. Menyebabkan kekacauan dalam diri, bagai hati yang mati ia memberanikan diri melewati test perguruan tinggi di Yogyakarta, padahal saat itu Bunda dan Ayah baru saja melepaskan kepergian Jimmy ke luar kota.

"Nu, sudah diterima di perguruan tinggi Yogyakarta."

Saat itu Ayah hanya bisa tersenyum, sementara Bunda mulai menangis pilu. Kepergian Kakak masih terbayang-bayang dalam otak Beliau, dengan berat hati, Bunda antarkan Nunew menuju stasiun dekat rumah.

"AA NUNEW," teriakan dari Nat, membuat Nunew tersadar.

Dirinya menoleh, menyorotkan fokusnya pada sosok mungil yang tengah melambai di tengah keramaian bandara.

"Nat, mau langsung pulang?" tanya Nunew, kala dirinya telah bersanding dengan tubuh Nat.

"Iya, tapi aku mau ketemu sama pacarku dulu. Aa mau ikut?"

Nunew menggeleng, dirinya tak mau menganggu suka cita antara dua Insan penuh cinta. "Aku masih ada pekerjaan, kemarin sudah ambil cuti dua hari."

"Semangat Aa— kalau gitu aku duluan, pergi ya."

Pagi itu Nunew memendam pilu, luka membiru baru saja terbuka dalam diri. Meminta untuk dicarikan obatnya. Dengan langkah gontai, ia telusuri ruang-ruang pencipta kepergian Zee.

Bandung [ZEENUNEW] ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang